Diaspora Indonesia

“Selamat datang di Amerika Serikat. Semoga dilancarkan program benchmarking di Michigan State University.”
Demikian isi pesan WhatsApp yang saya terima ketika pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara O’Hare Chicago, Amerika Serikat.

Pesan singkat itu dikirim oleh seorang alumnus FIP IKIP Bandung yang kini bermukim di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Tulisan ini bukan untuk membahas apa yang kami lakukan selama hampir seminggu dimana kami berdiskusi tentang pendidikan profesi guru di dua universitas di USA, tetapi bercerita tentang seorang alumnus FIP IKIP Bandung yang berhasil survive, berkiprah di kanca melting pot masyarakat Amerika Serikat yang heterogen.
Ia memiliki nama lengkap RR Dian Sri Nur Aryati. Kami memanggilnya dengan nama “Aryati”.

Ia adalah alumnus FIP IKIP Bandung Jurusan Pendidikan Ilmu Perpustakaan angkatan 1979. Selama kuliah ia pernah menjadi Ketua Himpunan, Mahasiswa Teladan, dan memenangkan Lomba Karya Ilmiah IKIP. Ia satu diantara puluhan ribu alumni IKIP Bandung atau UPI yang tersebar di berbagai tempat secara nasional ataupun internasional.
Ia seorang diaspora Indonesia alumnus IKIP Bandung yang berhasil survive hidup di USA.

Proyek Ganesha

Alkisah pada April 1980, untuk memperkuat Alusista (Alat utama sistem persenjataan) AURI Pemerintah Republik Indonesia berhasil membeli delapan pesawat tempur F5 Tiger II buatan Northrop Co Amerika Serikat. Dua bulan berikutnya, didatangkan lagi delapan pesawat tempur canggih jenis yang sama.

Setelah lulus dari IKIP di tahun ‘83, melalui tes yang super ketat, Aryati muda diterima sebagai perwira WARA (Wanita Angkatan Udara) di TNI-AU. Karena kebutuhan yang mendesak, bahkan sebelum melalui pendidikan perwira pun ia langsung ditempatkan di Proyek Ganesha, sebuah proyek pendidikan dan pelatihan bagi para Pilot dan para teknisi pesawat tempur canggih F5 Tiger II di Indonesia.

Direktur Proyek Pendidikan pada saat itu, Marsekal Muda Martin Tetelepta, mengarahkan jalur karir perwira muda tersebut untuk di kemudian hari menjadi Kepala Perpustakaan AURI. Aryati adalah satu-satunya sarjana lulusan Ilmu Perpustakaan yang diterima di AURI.

Namun perjalanan hidupnya berubah. Pada proyek Ganesha tersebut ia bertemu dengan seorang ekpatriat US Air Force, Mark Peach. Ia luluh untuk menerima pinangannya. Tetapi peraturan sebagai perwira ABRI, dilarang menikah dengan warganegara asing. Dengan berat hati, Aryati harus mengundurkan diri dari karirnya sebagai WARA. Setelah 2 tahun meniti karir di AURI, Aryati memutuskan untuk melepas karir dan impian pangkat “Kolonel” di kemudian hari, dan menikah dengan Mark Peach dengan adat Jawa.

Pada tahun 1990, ia beserta suami dan bayinya kembali ke kampung halaman kedua. Keluarga tersebut bermukim di USA. Aryati mendapat pekerjaan untuk mengajar bahasa Indonesia untuk perwira di pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) di Florida. Sejak itu karir Aryati dari Pustakawan berubah menjadi guru Bahasa Indonesia. Selain itu ia juga menjadi penerjemah di Pengadilan Imigrasi di berbagai penjuru Amerika. Bersama Mark, ia pun menjadi editor dan quality control untuk majalah militer.

The Real Ambassador

Di sela-sela kesibukan itu Aryati dengan bantuan sahabat- sahabat Amerikanya mendirikan perkumpulan wanita internasional yang disebut Women of the World Society yang membantu wanita internasional untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan dari negara asal masing-masing.
Di usianya yang ke-50, Aryati ditinggal oleh ayah kedua anaknya menghadap Sang Pencipta. Ia mulai berjuang sendiri mendampingi Melissa (20) yang sekarang menjadi Pengacara di Manhattan, New York, dan membesarkan Ardian (7) yang sekarang kuliah Cyber Security di Virginia. Ia pun menerima pekerjaan di Markas Besar Marinir AS di Quantico, Virginia, sebagai Research Analyst.

Aryati juga adalah volunteer guru bahasa Indonesia di Rumah Indonesia di Washington, D.C. Ia dikenal dengan nama “IBU ARI”. Selain itu, untuk hiburan dan tetap mengenalkan budaya Indonesia, ia bergabung dengan House of Angklung. Di tahun 2021 bersama beberapa “senior” memulai grup bernama “DMV Vintage” turut mengaktifkan musik Angklung di Amerika. Itulah sosok seorang Alumnus IKIP Bandung yang terus berkiprah sebagai diaspora di Negeri Paman Sam Amerika Serikat.

Diaspora Indonesia

Secara sederhana, diaspora adalah orang Indonesia yang menetap di luar negeri.
Sejak zaman dulu banyak etnis asal Indonesia yang meninggalkan kampung halamannya dengan berbagai latar belakang. Indonesian Diaspora Network (2015) memperkirakan ada 7 hingga 8 juta diaspora Indonesia bermukim di berbagai negara. Mereka bekerja sebagai profesional, akademisi, atau berwirausaha.

Di Arab Saudi, banyak warga negara Saudi yang tinggal di Makkah Al Mukaramah dan Jeddah yang adalah keturunan Indonesia. Banyak di antara mereka yang menikah dengan lelaki atau wanita Arab. Keturunan mereka dikenali dengan nama keluarga atau marga. Seperti marga Al Batawi (Betawi), Al Felemban (Palembang), Al Bantani (Banten), Al Minangkabawi (Minangkabau), Al Andanusi (Indonesia).

Di Amerika Serikat, para diaspora Indonesia pun bekerja di berbagai sektor. Di Silicon Valley, California, misalnya, banyak orang Indonesia yang bekerja di berbagai perusahaan teknologi seperti Google, Facebook, Yahoo, Sun Microsystems atau IBM.

Overseas Chinese

Dalam perspektif global, menurut Overseas Chinese (2018), saat ini lebih dari 50 juta diaspora China tersebar di seluruh pelosok dunia. Disebutkan bahwa migrasi besar-besaran keturunan China dilakukan sejak Dinasti Ming ( 1371-1435). The chinese people have a long history of migrating overseas. Ming has sent people to explore and trade in the South China Sea and in the Indian Ocean.

Itulah sekilas sosok seorang alumnus IKIP Bandung dan diaspora Indonesia. Dimanapun berada, diaspora Indonesia memberi maslahat untuk bangsa. Mereka adalah duta bangsa di manca negara! (Dinn Wahyudin)