“Deru Kui Wa Utareru”

Oleh:
Karim Suryadi
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,
kolumnis Pikiran Rakyat

DERU kui wa utareru (paku yang menonjol harus dipukul) tampak seperti tidak memberi kemerdekaan belajar. Beberapa pihak menuding, pepatah ini sebagai monster yang membunuh kreativitas berpikir anak-anak muda di Jepang. Benarkah demikian ?

Deru kui wa utareru sering dijadikan dalih ketika murid-murid di Jepang tidak antusias ketika diajak diskusi. Mereka lebih memilih diam, dan hanya bicara jika diminta.

Penekanan pada keharmonisan menjadikan segala bentuk penonjolan diri harus dicegah. Itulah sebabnya, mereka menyembunyikan gagasan cemerlangnya.

Mereka yang tampak tidak antusias dan hanya diam saat diskusi, ketika dipanggil namanya dan diminta tanggapannya, mampu menyampaikan gagasan yang hebat. Ini yang mengesankan.

Alih-alih merampas kemerdekaan berpikir, penanaman deru kui wa utareru mendidik murid untuk berempati, menjaga kebersamaan, tidak menonjol-nonjolkan diri.

Nilai ini tidak menganjurkan orang tampak hebat, namun mengajarkan bersikap keras terhadap diri sendiri. Alih-alih berkompetisi, nilai ini mengajarkan anak untuk bekerjasama dengan siapa pun.

Mereka tidak bersaing dengan orang lain, namun persaingan diarahkan ke dalam, dan setiap orang berusaha memenangkan sikap rajin, bekerja keras, pantang menyerah melawan kemalasan, kerja asal-asalan, dan mudah bertekuk lutut. tulah sebabnya, kredo “tujuh jatuh delapan bangkit” menjadi spirit yang menempa daya juang mereka.

Hebatnya tradisi ini terus dipelihara hingga kini, sebagai jangkar yang menopang harmonisasi sosial masyarakat Jepang. Para guru menginternalisasikan nilai ini lewat projek-projek akademik yang menuntut kerja sama, saling berkontribusi, dan berbagi tanggung jawab.

Ketika kelas menunjukkan performance yang buruk, seluruh warga kelas akan menerima sanksinya. Iklim di dalam kelas menjalar ke tengah-tengah masyarakat. Setiap komunitas menanggung beban dan tanggung jawab bersama.

Akan sulit menemukan mereka berkumpul, “ruang-riung”, namun mereka berbagi informasi secara efisien. Mereka tidak memiliki banyak slogan, namun tindakan masing-masing individu mengukuhkan nilai utama yang harus mereka jaga bersama.

Cobalah telusuri gang-gang sempit di pemukiman di Jepang. Tidak akan ditemukan mobil, motor, atau roda dagangan yang diparkir menghalangi jalan. Mereka akan menaruh mobilnya di garasi, jika tidak cukup, mereka akan menyewa tempat parkir umum.

Tidak semua tempat dipasangi alat pemantau, namun polisi akan segera menerima laporan jika ada anggota masyarakat yang melanggar. Sebuah pengawasan yang muncul dari tanggung jawab.

Kesetiaan masyarakat Jepang pada nilai-nilai dan tradisinya tidak menghalangi mereka merengkuh kemajuan. Mereka hanya memodifikasi delivery systems (sistem peluncuran), namun tidak membongkar nilai dasarnya.

Di tengah dunia yang kian kompettitif mereka tetap menekankan pentingnya harmonisasi sosial. Penekanan pada aspek ini terbukti manjur dalam mendidik anak-anak muda Jepang berdisiplin, kritis dalam menilai kekurangan sendiri, dan berkontribusi dalam mewujudkan kebaikan bersama.

Penekanan pada harmonisasi sosial tidak menurunkan kualitas pembelajaran kelas-kelas di Jepang. Lucy Crehan dalam bukunya Clever Lands (2016) mencatat “paku yang menonjol harus dipukul” sebagai mantra yang mendorong semangat belajar, sekaligus cambuk yang melecut tangung jawab sosial murid-murid di Jepang.

Meski berbeda nuansa, penanaman tradisi ini sama heroiknya dengan “ribuan tentara di atas sebatang jembatan kayu”, sebuah legenda China yang melecut kompetisi murid-murid Negara Tirai Bambu tersebut di dalam kelas.

Inilah legacy yang terus dijaga. Tradisi dan praktik pendidikan di Jepang tumbuh di atas budayanya. Sebuah diksi yang sebenarnya tidak asing di telinga kita.

Indonesia yang masih belia telah menancapkan tonggak tradisi pengajaran yang kuat, dengan meletakkan nilai dan praktik pengajaran di atas kebudayaan nasional. Sayangnya, ini baru sebatas slogan. Kita harus jujur mengakui, penyakit utama pengelolaan pendidikan di tanah air adalah birokratisasi pendidikan. Pendidikan diseret ke dalam arena politik, dikelola dalama cara-cara birokratis, dan diarahkan untuk kepentingan politis. Tak heran, kebijakan baru hadir sekedar untuk memberi kesan politis. Sekolah dan kampus diberondong dengan slogan, namun bingung dengan amalan.***