ICOLLITE Bahas Isu Revolusi Industri 4.0 dalam Konteks Literasi

Bandung, UPI

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia (FPBS UPI) menyelenggarakan International Conference on Language, Literature, Culture, and Education (ICOLLITE) ke -3, Kamis, (24/10/2019) di Auditorium Hotel Haris, Ciumbuleuit, Bandung.

ICOLLITE ke-3 yang dibuka secara resmi oleh Rektor UPI, Prof. H.R. Asep Kadarohman, M.Si ini menampilkan tiga pembicara kunci diantaranya Prof. Kyunsung Kim, Ph.D (President of Seoul National University of Education), Prof. Rosna Awang-Hashim, Ph.D (University Utara Malaysia) dan Prof. Riswanda Setiadi, Ph.D (Universitas Pendidikan Indonesia) serta enam pembicara utama.

Menurut Ketua Pelaksana ICOLLITE, Eri Kurniawan, Ph.D., acara ini merupakan kegiatan tahun ketiga yang telah dibangun sejak 13 tahun, dengan tujuan untuk memberikan wahana intelektual bagi para dosen, mahasiswa dan insan akademik yang berkecimpung di bidang bahasa, sastra, budaya dan pendidikan untuk berbagi dan bertukar gagasan, pandangan, dan praktik terbaik untuk mendorong dialog dan membuahkan hasil terutama dalam rangka mengatasi tantangan revolusi industri 4.0.

“Sebenarnya ada kondisi khusus yang diemban pada konferensi internasional kali ini yaitu ingin memberikan kesempatan kepada para doktor yang baru menyelesaikan masa studi program doktornya”, kata Eri Kurniawan.

Dijelaskan Eri, secara tema yang diangkat pada konferensi kali ini yaitu tantangan revolusi industri 4.0 dalam konteks literasi, karena kita ketahui bahwa tantangan tersebut telah mengancam dunia “Pendidikan” sehingga kita yang berada dalam lingkup pendidikan harus bisa menjawab tantangan tersebut agar pendidikan bisa berjalan seiring dengan perkembangan teknologi yang ada.

Lebih lanjut dijelaskan Eri Kurniawan, seiring dengan perkembangan era revolusi industri 4.0, melalui kegiatan ini tentunya kami ingin membangun kesadaran bahwa kita tidak bisa lagi menerapkan literasi seperti jaman konvensional, tetapi literasi jaman sekarang menuntut orang bukan hanya sadar akan pentingan alat pembelajaran yang sifatnya tidak terikat ruang dan waktu, jadi sebagai guru dan lembaga pendidikan kita harus bisa menyediakan strategi dan fasilitas yang bisa membangun jiwa kependidikan.

“Selama ini leterasi dipahami secara literal sebagai kemelekaksaraan, tentunya pola pikir tersebut merupakan pola pikir dahulu yang kini perkembangannya sudah memasuki era teknologi yang canggih dan bahkan orang tua membesarkan anak melalui teknologi, sehingga yang harus kita pikirkan bahwa teknologi yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut bisa membekali mereka dengan keterampilan yang membuat mereka bertahan hidup dimasa yang akan datang”, lanjutanya.

Ia berharap konferensi ini dapat menyuguhkan sesuatu yang menarik baik melalui makalah yang mengacu pada penelitian empiris yang mengembangkan wawasan teoritis dan konseptual yang berkaitan dengan bahasa, sastra, budaya, dan pendidikan.

“Hasil konferensi ini tidak hanya sebatas pada penyajian makalah atau wacana intelektual saja, tetapi bisa menghasilkan sebuah rekomendasi yang bisa disampaikan kepada lembaga pendidikan dan masyarakat agar kita bisa mengubah paragidma literasi yang konvensional ke multi literasi yang berbasis digital”, tegasnya. (DN)