INOVASI MERDEKA BELAJAR DI ERA EDUACATION 4.0
|oleh
Oleh: Prof. Dr. Suwatno, M.Si.
(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
Empat pokok kebijakan baru yang tertuang dalam gagasan “Merdeka Belajar” pada hakikatnya merupakan upaya untuk menciptakan sistem & budaya pembelajaran dan pengajaran yang lebih efektif, pro-aktif, kreatif, inovatif, mandiri, konktekstual dan emansipatoris, serta senafas dan sebangun dengan perubahan global di dunia pendidikan yang saat ini bertema Education 4.0. Sehingga untuk mencapai orientasi tersebut, Kemendikbud merasa perlu untuk memangkas hal-hal yang bersifat prosedural dan administratif yang dinilai menghambat efektivitas dan esensi pembelajaran. Dalam hal ini, para guru sepatutnya memberikan apresiasi terhadap kebijakan baru ini.
Gagasan ini memang sangat krusial dalam rangka melakukan transformasi pembelajaran menuju output dan outcome pendidikan Indonesia yang lebih baik dan maju. Meskipun sebetulnya dalam literatur metode pembelajaran, gagasan mengenai kemerdekaan dalam belajar ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Selama ini kita sudah mengenal beberapa konsep dan metode pembelajaran yang memiliki tendensi ke arah kemerdekaan belajar seperti Student Centered Learning (SCL), Contextual Teaching and Learning (CTL), Independent Learning, Emancipatory Learning, Innovative Teaching, dan lain-lain. Bahkan, gagasan tentang pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) sebetulnya sudah diprakarsai oleh John Dewey satu abad yang lalu.
Konsep-konsep dan metode-metode tersebut juga secara esensi sebetulnya sudah mulai diadaptasi dalam kurikulum-kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia. Kita masih ingat, dulu kita pernah memiliki Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Kurikulum ini pada dasarnya sudah memberikan kemerdekaan kepada sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum sendiri sesuai potensi daerahnya masing-masing. Selain itu, di jenjang pendidikan dasar sejak tahun 2000an kita juga sudah menerapkan gagasan tentang Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Puncaknya di Kurikulum 2013, sebetulnya kita sudah relatif lebih mapan dalam mengadaptasi pendekatan pembelajaran yang “membebaskan” siswa. Hanya saja, memang problem terbesarnya terletak pada proses dan evaluasi dari pelaksanaan kurikulum-kurikulum tersebut (Maftuh, 2019).
Berbicara tentang pembelajaran yang “merdeka”, seyognyanya kita juga tidak boleh melupakan model pembelajaran yang selama ini dijadikan sebagai pedoman para guru. Hanya saja, setiap guru harus mulai berani untuk melakukan kontekstualisasi dengan kultur pembelajaran di era Education 4.0. Dalam hal ini ada beberapa komponen yang harus diperhatikan, antara lain:
- Pendekatan pembelajaran, yakni titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Secara teori ada dua jenis pendekatan, yaitu student centered approach dan teacher centered approach. Gagasan “Merdeka Belajar” seharusnya lebih menekankan pendekatan yang berpusat pada siswa.
- Strategi pembelajaran, yakni kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam hal ini ada dua jenis strategi pula, yakni exposition-discovery learning dan group-individual learning.
- Metode pembelajaran, yakni cara yang digunakan guru untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan antara lain: ceramah, demonstrasi, diskusi, simulasi, laboratorium, pengalaman lapangan, brainstorming, debat, simposium, dan lain-lain. Dalam gagasan “Merdeka Belajar”, konsekuensinya adalah metode seperti diskusi, brainstorming, debat, simposium dan sejanisnya yang lebih ditekankan dibanding metode ceramah.
- Teknik dan Taktik Pembelajaran. Teknik pembelajaran adalah cara yang dilakukan oleh guru dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Sementara taktik pembelajaran adalah gaya guru dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual.
Praktik “Merdeka Belajar”: Independen, Kontekstual, Inovatif
Sebagai sebuah gagasan yang baru diaktualisasikan dalam bentuk kebijakan (policy), saat ini “Merdeka Belajar” masih belum diderivasi secara lebih rigid dan detail dalam konteks praktik pembelajaran. Yang masih menjadi pertanyaan kita adalah apakah metode pembelajaran yang dikehendaki oleh konsep “Merdeka Belajar” akan diserahkan kepada guru sepenuhnya dengan alasan guru harus diberikan kebebasan penuh dalam mendidik/mengajar, ataukah tetap ada juklak dan juknis yang menjadi rambu-rambu implementasinya? Sebelum ada kejelasan mengenai hal ini, menurut saya tidak ada salahnya bagi para guru untuk memulainya saat ini juga dengan dipandu oleh literatur-literatur dan best practice pembelajaran yang memiliki spirit merdeka belajar.
