Dwitunggal Enggar-Teten Kembali Pimpin IKA UPI
|Bandung, UPI
Enggartiasto Lukita dan Teten Masduki terpilih kembali secara aklamasi untuk memimpin Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) selama lima tahun ke depan, 2017-2022. Enggar kembali mendapat mandat sebagai Ketua Umum IKA UPI, sedangkan Teten status quodi kursi Ketua Dewan Penasehat. Keduanya terpilih pada saat berlangsungya Kongres V IKA UPI yang berlangsung di Hotel éL Royale Bandung pada Sabtu, 26 Agustus 2017. Kongres dihadiri 24 komisariat, pengurus pusat periode sebelumnya, dan para peninjau dari unsur pimpinan universitas dan para sesepuh alumni UPI.
Mulusnya perjalanan duet Enggar-Teten menuju kursi nakhoda sudah terbaca sejak pertama kali sidang dibuka. Nyaris tidak ada ada perdebatan berarti selama pembahasan draft materi pesidangan yang dipimpin Yomanius Untung, Didin Saripudin, Yayat T Soemitra, Kusnandar, dan Dudi Komaludin tersebut. Termasuk ketika Enggar membacakan laporan pertanggungjawabannya sebagai ketua umum IKA UPI masa bakti 2011-2016. Peserta kongres menerima secara bulat laporan pertanggungjawaban yang dirangkum menjadi 12 halaman tersebut.
“Atas nama Pengurus Pusat IKA UPI, kami mohon maaf, karena Kongres V yang sedianya dilaksanakan pada akhir masa jabatan pada 2016, baru terlaksana pada hari ini di tahun 2017. Berbagai kesibukan para pengurus, kendala waktu, kendala teknis, dan kendala lainnya, menyebabkan panitia baru dapat melaksanakan kongres pada hari ini. Meskipun demikian, sesuai dengan asas organisasi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IKA UPI, yaitu kekeluargaan, yang disertai komitmen kuat terhadap organisasi, kondisi ini mohon sama-sama dapat dimaklumi,” ungkap Enggar mengawali laporan pertanggungjawabannya.
Usai menetapkan demisioner, pimpinan kongres melanjutkan persidangan dengan agenda pembahasan AD/ART IKA UPI. Pada saat pembahasan hukum tertinggi organisasi inilah pimpinan berinisiatif menawarkan kepada peserta kongres untuk memandatkan perumusan dan penyempurnaan AD/ART kepada tim ad hoc. Peserta pun setuju dengan prakarsa pimpinan sidang. Peserta menyepakati seluruh presidium kongres menjadi tim perumus AD/ART plus dua wakil dari anggota sidang, yakni Cecep Darmawan dan Asrul Amri. Tim perumus diberi waktu selama tiga pekan untuk menyelesaikan tugasnya.
Pemotongan waktu pembahasan AD/ART ini praktis memangkas waktu persidangan kongres cukup signifikan. Dari semula diagendakan selesai pukul 21.00 WIB, sidang resmi ditutup pukul 19.00 WIB. Sidang ditutup dengan kata akhir dari Ketua Umum IKA UPI terpilih, Enggartiasto Lukita. Enggar juga mengajak Teten yang nota bene koleganya di Kabinet Kerja untuk bersama-sama berbicara di atas podium.
“Ini perdebatan kedua kalinya antara saya dengan Kang Teten. Pada 2011 lalu kami berebut jabatan jadi Ketua Dewan Penasehat, bukan rebutan Ketua Umum IKA UPI. Malam ini perdebatan itu kembali. Saya akhirnya mengalah menjadi Ketua Umum. Terima kasih kepada peserta kongres yang telah memberikan amanah ini kepada saya, kepada kami berdua,” Enggar menutup sambutannya.
Melihat kekompokkan dua pembantu Presiden Jokowi tersebut, Yomanius Untung yang sedang bertugas menjadi ketua presidium kongres mengusulkan agar kedua tokoh tersebut sebagai Dwitunggal IKA UPI. Usulan anggota DPRD Jawa Barat ini langsung disambut gemuruh tepuk tangan peserta kongres.
Sebelumnya, Rektor UPI Asep Kadarohman menyampaikan bahwa kebesaran universitas sangat dipengaruhi alumninya, dalam hal ini kiprah alumni di masyarakat. “Kiprah dan perkembangan karier alumni merupakan salah satu indikator kualitas penjaminan mutu universitas. Karena itu, semua proses akreditasi dan sertifikasi, baik tingkat nasional maupun internasional, selalu melibatkan alumni. Kami keluarga besar UPI mengucapkan terima kasih kepada para alumni yang pada saat akreditasi lalu berkenan datang dan berbagi pengalamannya di hadapan assesor. Alhamdulillah hasil akrediasi kita A dengan predikat cum laude,” ujar Asep bangga.
