Budaya Meneliti, Masih Belum Optimal

2

Bandung, UPI

Pemahaman perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah sudah selayaknya diikuti oleh dinamika kehidupannya dalam hal penelitian. Akan tetapi, kegiatan penelitian di perguruan tinggi masih terbatas. Banyak faktor yang menyebabkanya hal demikian.

“Faktor yang paling klasik diduga adalah terbatasnya dana dan kemampuan tenaga penelitian. Khusus kendala yang disebutkan terakhir, sebenarnya dapat diatasi dengan upaya peningkatan kemampuan dosen dan mahasiswa dalam penelitian. Namun, selain kendala yang telah disebutkan tadi ada kendala lain yang patut menjadi perhatian bersama, yaitu pada umumnya dosen lebih tertarik pada tugas mengajar daripada penelitian. Oleh karena itu, budaya meneliti, baik di lingkungan dosen maupun mahasiswa masih belum optimal,” kata Prof. Cece Sobarna, M.Hum saat Seminar Internasional Riksa Bahasa 8, Kamis 30 Oktober 2014 di Auditorium Gedung Sekolah Pascasarjana UPI, Jln. Dr. Setibudhi No. 229 Bandung.

Menurutnya, jumlah penduduk Indonesia yang potensial sekalipun tidak mendukung ke arah tingginya terbitan ilmiah di kancah internasional. Negara Indonesia menyumbangkan publikasi ilmiah di dunia hanya 0,012%, jumlah ini tentu saja jauh dibawah negara lain dalam kawasan ASEAN. Kondisi ini pun jauh dengan negara maju seperti Amerika dan Jepang.

3Minimnya publikasi ilmiah ini disinyalir berkaitan erat dengan, keterbatasan aspirasi, kesempitan sudut pandang dan cakupan kegiatan, kedangkalan analisis, dan kemonodisiplinan.

“Pengalaman pribadi dalam menilai rancangan penelitian pun, baik skripsi, tesis, disertasi maupun penelitian lain, kelemahan yang mencolok dari calon peneliti yaitu dalam hal penguasaan metodologi penelitian. Oleh karena itu, pemahaman metodologi penelitian menjadi hal yang sangat penting bagi seorang peneliti,” ujar Dosen Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran ini.

Dikatakan ia, hal itu selayaknya sudah jauh hari disadari oleh mahasiswa yang masuk ke fakultas nonkependidikan, bahwa di perguruan tinggi mana pun keluarannya dicetak bukan untuk menjadi pengajar, melainkan untuk menjadi ahli dalam bidangnya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian.

“Di tempat saya bekerja pun hal itu terjadi. Banyak dosen yang tidak dapat naik pangkat karena satu hal, yaitu kurangnya angka kredit dalam bidang penelitian. Sungguh sangat disayangkan karena kondisi ini dapat merugikan, tidak hanya bagi dirinya pribadi, tetapi juga untuk lembaga yang bersangkutan,” tegasnya.

Riksa Bahasa ke 81

Memperingati bulan bahasa, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UPI kembali menyelenggarakan Riksa Bahasa ke 8, Kamis 30 Agustus 2014 di Auditorium SPs UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

“Setiap tahunnya kami menyelenggarakan acara Riksa Bahasa ini yang kemas dalam seminar internasional dalam rangka memperingati bulan bahasa atau sering kita dengar dengan hari Sumpah Pemuda,” kata Ahmad Wahyu, S.Pd selaku ketua pelaksana Riksa Bahasa ke 8.

Dijelaskan Ahmad, Riksa Bahasa tahun ini mengangkat tema “Menguak Isu-isu Muktahir Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya”. Hal tersebut dirujuk karena mengingat saat ini diberlakukannya Kurikulum 2013 oleh pemerintah. Sehingga banyak isu-isu yang berkembang untuk dikaji baik dari segi pembelajarannya maupun penelitian segi bahasanya khususnya bagi para mahasiswa.

Selain menghadirkan Prof. Cece Sobarna, M.Hum., seminar ini juga menghadirkan para pakar di bidang penelitian bahasa, sastra, dan pembelajaran, diantaranya Dr. Iftikhar Fadzli dari Institute of Strategic and International Studies, Malaysia; Prof. Dr. Melani Budianta, M.A., P.hD dari Universitas Indonesia; dan Dr. Yeti Mulyati, M.Pd dari Universitas Pendidikan Indonesia.

Ia berharap seminar ini dapat memberikan pencerahan bagi peserta khususnya mahasiswa yang sedang menempuh studi sebagai bekal mereka untuk melakukan penelitian maupun penulisan artikel ilmiah. (Deny)