Dunia Pendidikan Indonesia Disibukkan dengan Bongkar Pasang Kurikulum

uyuBangka, UPI

Jangankan menyiapkan sumber daya manusia yang andal dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, dunia pendidikan kita, kini masih disibukkan oleh bongkar pasang kurikulum. Ironisnya, bongkar pasang kurikulum kita masih memiliki paradigma yang sama, yaitu menjadikan mata pelajaran dan mata kuliah masih sebagai tujuan belum sebagai alat kecakapan hidup.

“Keberhasilan siswa dan mahasiswa masih diukur dari tingkat penguasaan materi saja belum pada bagaimana menggunakan materi itu sebagai kecakapan untuk memperoleh kesuksesan hidup. Hal itu menyebabkan lulusan pendidikan kita gagap dan kurang mampu bersaing dalam mengahadapi dunia kerja,” kata Kepala Divisi Kemitraan dan Pengembangan Usaha Universitas Pendidikan Indonesia Dr. H. Uyu Wahyudin, M.Pd. saat menyampaikan laporan Dialog Nasional Pendidikan, “Mengokohkan Kolaborasi Pembangunan Pendidikan Berkelanjutan dalam Mengisi Masyarakat Ekonomi ASEAN” di Hotel Tanjung Pesona, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Babel, Senin (21/11/2016).

Dialog nasional dihadiri Rektor UPI Prof. H. Furqon, Ph.D.; Bupati Bangka H. Tarmizi Saat; Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum; Wakil Rektor Bidang Riset, Kemitraan, dan Usaha UPI, Prof. Dr. H. Didi Sukyadi, M.A.; Sekretaris Eksekutif UPI Dr. H. M. Solehuddin,M.Pd., M.A.; para pimpina Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Bangka; serta para pendidik di lingkungan Kabupaten Bangka.

Menurut Dr. Uyu Wahyudin, program pendidikan berkelanjutan melalui peningkatan mutu dan keunggulan pendidikan merupakan tantangan yang semakin dirasakan penting dan sebagai kebutuhan mutlak untuk mendukung pembangunan daerah di berbagai sektor dalam mengisi MEA 2015-2030. Pelaksanaan otonomi daerah membuat setiap daerah meyakini bahwa keberhasilan pembangunan sektor pendidikan akan menjadi landasan yang kuat untuk mendukung pembangunan bidang ekonomi, kesehatan, politik, birokrasi, teknologi, sosial budaya dan lain-lain.uy-1

Dikemukakan, setiap daerah masih menghadapi masalah rendahnya kapasitas, sebagai akibat dari rendahnya kemampuan aparat kabupaten/kota dalam penyusunan kebijakan pengelolaan pembangunan dan penyelenggaraan satuan pendidikan. Kebutuhan, potensi dan kendala yang bersifat unik di setiap daerah menyebabkan kebijakan dan program pengembangan pendidikan yang dibutuhkan pun akan berlainan antar daerah satu dengan yang lainnya.

“Akibatnya sangat sedikit kebijakan dan program pembangunan pendidikan daerah yang dapat distandarkan atau sesuai untuk semua daerah, terutama kebijakan dan program-program pemerintah pusat yang dijabarkan pada tingkatan implementasi yang bersifat unik atau kekhasan daerah di kabupaten/kota,” kata H. Uyu Wahyudin.

Kebijakan yang dilahirkan pemerintah pusat dan daerah, katanya, tidak jarang menjadi pemicu terjadinya diskursus di  masyarakat karena dianggap tidak adil atau tidak berpihak terutama pada kelompok masyarakat marginal. Namun demikian, tidak sedikit pula kebijakan pembangunan pendidikan yang mendapatkan apresiasi karena mampu memberikan perlindungan dan keadilan kepada seluruh masyarakat.