Di samping itu, Asep merasa perlu melaporkan perkembangan terbaru UPI kepada alumni. Asep memastikan selama 63 tahun berdiri, UPI senantiasa konsisten dengan jati dirinya dalam pendidikan. Pembukaan nonkependidikan, sambung Asep, bertujuan memperkuat program pendidikan itu sendiri. Asep menambahkan, saat ini UPI memiliki ratusan ribu alumni yang berkiprah luas di masyarakat, baik di bidang kependidikan maupun beragam profesi lainnya.
“Dalam enam tahun terakhir, UPI telah meluluskan 52.797 orang. Bayangkan bila dihitung sejak berdiri pada 1954 lalu tentu sudah ratusan ribu,” sambung Asep.
Selain Rektor, Kongres V IKA UPI yang dipadukan dengan penyelenggaraan seminar nasional tersebut turut dihadiri Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) UPI KH As’ad Said Ali, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad, Asisten Pemerintahan dan Hukum Setda Provinsi Jawa Barat Koesmayadie Tatang Padmadinata, para mantan rektor UPI, mantan ketua IKA UPI, dan sejumlah rektor yang juga alumni UPI. Sejumlah rektor yang hadir antara lain Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Soleh Hidayat, Rektor Universitas Terbuka Ojat Darojat, Universitas Muhammadiyah Sukabumi Sakti Alamsyah, dan lain-lain.
Seminar Nasional
Sementara itu, seminar nasional pendidikan yang berlangsung setengah hari mendapat sambutan antusias dari para guru maupun pengambil kebijakan bidang pendidikan. Panitia mencatat pendaftar seminar mencapai angka di atas 700 orang. Dari jumlah tersebut, panitia hanya mengabulkan 600 peserta. Hal ini tidak lepas dari pertimbangan kapasitas tempat duduk dan faktor kenyamanan di arena kegiatan yang secara kebetulan tengah berlangsung Karnaval Pesona Parahyangan yang turut dihadiri Presiden Joko Widodo. Karnaval tahunan ini dihadiri ribuan warga Bandung dan sekitarnya.
Seminar menghadirkan dua narasumber utama Ketua MWA UPI KH As’ad Ali dan Rektor Unnes Fathur Rokhman. Dalam paparannya, Fathur menjelaskan, restorasi pendidikan, sebagaimana restorasi dalam bidang sosial lain, adalah restorasi mekanistis yang lahir berkat kehendak, intervensi, dan strategi subjek tertentu. Dalam konteks pendidikan di Indoensia, restorasi merupakan perubahan yang diskemakan oleh aktor tertentu dengan skema tertentu untuk meraih tujuan tertentu pula.
Bagi pendidikan nasional Indonesia, restorasi pendidikan sangat diperlukan untuk menjaga pendidikan dan keindonesiaan tetap berpijak pada nilai-nilai dasarnya. Karena itulah, sebelum restorasi pendidikan diungkap lebih rinci, perlu digali nilai-nilai dasar pendidikan dan nilai-nilai dasar keindonesiaan. “Benarkah nilai-nilai dasar itu telah ditinggalkan, diingkari, atau diabaikan sehingga diperlukan gerakan untuk mengembalikan ke nilai-nilai dasar itu melalui restorasi?,” ujarnya retoris.
Bagi Fathur, konsep pendidikan yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara patut dipelajari kembali karena merupakan konsep pendidikan nasional paling awal setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk sebagai negara yang berdaulat. Gagasan-gagasan beliau dapat ditemukan dalam Buku Pertama: Pendidikan dan Buku Kedua: Kebudayaan. Sikap Ki Hajar untuk membuat pendidikan dan kebudayaan sebagai dua konsep tak terpisahkan (loro-loroning atunggal) juga merupakan sebuah nilai dasar yang patut diangkat kembali sebagai bagian dari usaha restorasi.
Adapun As’ad Ali menekankan bahwa restorasi pendidikan pada akhirnya adalah kembali ke Pancasila. Mengantisipasi persaingan global dan regional yang makin tajam, orientasi pendidikan haruslah ditujukan untuk membangun kembali karakter dan jati diri bangsa. Dua hal tersebut, karakter dan jati diri serupa tapi tidak sama. Karakter bangsa adalah watak atau kekhususan sebagai bangsa (nasionalisme) yang membedakan dengan bangsa lain. Sedangkan jati diri menunjukkan identitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bersifat religius. Keunggulan bangsa Indonesia terletak pada harmonisasi kebangsaan dan agama.
