Cerita Santri di Negeri Monarki: Kehidupan Mahasiswa S2 di Inggris Raya

Penulis Jejak Kaki Pertama di Inggris Raya ini adalah Zainuddin Abuhamid Muhammad yang merupakan Alumnus Program Studi Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan tahun 2020. Saat ini menjadi Mahasiswa S2 program Digital Technologies, Communication, and Education University of Manchester.

Sore itu, pesawat jet berkapasitas 100 penumpang yang dioperasikan oleh maskapai Finnair mendarat menembus langit kelabu bercampur hujan. Diikuti lalu lalang manusia dari berbagai penjuru dunia yang turun menuju landasan pesawat, kemudian bergegas memadati antrian imigrasi. Aku bersama keempat temanku cemas-cemas tegang, berharap bisa melewati petugas imigrasi dengan lancar tanpa dilontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit.

Ya, saat itu, untuk pertama kalinya paspor yang telah kubuat sejak tahun 2018 akan mendapatkan bubuhan cap pertamanya di sebuah negara yang terkenal akan sepak bolanya, Inggris. Masih ingat betul, paspor ini awalnya aku buat untuk menghadiri sebuah konferensi di negeri jiran. Namun, rencana itu belum diamini oleh Tuhan. Sejak saat itu, aku bertekad cap pertama dalam paspor ini akan aku tujukan dengan niat Pendidikan. Benar saja, paspor ini mengantarkanku untuk menuntut ilmu melalui amanah yang diberikan oleh negara, yaitu beasiswa LPDP.

Syukur, berkat doa yang kubisik puluhan kali itu, aku bisa menembus batas birokrasi negeri yang baru ditinggal oleh ratunya itu. Setelah kami mendapatkan bagasi kami, kami bergegas pergi menembus hujan untuk menuju rumah yang akan kami tinggali selama satu tahun kedepan. Dari sanalah petualanganku di negeri ratu dimulai.

Sistem Pendidikan di Inggris, Apa yang Berbeda?

Dengan izin Allah, aku akan menyelesaikan studiku di negeri ini selama satu tahun. Bukan karena aku terlalu ambisius, tetapi memang hanya itulah tenggat waktu yang aku miliki untuk meraih gelar master di sini. Berbeda dengan negara lainnya, mayoritas pendidikan jenjang magister di sini ditempuh dalam waktu satu tahun, kecuali beberapa program tertentu. Namun, setelah diselami, ternyata bukan hanya durasi belajar saja yang membedakan sistem pendidikan di sini dengan di Indonesia, melainkan banyak hal lainnya.

Berbicara tentang aktivitas pembelajaran, kelas dibagi menjadi dua, yaitu lecture dan seminar. Dalam lecture, kami belajar dalam sebuah kelas berbentuk teater, di mana dosen memaparkan materi. Besarnya kelas memang menyebabkan kurangnya partisipasi mahasiswa, kecuali dalam forum tanya jawab. Sebagai gantinya, disediakan seminar, yaitu forum diskusi dalam kelompok kecil. Dalam seminar, kami diharuskan mengerjakan sebuah aktivitas yang sudah diberikan sebelumnya, lalu hasilnya didiskusikan pada kesempatan tersebut.

Terakhir, sistem yang berbeda juga terlihat pada penilaian. Di Indonesia, banyak indikator yang menentukan penilaian mahasiswa, seperti kehadiran, tugas harian, sampai penilaian sumatif seperti UTS ataupun UAS. Lain halnya di sini. Penilaian diperoleh hanya dari assessment saja. Assessment merupakan penilaian sumatif yang harus dikerjakan oleh mahasiswa dalam satu unit. Bentuk dari assessment umumnya berupa penugasan saja, namun sebagian jurusan juga terdapat tes tertulis. Dalam satu semester, hanya ada satu sampai dua assessment, sehingga bobot dari masing-masing asesmen sangatlah besar. Jadi, tugas sehari-hari sama sekali tidak berkontribusi terhadap penilaian, tetapi hanya sebagai bagian dari pembelajaran saja. Adapun Informasi mengenai assessment sudah disampaikan dari awal semester melalui LMS.

Belajar Tidak Hanya di Ruang Kelas

Rasanya jemu jika satu tahun aku habiskan hanya untuk urusan akademik saja. Apalagi, waktu perkuliahan di sini cukup ‘senggang’, meski tugas dan reading list menghantui di belakangnya. Untuk itu, aku mencari kesibukan di luar kelas. Salah satu di antaranya adalah dengan mengikuti berbagai organisasi. Sejauh ini, aku tergabung dengan dua komunitas diaspora Indonesia di kota ini, yaitu Perhimpunan Pelajar Indonesia Greater Manchester (PPIGM) dan Keluarga Islam Manchester (Karisma). Dalam dua organisasi ini, aku memegang peranan yang sama, yaitu sebagai bagian dari divisi Sosial Media. Dalam divisi ini, aku bertanggung jawab untuk memproduksi konten-konten yang akan diunggah ke dalam halaman sosial media organisasi tersebut.