Dialog nasional, ujar Uyu Wahyudin, merupakan salah satu agenda penting untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman terutama dari para akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan dalam menyelenggarkan kegiatan pembangunan pendidikan di daerah.  Tantangan sumber daya manusai dan peluang yang dihadapi oleh setiap daerah disikapi dengan beragam oleh daerah yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan, pada semua jenis jenjang dan jalur pendidikan.

“Banyak keberhasilan (best practice) yang dicapai oleh daerah yang dapat menjadi contoh untuk daerah lain. Melalui dialog nasional diharapkan berbagai keberhasilan (best practices) program pembangunan terkomunikasikan secara lugas, sehingga dapat menjadi bagian dari peristiwa saling membelajarkan pada semua peserta dialog,” katanya.

Belum menggembirakan

Dalam kesempatan itu, Uyu Wahyudin mengemukakan, meskipun sudah diberlakukan Undang-Undang No. 22/2001 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 25/2002 tentang Pembagian Wewenang antar Tingkat Pemerintahan, dan Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, desentralisasi dan otonomi pengelolaan pendidikan di tanah air belum menunjukkan tanda perbaikan yang menggembirakan. Sebaliknya, desentralisasi pendidikan telah menimbulkan gejolak yang luar biasa karena rendahnya kapasitas daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.uy-2

“Desentralisasi bukan hanya telah mengakibatkan semakin menguatnya birokrasi dalam pelayanan pendidikan, tetapi juga politisasi pendidikan sebagai akibat dari munculnya penguasa baru yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah,” kata H. Uyu Wahyudin, M.Pd.

Menurut Dr. Uyu Wahyudin, pembangunan pendidikan merupakan bidang pembangunan yang paling banyak menjadi perhatian masyarakat, karena dianggap memiliki kepentingan langsung dengan kehidupan masyarakat. Selain dianggap sebagai bagian penting dalam investasi pengembangan sumber daya manusia, pendidikan juga dianggap menjadi domain penting dalam meraih masa depan individu, keluarga, dan masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang.

Pemerintah, kata Uyu Wahyudin, telah merevisi peraturan perundangan, dengan lahirnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah serta aturan pelaksanaannya. Dengan peraturan baru, implementasi desentralisasi lebih dilandasi oleh peraturan yang lebih jelas terutama dalam pembagian urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Meski demikian, pembangunan pendidikan daerah belum memusatkan perhatian yang memadai terhadap program peningkatan mutu dan keunggulan pendidikan.

“Rendahnya kapasitas pemerintah kabupaten/kota untuk melahirkan kebijakan daerah dalam berbagai komponen pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, merupakan permasalahan yang mendasar dan memerlukan perhatian khususnya dari UPI,” ujar Uyu Wahyudin.uyu-3

Tantangan lain yang dihadapi SDM Indonesia, katanya, adalah globaliasi yang mengaburkan batas maya antar wilayah dan negara, sehingga masyarakat dari berbagai negara bersaing secara langsung. Kesepakatan antar negara Asean tentang MEA pada akhir tahun 2015, memberikan peluang kepada tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia, demikian pula sebaliknya.

“Tenaga kerja unggullah yang akan mengisi sektor bidang pekerjaan strategis dan profesional. Kebijakan pembangunan, baik dari pemerintah pusat maupuh daerah di bidang pendidikan diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang dapat bersaing setidaknya dalam memasuki era MEA,” ujar Uyu Wahyudin.

Diungkapkan, data BPS 2014 menunjukkan bahwa penduduk di atas 15 tahun yang bekerja berdasarkan pendidikan secara berurutan adalah: SD 46,8%, SLTP 17,82%, SLTA 25,23% dan pendidikan tinggi 10,14%. “Dengan komposisi mayoritas lulusan pendidikan dasar, mampukah pendidikan kita menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar bebas ASEAN? Idealnya, sebelum perjanjian era MEA dimulai, pemerintah kita terlebih dahulu menyiapkan startegi penyiapan sumber daya manusia dan infra struktur sebagai pendukung yang optimal,” ujar Uyu Wahyudin. (WAS)