- Komitmen
- Mandiri
- Refleksi
Menurut Shihab (2017), komitmen guru dan murid yang merdeka dalam belajar adalah ketekunannya dalam perjalanan menuju tujuan yang bermakna bagi diri sendiri. Komitmen terhadap tujuan dari pembelajaran ini seharusnya tidak sekadar untuk mencari nilai, melainkan yang lebih penting adalah untuk penguasaan (mastery). Sehingga kemampuan dan keterampilan yang diperoleh dari hasil pembelajaran benar-benar bersifat nyata, bukan sekadar di atas kertas. Proses pembelajaran tersebut harus dilakukan dengan semangat kemandirian. Di akhir pembelajaran, setiap guru dan murid juga harus melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilalui. Dengan demikian, segala yang kurang dapat diperbaiki di kemudian hari.
Menurut saya, gagasan Merdeka Belajar sejatinya merupakan pembelajaran yang memberikan ruang kebabasan terhadap independensi dalam belajar, bersifat kontekstual dan dijalankan secara inovatif. Dalam makalah ini saya hanya akan menjelaskannya secara ringkas seperti apa pembelajaran yang bersifat independen, kontekstual dan inovatif.
- Pembelajaran Independen
Menurut Fisk (2017), ada 9 tren yang berkembang dalam sistem pendidikan 4.0, yaitu:
- Kegiatan pembelajaran dapat dilakukan di lokasi dan waktu yang fleksibel.
- Pembelajaran menjadi lebih bersifat individual.
- Metode pembelajaran dapat ditentukan sendiri oleh masing-masing siswa.
- Pembelajaran lebih banyak berbasis proyek.
- Pembelajaran empiris-eksperimental mendapat porsi yang lebih besar.
- Siswa dimotivasi untuk belajar melakukan penalaran dan penafsiran data.
- Evaluasi belajar tidak lagi menggunakan metode konvensional.
- Siswa didorong untuk aktif berpartisipasi dalam desain dan revisi kurikulum.
- Siswa didorong untuk lebih mandiri dalam belajar dan guru hanya sebagai fasilitator pembelajaran.
Jadi, semangat dari pendidikan 4.0 adalah menciptakan iklim pembelajaran yang “merdeka” dan memberikan ruang kepada siswa untuk mandiri dan independen dalam belajar. Benefit dari pembelajaran independen ini antara lain:
- Meningkatkan performa akademik
- Meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri
- Meningkatkan kesadaran siswa akan batasan dan kemampuan mereka sehingga mudah mengelola potensi mereka.
- Membuat guru mengetahui kemampuan masing-masing siswa untuk memberikan tugas yang berbeda-beda.
- Membangun lingkungan sosial yang lebih inklusif sehingga tidak ada siswa yang merasa teralienasi.
Sementara itu keterampilan-keterampilan yang dapat dimiliki oleh siswa setelah melakukan pembelajaran independen, antara lain:
- Cognitive skills: misalnya mampu membuat hipotesis masalah, mengklasifikasi objek berdasarkan kriteria, mengkonstruksi cara berfikir untuk menyelesaikan masalah secara logis, dan lain-lain.
- Metacognitive skills: siswa mampu mendeskripsikan dan mengidentifikasi cara mereka belajar, seperti mendengar, mengingat, mengecek kebenaran pengetahuan, menulis, dan lain-lain.
- Affective skills: yakni keterampilan mengelola perasaan. Dalam hal ini, motivasi adalah atribut keterampilan afektif yang paling penting dalam pembelajaran independen.
Sementara itu strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran independen, antara lain:
- Guru secara bertahap “mentransfer tanggungjawab” (transfer of responsibility) pembelajaran kepada siswanya. Dalam hal ini guru tidak mengajar secara “top-down”, melainkan berangkat dari kebutuhan, keinginan atau respon para siswa.
