Professor dari Royal Holloway University of London Paparkan Pertunjukan Seni Tradisional dan Modern

Bandung, UPI

Bahwa kesenian tradisional muncul dalam modernitas, tidak bisa lepas dari perubahan teknologi dan transportasi.

Demikian hal yang terungkap dalam Kuliah Umum yang disampaikan oleh Professor Matthew Isaac Cohen dari Royal Holloway University of London tentang “Pertunjukan Seni Tradisional dan Modern di Jawa Barat Pada Era Kolonialisme” yang diselenggarakan oleh Fakultas Pendidikan Seni dan Desain Universitas Pendidikan Indonesia (FPSD UPI), di Auditorium Gedung SPs UPI Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Senin (9/7/2018).

Professor of International Theatre itu mengatakan bahwa teknologi komunikasi mempunyai fungsi yang penting bagi pelaku kesenian. Kita ambil contoh fenomena live streaming, ujarnya. Contohnya ada sebuah pertunjukan kesenian di Pantura yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga, kemudian dalam waktu yang bersamaan pertunjukan tersebut juga bisa dinikmati oleh saudaranya di luar negeri, ini bukan modernitas yang melawan tradisi, tetapi merefleksikan sebuah tradisi. Penonton pun tidak pasif tapi dapat berkomunikasi dan berinteraksi, ini penting di jaman global.

“Kesenian bukan dipengaruhi globalisasi tapi globalisasi saat ini sudah umum, tidak ada tradisional jika tidak ada globalisasi, ini merupakan satu rangkaian. Adapun adanya asosiasi-asosiasi negatif terhadap penari pada jaman kolonialisme, jika dilihat dari sudut pandang perguruan tinggi maka kesenian adalah suatu usaha estetika, tapi jika dalam kehidupan realistis, maka hal ini tidak lepas dari masalah ekonomi, seks, dan politik, memang faktanya seni pertunjukan ataupun bentuk kesenian lainnya berasosiasi negatif, jika mau jujur ini benar-benar terjadi,” ungkap Ketua Department of Drama, Theatre and Dance.

Lebih lanjut dikatakan, pertunjukan seni tradisional dan modern selalu bertentangan antara penjaga tradisi dan praktisi (membaca legacy heritage). Di Indonesia, ada pencampuran bahasa dan lain-lain yang menjadikan lensa antara tradisi dan modern.

Dikatakannya,”Jaman pra modern, seni pertunjukan mempunyai maksud bahwa kesenian digarap menjadi seni untuk estetika. Modernitas itu tidak berlawanan tapi berjalan beriringan dengan tradisionalitas. Di jaman modern, transportasi yang membawa kesenian internasional ke dalam negeri seperti carousel, sirkus, pertunjukan sihir, pertunjukan hewan dan sebagainya, semuanya bisa menikmati pertunjukan seni yang baru dan lama.”

Kesenian menitikberatkan untuk tidak fanatik pada satu kesenian saja, tegasnya, tapi pada beragam pertunjukan dan bisa menilai apa arti kesenian itu terhadap individu. Dasarnya untuk fondasi pada kebudayaan Indonesia di masa akan datang. Dalam kebudayaan umum kesenian menjadi poin estetika, fokus pada isu-isu penting, sejatinya bercerita tentang perang agama. Jika kita melihat pertunjukan seni pada masa itu, kita bias menyaksikan seni Topeng, tari Srimpi, Wayang Krucil Gilig Menak Jingga dan Catrik , dan Wayang Golek.

Kemudian pada masa berikutnya ada Komedi Bengali Betawi, di Pandeglang ada Komedi Jawa bertemakan 1001 malam, abunawas, serta kehidupan sehari-hari, musiknya gabungan gamelan dan eropa, lalu ada Wayang Wong Gaya Mangkunegaran serta Langendriyan, dan Gazeusse No. 1 “Perdjalanan” Slompret Melayoe 1889.

Di abad 20 kita mulai disajikan seni pertunjukan seperti Topeng Banten, Gamelan Sukarame, Ibing Keurseus – dari tayuban ke tari panggung, Drama Musik Tarling oleh Sugra, Angklung, Loetoeng Kasaroeng, Lenggang Kentjana dan Moending Sari. (dodiangga)