Karakter dan jati diri itu bisa dijelaskan dalam setiap sila dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya menunjukkan karakter dan sekaligus identitas setiap manusia Indonesia sebagai makhluk bertuhan. Masing masing umat yang berbeda agama mengakui perbedaan keyakinan, tetapi saling menghormati dan bekerjasama untuk membangun bangsanya (pluralisme Sosiologis). Hal ini berbeda dengan bangsa Barat umumnya yang menyamakan semua agama (pluralisme Theologis) dan hanya menganggap agama sebagai etika yang tidak diberi peran di ranah publik.
“Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab yang dimaksud bukanlah humanisme Barat yang mendewakan rasio dan kebebasan berfikir, tetapi kemanusiaan dalam konteks universalisme yang berbasis agama. Sila ketiga, persatuan Indonesia menunjukkan bahwa keberagaman suku, ras, budaya dan agama merupakan keniscayaan yang menjadi pengikat persatuan. Keberagaman Indonesia merupakan keunikan dan sekali gus sebagai kekuatan atau modal dalam pergaulan antar bangsa,” papar mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
“Sila keempat, kerakyatan atau demokrasi yang khas yang berbeda dengan pengertian demokrasi liberal, karena sila keempat memberi ruang kepada nilai agama (hikmah dan permusyawaratan), nilai lokal (mufakat) dan juga tidak meninggalkan nilai modern (perwakilan dan kedaulatan rakyat). Sila kelima, keadilan sosial menunjukkan pada kemakmuran seluruh warga negara, bukan kesejahteraan untuk orang perorang seperti di negara Barat. Disamping itu berbeda pula dengan Komunisme ortodox yang meminimalisir hak milik pribadi,” As’ad melanjutkan.
As’ad menegaskan, restorasi pendidikan dalam membangun Indonesia Baru yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian semestinya bertitik tolak dari pembangunan karakter dan jatidiri bangsa, Pancasila. Pembangunan karakter itu dimulai sejak usia dini, dilakukan oleh seluruh lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta termasuk lembaga pendidikan yang bercorak tradisional. Di samping itu juga melibatkan partisipasi masyarakat sesuai kapasitas masing masing dan keteladanan para pemangku kepentingan. Pada saat yang bersamaan, pendidikan untuk menguasai iptek termasuk manajemen modern berjalan selaras dengan pendidikan karakter. Keseimbangan pendidikan karakter dan Iptek diharapkan menghasilkan etos kerja yang kuat dalam menghadapi persaingan antar bangsa.
Dedikasi Alumni
Di tempat yang sama, Ketua Panitia Kongres V IKA UPI Maman Abdurachman menjelaskan bahwa kongres benar-benar didedikasikan bagi para alumni UPI yang berdiaspora ke berbagai tempat maupun ragam profesi ranah kehidupan. Kongres V merupakan ajang bagi para alumni UPI untuk kembali pulang ke almamater tercinta. Kongres V menjadi momentum tepat bagi segenap alumni UPI untuk merajut sinergi membangun negeri menuju restorasi pendidikan Indonesia.
“Terlebih pada tahun inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah institusi ini terdapat dua alumni terbaik UPI mendapat kepercayaan menjadi anggota kabinet. Mereka adalah Enggartiasto Lukita yang didaulat menjadi Menteri Perdagangan dan Teten Masduki yang mendapat kepercayaan sebagai Kepala Staf Presiden pada Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Yang membuatnya terasa lebih istimewa bagi alumni UPI adalah keduanya merupakan dua petinggi IKA UPI, Enggartiasto Lukita merupakan Ketua Umum IKA UPI dan Teten Masduki merupakan Ketua Dewan Penasehat IKA UPI,” papar Maman.
Untuk itu, sambung anggota DPRD Jawa Barat ini, maka rangkaian Kongres V tidak semata-mata melanjutkan estafet kepemimpinan IKA UPI. Kongres V didesain khusus untuk memadukan pemenuhan amanat organisasi dengan reaktualisasi peran alumni UPI dalam pembangunan universitas dan pendidikan nasional melalui sebuah dialog kebangsaan dengan menghadirkan tokoh-tokoh alumni UPI dari berbagai latar belakang keilmuan, profesi, maupun institusi.
Kemudian, guna memberikan apresiasi kepada guru berdedikasi, IKA UPI juga akan menganugerahkan penghargaan Guru Pengabdi kepada enam guru terpilih. Penganugerahan ini merupakan agenda lima tahunan IKA UPI. “Namun demikian, penghargaan ini tidak kami berikan sekarang. Kami mengagendakan penganugerahan dilakukan pada saat pelantikan pengurus mendatang,” jelas Maman. (NJP)