Dosen SPs UPI Paparkan Strategi Strategi Pengembangan Wisata Gastronomi Kreatif dan Integratif di Kawasan Geopark Ciletuh Kabupaten Sukabumi

Sukabumi, UPI

Harapannya, di masa mendatang para pengelola desa wisata dapat memberikan pilihan kepada wisatawan dengan harga yang sesuai dengan target market mereka untuk dapat menikmati wisata gastronomi dengan beragam aktifitas seperti mengunjungi tempat produksi makanan dan minuman yang otentik, unik dan langka, melakukan aktivitas makan dan minum yang meninggalkan pengalaman yang tidak terlupakan, melakukan perjalanan berdasarkan pola perjalanan tematik sesuai dengan kekhasan wilayah desa masing-masing, dapat menikmati dan berpartisipasi dalam paket wisata edukasi warisan budaya gastronomi di beragam wilayah desa tertentu yang sesuai dengan minat khusus mereka sekaligus mensejahterakan masyarakat desa secara berkelanjutan.

Harapan tersebut disampaikan oleh Dosen Program Magister Pariwisata Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang juga seorang Pakar Pariwisata Gastronomi Indonesia, Dr. Dewi Turgarini, S.S., MM.Par., dalam kegiatan talkshow yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia yang bekerjasama dengan Laska Resort & Hotel.

Bank Indonesia melaksanakan rangkaian kegiatan tersebut dengan nama West Java Tourism Talks Volume VII: Meningkatkan Peran Desa Wisata dalam kestabilan Harga dam Mensejahterakan Masyarakat. Kegiatan berlangsung di Laska Resort & Hotel Jl. Geopark Pelabuhan Ratu, Girimukti, Kec. Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebanyak 120 peserta hadir dalam kegiatan ini, mereka adalah perwakilan dari Pemerintah/Dinas Pariwisata, perwakilan NGO seperti HPI dan juga para Kepala Desa dan Bumdes.

Menurut Dr. Dewi Turgarini yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Sumber Daya Manusia Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DPD Provinsi Jawa Barat,”Dunia sudah mengembangkan wisata gastronomi sejak tahun 2004, yaitu ketika United Nation Education Scientific, Cultural Organization (UNESCO) menetapkan kota kreatif Gastronomi di dunia. Saat ini sudah terdapat lebih dari 30 kota kreatif gastronomi di seluruh dunia.”

Sementara itu, Dewi juga mengungkapkan bahwa munculnya kesadaran akan pentingnya pengembangan jenis wisata minat khusus ini di Indonesia baru muncul sejak tahun 2011, dimana para pakar di seluruh Indonesia termasuk dirinya, diminta oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk menetapkan program strategis dan aksi untuk pengembangan wisata jenis ini.

Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang akademisi dan praktisi, serta owner usaha Indogastrotourism Tour and Travel, terdapat kendala utama yang dihadapi para aktivis pelestari dan juga akademisi dalam pengembangan wisata gastronomi karena belum adanya kesadaran nona helix atau sembilan stakeholder yaitu 1) pelaku usaha, 2) pemerintah,3) pekerja, 4) pemasok, 5) pengamat, 6) lembaga swadaya masyarakat, 7) akademisi, 8) penikmat/wisatawan, serta 9) pengguna teknologi informasi untuk bersinergi dalam mengembangkan wisata gastronomi di nusantara.

Oleh karena itu, Dewi fokus mengembangkan beragam penelitian dan pengabdian masyarakat dan mempublikasi buku seperti “Wisata Gastronomi; Pedoman, Pengelolaan dan Pengembangan (2023)”, dan “Profil Wisata Gastronomi Digital di Indonesia (2024)” terkait pengembangan wisata gastronomi di Indonesia.

