Indonesia Mesti Mendemokratisasi Stasiun Televisi

1-1Bandung, UPI

Isi siaran televisi di Indonesia sangat tidak demokratis. Salah satu penyebab terkuatnya adalah tempat produksi yang terpusat di Jakarta. Stasiun televisi swasta tidak mematuhi peraturan Undang-undang No. 32 tahun 2002 pasal 31 (3), yang menyebutkan, “Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.” Itulah kesimpulan penelitian yang dilakukan Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) selama 2014-2015 mengenai televisi mulai dari proses produksi hingga konsumsi.

Hasil penelitian itu disampaikan Dwitri Amalia dan Klara Esti dari CIPG dalam diskusi “Unboxing Television in Contemporary Indonesia”, di s.14 Art Space and Library, Jalan Sosiologi No. 14, Komplek Perum Unpad Cigadung, Bandung, Sabtu (28/11/2015). Berbagai kalangan yang tertarik dengan media massa di Indonesia turut hadir untuk mengemukakan gagasannya.

Sumber isi siaran televisi yang didominasi oleh Jawa, merupakan contoh nyata dampak tidak ditegakkannya televisi berjejaring di Indonesia. Suku Jawa, Betawi, dan Sunda mendominasi isi siaran di seluruh stasiun televisi. “Agama Islam pun menjadi sangat dominan, sekitar 97 persen ketika kami melakukan analisis isi, siaran Islam mendominasi. Padahal, di berbagai daerah ada yang masyarakatnya mayoritas bukan Islam,” jelas Dwitri.

NET
NET

Sangat disayangkan, meskipun ada siaran lokal yang diangkat, framing dari media nasional sangat kabur. Misalkan, Makassar selalu diangkat ketika terjadi kekerasannya saja. “Mama tidak mau tinggal di Jakarta, kalau sekadar berkunjung mau. Jakarta seram, banyak preman dan penjahatnya,” ujar salah satu responden saat penelitian entografi di Pulau Ende, NTT.

Sandi, dosen Fikom Unpad yang turut hadir dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa selain sistem yang tidak dipatuhi oleh industri, sumber daya manusia pekerja televisi pun sangat lemah. “Mereka (pekerja media) seperti alien gedung-gedung, karena diam di metropolitan. Mereka tidak paham realitas di masyarakat yang sebenarnya tidak tergali, dan penting mereka sampaikan.” (Hasil penelitian dapat diunduh di http://cipg.or.id/category/publication/research-report/)

Diskusi hasil penelitian ini, dielaborasi oleh dua akademisi, yaitu Professor Primadi Tabrani dari Institut Teknologi Bandung, dan Santi Indra Astuti dosen Fikom Unisba. Santi menyampaikan pujian terhadap penelitian yang dipimpin oleh Yanuar Nugroho, Ph.D tersebut. Santi menyebutkan bahwa inilah penelitian yang dirindukan kaum akademisi komunikasi di Indonesia. Yaitu penelitian mengenai audience yang komperhensif.

NET
NET

“Penelitian ini pun dibedah dengan pisau analisis yang tinggi, misalkan mereka udah sampe ke teori Strukturnya Antony Giddens, yang cenderung dihindari oleh banyak peneliti Indonesia karena sulit,” puji Santi. Peneliti pun berhasil membedah proses produksi televisi dengan baik, termasuk sistem ranking. Executive dari Nielsen misalkan mengakui dalam transkrip wawancaranya, bahwa hasil ranking Nielsen tidak merepresentasikan Indonesia, tapi hanya sebelas kota yang dijadikan tempat pengambilan sampel.

Prof. Primadi mengambil sudut pandang yang lebih menarik. Ia menantang peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan, yaitu mengenai perbandingan hasil penelitian televisi Indonesia saat ini dengan penelitian tontonan masyarakat zaman dahulu, serta melakukan penelitian untuk meracik masa lalu dan masa kini demi masa depan televisi yang lebih baik. Prof. Primadi mengemukakan gagasan mengenai dream time. Konsep itu bersumber dari suku Aborigin Australia.

Dream time itu suatu narasi yang berlaku kapan pun, di mana pun, bagi siapa pun, dan cerita itu mengandung nilai dasar kemanusiaan. Televisi kita kekurangan ini, sehingga televisi hanya sekadar tontonan, tidak mengandung tuntutan seperti dalam dream time,” ujarnya dengan tegas.

Karena pandangan itu, peserta diskusi dan pemateri pun mengkritik sistem pendidikan tinggi Jurusan Ilmu Komunikasi. Diskusi ditutup dengan pemberian buku hasil penelitian oleh moderator Iman Abda, dan pihak CIPG. (Muhammad Fasha Rouf, Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UPI)