Harapmu, Titahku

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

MENYUSURI Gunung Kulu di Provinsi Aceh Besar, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), tak ubahnya menyingkap surga yang tersembunyi. Ditemani Dr. Saiful Usman dari Prodi PKn Unsyiah, saya menikmati sejuknya hawa Gunung Kulu dengan penuh takjub. Jalan yang menanjak dan berkelok selepas Gunung Paro seolah menjadi tangga alam untuk mendaki ketinggian demi menyaksikan keindahan lansekap di kaki gunung.

Lalu lintas yang cukup sepi memberi kesempatan kepada sekelompok kera bercengkerama di tengah jalan, dan hanya menepi ketika kendaraan lewat. Ini seperti jalan-jalan di Taman Safari Bogor.

Selama tujuh puluh menit berkendara dari Kota Banda Aceh, mata saya disuguhi pemandangan alam yang menawan. Begitu keluar dari Kota Banda Aceh, mata langsung dimanjakan oleh tepian laut yang membiru. Bibir pantai yang memanjang seperti mutu manikam yang dibalut buih yang memutih. Air laut yang tenang seperti tengah bermain mata dengan sorot matahari senja yang kian temaram.

Keindahan alam yang terhampar di pelupuk mata tampak tidak ada yang menikmati sore itu. Tidak ada orang main, atau sekadar duduk-duduk di pantai. Mungkin karena hari kerja, atau jangan-jangan keindahan yang serbahadir itu dianggap sebagai hal biasa oleh penduduk setempat.

Pantai yang sepi bersenyawa dengan jalanan yang lengang. Padahal, jalan yang kami tempuh menghubungkan Kota Banda Aceh dengan beberapa kabupaten di wilayah barat daya, seperti Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Simeulue. Menurut Saiful, jalur ini biasanya ramai selepas maghrib, ketika warga yang bermukim di barat daya Banda Aceh, yang berangkat subuh menuju ibu kota NAD, tiba di ruas jalan ini.

Pikiran saya menerawang ke belakang, bila sekarang masih lengang, lalu bagaimana ketika daerah ini dilanda konflik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan para kombatan? Terbayang pula betapa sunyi senyapnya kota ini ketika disapu tsunami yang meninggalkan ribuan mayat dan meluluhlantakkan kota beserta isinya.

Namun, lamunan saya segera buyar manakala menatap barisan gunung yang berdiri tegak menghijau di kiri kanan jalan. Kedua sisi gunung menghimpit jalan yang berkelok menanjak, mirip rute menuju Dandenong Ranges bila ditempuh dari Kota Melbourne. Sedangkan puncak gunung yang membiru, yang dibalut perdu yang rimbun, dan pohon yang bergerombol, mengingatkan saya pada keindahan kota Guilin di Guangxi Juang, bagian selatan Republik Rakyat Tiongkok, sebuah kota yang dilukiskan warganya sebagai tempat terindah, surga dunia, yang terletak di bagian selatan Republik Rakyat Tiongkok.

Rasanya tak berlebihan bila memori saya menghubungkan perjalanan ke Gunung Kulu dengan Dandenong Ranges di Melbourne dan Guilin di Guangxi. Eksotika yang menjadi ciri destinasi wisata berkelas dunia tersebut nampak di sini, yakni pemandangan yang menawan, gunung berujung lancip yang membiru, hawa sejuk dan bersih, air yang bening, dan diselimuti ketenangan yang memanjakan.

Selepas puncak Gunung Kulu jalanan menurun. DI kiri kanan jalan berdiri beberapa warung. Ini menjadi penanda, warga sudah merasa aman berusaha, di tengah hutan sekalipun.

Mata saya segera tertuju pada warung di kelokan jalan, yang menjual buah durian, atau boh drin dalam bahasa setempat. Kami turun dari mobil, disergap bau durian yang menyengat. Setelah berbicara dalam bahasa Aceh, pedagang pun membawa buah durian yang sudah dibelah, diikuti Saiful.

pak-karim-harapmu-titahku-sSang penjual durian bilang, “Boh drin (buah durian) ini matang di pohon, terjatuh karena sudah matang, rasanya pasti lebih manis”. Boh drin menjanjikan kelezatan sempurna ketika sudah matang di pohon dan jatuh bukan karena dipetik.

Filosofi boh drin yakni datang kala sudah matang, bertolak belakang dengan karakter pemimpin yang hadir karena dikarbit, dan tampak siap karena disulap dengan jajak pendapat. Padahal, dari dulu hingga sekarang, sejarah kemunculan pemimpin tidak pernah menempuh jalan pintas.

Pengalaman keterlibatan dan penugasan seseorang adalah proses pematangan, hingga masa memanggilnya untuk memegang amanah. Proses pematangan inilah yang membuat calon pemimpin belajar banyak hal dari hidup dan kehidupannya. Belajar mengatasi persoalan, belajar mengendalikan emosi, belajar menghargai orang lain, dan belajar berterima kasih. Pengalaman belajar inilah yang memberinya kesempatan untuk mengenal siapa dirinya dan siapa orang-orang yang hidup dengannya, sekaligus modal untuk merasakan passion ketika berhubungan dengan warga.

Kehebatan seorang pemimpin tumbuh dari passion-nya dalam mewujudkan visi, bukan dari posisinya (position). Itulah sebabnya, tidak ada alasan untuk berharap kebajikan dari seorang pemimpin yang tidak merasakan tekanan yang dihadapi pengikutnya.

Di sisi lain, filosofi boh drin pun menegaskan kembali pentingnya karakter bagi seorang pemimpin. Bila harum dan manis menjadi ciri penting boh drin, maka kemampuan memberi pengertian dan contoh adalah karakter utama pemimpin yang baik.

“Character trumps brains – or at least formal education”, demikian kesimpulan Waller R. Newell setelah meneliti para Presiden Amerika sepanjang sejarah bangsa ini. Gagasan Newell yang menggantungkan baik-buruknya pamer kekuatan pada karakter dilandasi keyakinan bahwa kekuatan bersifat multipurpose, beraneka tujuan. Layaknya kekuatan, kekuasaan pun bisa digunakan untuk tujuan mulia, atau sebaliknya.

Itulah sebabnya, sejak zaman Mahabarata hingga era Star Wars, panggung kekuasaan selalu diwarnai pertarungan karakter baik melawan sifat jahat. Bila dalam Mahabarata Sri Rama harus memperjuangkan kebenaran yang diacak-acak kejahatan dan keserakahan Rahwana, maka dalam Star Wars kaum Jedi harus berjuang melawan kaum Sith yang mempergunakan kekuatan untuk tujuan jahat.

Keinginan Rahwana untuk berkuasa tanpa batas, atau nafsu kaum Sith yang terus melipatgandakan kekuatan mengajarkan satu hal, bahwa kekuasaan tak ubahnya makan boh drin, lebih banyak tidak selalu lebih baik. Alih-alih menumpuk kekuasaan, kebajikan seorang pemimpin lahir dari kemampuannya mendengarkan (bukan pura-pura bicara dan mendengar kelompok ini dan itu) dan komitmennya mewujudkan harapan warga.

Dari para pemimpin pemberani kita mendapat pelajaran, jika bukan Tuhan maka rakyatlah yang mereka takuti. Kedekatannya dengan rakyat bukan kepura-puraan, yang mengelak ketika rakyat berharap. Bagi pemimpin pemberani, harapan rakyat adalah titah baginya.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/11/28/harapmu-titahku-386169