Pada kesempatan tersebut, Dr. Dewi Turgarini memaparkan tema “Strategi Pengembangan Wisata Gastronomi Kreatif dan Integratif”. Diungkapkannya bahwa terdapat perbedaan antara kuliner dengan gastronomi, bila kuliner menurut Merriam-Webster( 2019) dan Oxford Dictionary (2019) adalah suatu hal yang berhubungan dengan dapur dan kegiatan masak, serta berdasarkan oxford dictionary merupakan kegiatan memasak.  Gastronomi berdasarkan hasil penelitian Dewi Turgarini (2018) dengan perspektif pariwisata memiliki sembilan (9) komponen yaitu tentu ada 1) kuliner yang terdiri dari makanan tradisional dan lokal, 2) Sejarah, tradisi dan filosofi, 3) penggunaan bahan baku lokal (endogen), 4) Cara menghidangkan yang unik, 5) Cara mencicip, 6) Dapat dipelajari atau memiliki nilai edukasi,  7) Memiliki manfaat bagi kesehatan/Gizi, 8) Memberikan pengalaman yang tidak terlupakan sebagai memori kolektif, 9) Memiliki etik dan etika. Sehingga dapat disimpulkan tedapat hal yang mendasar apabilaingin dikembangkan sebagai daya tarik wisata maka harus terdapat atraksi, aksesibilitas, amenitas dan pelayanan wisata yang terkait 9 komponen gastronomi di atas.

“Terdapat hal mendasar yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kapasitas pengelola desa wisata dan juga Badan Usaha Masyarakat Desa (BUMDes) agar mampu melihat potensi gastronomi pada desa wisata. Untuk menjadi produk gastronomi, ada tahapan yang harus dilewati, mereka harus melewati tahapan produk elementer, produk ekstensi, produk lelangit (palate, taste), produk harapan, dan produk gastronomi,” ujarnya.

Usahanya sudah sampai mana, tanyanya, karena untuk menjadi produk gastronomi kita  harus melewati proses dari tahapan Produk Elementer, dimana makan dan minuman berfungsi sebagai sarana konsumsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam mempertahankan hidupnya. Produk Ekstensi, dimana makanan dan minuman sudah bersifat komersial dan transaksional diperdagangkan. Produk lelangit (palate, taste), dimana makanan dan minuman  yang ditampilkan  mulai mementingkan cita rasa, aroma, tampilan yang dapat membangkitkan selera konsumen dan juga menyehatkan. Produk Harapan, dimana makanan dan minuman yang disajikan sudah melampaui manfaat pangan, misalnya sudah memenuhi standar gizi, kualitas hidup, sosial, pengalaman, status, pelestarian, ketahanan nasional dan lainnya. Produk Gastronomi, memiliki fungsi elementer, eksistensi, lelangit, harapan serta memiliki fungsi dan  kesenangan, kegembiraan, sekaligus juga aspek sosial  dan menjadi daya tarik konsumen (wisata) untuk berkunjung dan menikmatinya.

Ditegaskannya,”Selanjutnya para pengelola desa wisata dan Bumdes beserta stakeholdernya di Indonesia perlu pendampingan untuk dapat melakukan perencanaan dan pengelolaan wisata gastronomi yang terintegrasi dengan jenis wisata lainnya pada wilayahnya masing-masing, terutama kondisi real dan potensinya melalui tahapan penetapan jalur pengembangan dan pasar wisata gastronomi, kemudian harus fleksibel dan diadaptasi dari waktu ke waktu jika skenario mengharuskan hal ini. Berikutnya adalah harus dibagi dan berdasarkan konsensus dengan agen ekosistem wisata gastronomi di destinasi tersebut.”

Secara rinci para pengelola desa wisata dan stakeholdernya pun harus mendapat pendampingan dari para akademisi agar dapat paham kebijakan yang ditetapkan oleh Kementrian Ketenagakerjaan RI No 86 Tahun 2024 Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia untuk Kategori  Bidang Pengelola Desa Wisata yang ditetapkan pada pada 24 April 2024.  Terutama pendampingan manajerial agar pengelola desa wisata dapat  memahami terdapat aspek pengelolaan desa wisata gastronomi yang terintegrasi dengan jenis wisata lainnya, yaitu Kewilayahan Desa Wisata; Kelembagaan pengelola; Pemberdayaan Masyarakat; Pelestarian alam dan budaya lokal; Pengembangan produk; Pengembangan promosi dan pelayanan; Peningkatan kualitas pelayanan makanan dan minuman; Peningkatan kualitas pelayanan akomodasi; dan Sistem tanggap bencana pada Desa Wisata.