Selain itu, aku juga tergabung dalam  tim konten kreator resmi University of Manchester. Di sini, aku berperan sebagai kontributor video yang diunggah dalam kanal resmi universitas. Melalui seleksi yang ketat, aku tidak pernah menyangka aku dapat menjadi perwakilan mahasiswa Asia Tenggara sekaligus Muslim untuk berbagi perspektif kepada pengikut sosial media kampus. Salah satu video yang telah kubuat bertajuk ‘POV: Being a Muslim Student at The University of Manchester’, di mana aku berbagi pengalaman bagaimana rasanya menjadi mahasiswa Muslim di kampus tersebut. Tidak disangka, video tersebut mendapatkan engagement yang tinggi, hingga menjadi salah satu video dengan jumlah penonton terbanyak. Aku merasa bangga sekaligus bersyukur, seorang santri bisa menjadi wajah institusi sebesar University of Manchester.

Menemukan Keluarga Baru

Jika ditanya, apa privilise terbesar menjadi bagian dari penerima beasiswa LPDP, jawabanku adalah aku mendapatkan keluarga baru. Keluarga yang ku maksud adalah rekan-rekan sesama penerima beasiswa LPDP. Sebelum aku hijrah ke negeri ini, aku sempat merasa takut kesepian karena aku terbiasa hidup komunal dengan keluarga. Apalagi, menjalin pertemanan dengan mahasiswa dari negara lain ternyata tidaklah mudah. Namun, ketakutan tersebut terpatahkan saat aku tiba di sini. Di sini, aku menjalin pertemanan dekat dengan sesama penerima beasiswa LPDP. Hari-hari banyak kulalui bersama mereka, meski kami berasal dari program studi yang berbeda. Kami belajar bersama di perpustakaan, makan bersama di akhir pekan, sampai merencanakan liburan bersama.

Kekeluargaan juga aku rasakan saat aku melancong ke luar kota. Ketika aku singgah ke kota lain, aku biasanya menghubungi rekan-rekan yang tinggal di kota tersebut untuk sekedar bertemu dan berbagi pengalaman masing-masing. Tak jarang, mereka juga menyediakan tempat untuk ‘bermalam’ apabila kota yang dituju berjarak jauh dari Manchester seperti London dan Edinburgh. Hal-hal sederhana seperti inilah yang mempererat hubungan tali persaudaraan antar penerima beasiswa di negeri perantauan, sesuatu yang tidak kalah berharga dari ilmu yang dipelajari itu sendiri. Karena persaudaraan ini tidak hanya tentang solidaritas sesama masyarakat Indonesia, tetapi banyak pelajaran yang bisa kuambil dari orang-orang yang kutemui dengan latar belakang yang berbeda.

Kita Tidak Pernah Terlalu Kecil untuk Bermimpi

Hampir setengah tahun aku di sini, rasanya masih tidak percaya bagaimana seseorang yang dibesarkan di lingkungan pesantren di pinggiran kota Bandung bisa bersanding bersama putra-putri bangsa lainnya untuk menempuh pendidikan di negeri nan jauh ini. Sebelumnya, aku berpikir kalau orang-orang yang bisa melanjutkan studi di luar negeri dengan beasiswa hanyalah sekelompok kecil dengan prestasi mentereng bertaraf nasional hingga internasional. Sedang aku hanya berbekal pengalaman mengajar di sekolah dan pesantren yang kujalani di saat aku duduk di bangku sarjana. Namun ternyata, pengalamanku yang sederhana ini terlihat bermakna bagi sebagian yang lain, hingga mengantarkanku pada mimpi untuk melanjutkan studi di luar negeri dengan beasiswa.

Pengalamanku mengajarkan bahwa kita tidak pernah terlalu kecil untuk bermimpi. Sebab, kita memang sudah dibekali Tuhan dengan nilai diri masing-masing, yang tidak dapat diukur dengan membandingkannya dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Tugas kita adalah mengejar mimpi kita dengan nilai yang kita miliki secara sungguh-sungguh. Syair Imam Syafii yang kukutip dari kita Talim Mutaallim berkata, وَالجَدُّ يُدني كُلَّ أَمرٍ شاسِعٍ. وَالجَدُّ يَفتَحُ كُلَّ بابٍ مُغلَقِ (kesungguhan itu dapat mendekatkan sesuatu yang jauh dan membuka pintu yang terkunci). Jadi, tidak ada yang tidak mungkin selama kita memiliki kesungguhan. Dan yang terpenting, apa yang kita lakukan dapat memberikan dampak positif tidak hanya untuk kita, tetapi juga bagi lingkungan di sekitar kita. Karena bisa jadi doa tulus mereka adalah pupuk dari mimpi yang nanti kita akan tuai (Kontributor Humas UPI/Zainuddin Abuhamid Muhammad)