Para pengelola desa wisata juga harus mendapatkan bimbingan teknis dalam peningkatan 31 kompetensi kerja pengelolaan desa wisata gastronomi yang teintegrasi dengan potensi wisata lainnya didukung bukti portofolio sebagai bukti dokumennya khususnya pada elemen kerja sebagai berikut: Menyusun Struktur Organisasi dan Uraian Pekerjaan Lembaga Desa Wisata; Menyusun Legalitas Lembaga Desa Wisata; Menyusun Prosedur Pengelolaan Desa Wisata dan Kode Etik Wisatawan; Membuat Program Kerja Desa Wisata; Membuat Rencana Usaha Desa Wisata; Membuat Rencana Distribusi Manfaat Desa Wisata; Melaksanakan Prosedur Administrasi Umum Desa Wisata; Melaksanakan Prosedur Administrasi Keuangan Desa Wisata; Menyelenggarakan Rapat atau Pertemuan; Menyampaikan Presentasi; Melakukan Kerja Sama Desa Wisata dengan Pihak Ketiga; Mengembangkan Produk Wisata Berbasis Masyarakat; Mengembangkan Produk Ekonomi Kreatif Berbasis Masyarakat; Melakukan Fasilitasi Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Desa Wisata; Melestarikan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan dan Kebudayaan Lokal Desa Wisata; Membangun Jejaring dengan Industri Pariwisata; Mengembangkan Strategi Pemasaran dan Kegiatan Penjualan Produk Wisata dan Ekonomi Kreatif; Melaksanakan Pemasaran Digital Produk Wisata dan Ekonomi Kreatif; Menangani Pesanan dan Tagihan Wisatawan; Menangani Aktivitas yang Melibatkan Wisatawan dalam Keseharian Masyarakat; Memberikan Layanan Pemanduan Desa Wisata; Melayani Wisatawan Difabel dan Berkebutuhan Khusus; Menyediakan Layanan Makanan dan Minuman; Menangani Pelayanan Transportasi Lokal Desa Wisata; Menyediakan Layanan Produk Pondok Wisata (Homestay); Melakukan Manajemen Event Desa Wisata; Menerapkan Prosedur Kebersihan, Kesehatan, dan Keselamatan di Desa Wisata; Menangani Mitigasi Risiko Krisis Kepariwisataan di Desa Wisata; Menanggapi Keluhan Wisatawan di Desa Wisata; Menanggapi Keluhan Wisatawan di Desa Wisata; dan Melakukan Evaluasi Kegiatan Desa Wisata.

Kembali ditegaskan,”Selain melakukan bimbingan teknis, para pengelola desa wisata beserta stakeholdernya juga perlu pelatihan membuat rencana strategis wisata gastronomi dengan mempertimbangkan alat perencanaan mulai dari pemahaman tentang situasi awal dan diagnosis, menyampaikan persepsi dan kebutuhan sektor yang terlibat menjadi kenyataan dan berfungsi untuk menentukan dan meletakkan garis tindakan strategis utama yang akan memungkinkan tujuan menjadi seperti yang diinginkan, tujuan wisata gastronomi, serta sebuah strategi terintegrasi yang sejalan dengan strategi pariwisata umum destinasi dan dengan alat lain untuk perencanaan, dan dalam koordinasi dengan tindakan oleh badan dan entitas lain, bergantung pada ruang lingkup geografis tindakan organisasi pengelola destinasi yang terkait.”

Untuk diketahui, penentuan kota kreatif gastronomi tersebut tidak mudah karena harus mengikuti kriteria kota kreatif Gastronomi UNESCO. Kriterianya adalah Gastronomi yang berkembang dengan baik yang menjadi ciri khas pusat kota dan/atau wilayah; Komunitas gastronomi yang semarak dengan berbagai restoran dan/atau koki tradisional; Bahan endogen yang digunakan dalam masakan tradisional; Pengetahuan lokal, praktik kuliner tradisional, dan metode memasak yang bertahan dari kemajuan industri/teknologi; pasar makanan tradisional dan industri makanan tradisional; Tradisi menyelenggarakan festival gastronomi, penghargaan, kontes, dan sarana pengakuan bertarget luas lainnya; Menghormati lingkungan dan mempromosikan produk lokal yang berkelanjutan; dan Menumbuhkan apresiasi publik, promosi nutrisi di lembaga pendidikan dan memasukkan program konservasi keanekaragaman hayati dalam kurikulum sekolah memasak. (dodiangga)