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan “self monitoring” (pengawasan mandiri). Dalam hal ini antar siswa bisa saling memberikan feedback dan setiap siswa juga dapat mengevaluasi dirinya sendiri.
- Mendorong siswa untuk membuat modelling perilaku guru-guru mereka, misalnya modelling tentang cara guru belajar dengan cepat.
- Memberikan feedback terhadap pekerjaan rumah (PR)
Jadi, dalam hal ini guru lebih mempososikan diri sebagai moderator dalam proses pembelajaran. Untuk menjadi moderator yang efektif, guru perlu memiliki keterampilan antara lain (Iriantara dan Syaripudin, 2018):
- Dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa
- Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
- Mampu mengajukan pertanyaan yang mendorong siswa mendalami sendiri materi belajar.
- Menggunakan pertanyaan yang mendorong penalaran tingkat tinggi
- Mampu memfasilitasi berbagai pertanyaan dan komentar siswa
- Mampu menggunakan media komunikasi nonverbal secara efektif
- Terampil dalam berbagai teknik interaksi guna mencegah kebosanan.
- Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran yang “merdeka” di era Education 4.0 juga harus bersifat kontekstual. Dalam literatur pembelajaran kita mengenal konsep yang disebut dengan pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL). CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka sendiri.
Dalam perkembangannya, CTL memberi titik tekan pada cara berpikir tingkat tinggi (high order thinking – HOT), transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisisan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan perspektif.
Menurut Blanchard (2001), strategi CTL dapat membantu memenuhi kebutuhan masing-masing siswa yang berbeda-beda, meliputi:
- Menekankan pada pemecahan masalah
- Menyadari perlunya pembelajaran dalam berbagai konteks
- Mengajarkan siswa untuk memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri
- Mengajar sesuai dengan keragaman konteks kehidupan siswa
- Mendorong siswa untuk belajar dari satu sama lain dan bersama-sama
- Menggunakan penilaian otentik.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yakni;
- Konstruktivisme (constructivism): menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami siswa.
- Inkuiri (inquiry): pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Siklus inquiri terdiri dari: observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, penyimpulan.
- Bertanya (questioning): kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
- Masyarakat belajar (learning community): bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah dimana kedua belah pihak saling memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
- Pemodelan (modeling): dalam hal ini guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang bisa ditunjuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan yang diketahui. Model juga bisa didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya.
- Refleksi (Reflection): cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa yang lalu. Refleksi merupakan respon dari kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya.
- Penilaian autentik (Authentic assessment): proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Dalam hal ini penilaian tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi bisa juga oleh teman atau orang lain.
Berikut ini adalah tabel perbedaan antara CTL dengan pembelajaran yang bersifat konvensional (Sanjaya, 2011):
.
No | Bagian Pembelajaran | CTL | Konvensional |
1 | Siswa | Subjek, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran | Objek, artinya siswa hanya berperan sebagai penerima informasi secara pasif |
2 | Objek pembelajaran | Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil | Pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak |
3 | Pembelajaran | Siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima dan memberi. | Siswa belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran. |
4 | Kemampuan | Berdasarkan atas pengalaman. | Berdasarkan melalui latihan-latihan. |
5 | Tujuan akhir | Kepuasaan diri. | Nilai atau angka. |
6 | Tindakan | Perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri. | Perilaku didasarkan oleh faktor dari luar dirinya. |
7 | Pengetahuan | Berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. | Kebenarannya absolut dan final, pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain. |
8 | Proses pembelajaran | Tanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing | Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. |
9 | Tempat belajar | Pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan. | Pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas. |
10 | Ukuran keberhasilan | Pembelajaran diukur dengan berbagai cara, misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dll. | Pembelajaran hanya diukur dari tes. |
- Pembelajaran Inovatif
Pembelajaran yang “merdeka” juga harus dilakukan secara inovatif. Dalam hal ini, setiap guru perlu memiliki keterampilan untuk memberikan pengajaran yang inovatif. Beberapa metode yang dapat dilakukan oleh guru dalam memberikan innovative teaching antara lain (Kalyani & Rajasekaran, 2018):
- Menggunakan alat bantu audio dan video (teknologi digital)
- Melakukan brainstorming
- Belajar di luar kelas
- Membuat roleplay
- Mendorong penemuan ide-ide baru
- Menggunakan permainan (puzzle and game)
- Melakukan Story telling.
Salah satu indikator inovasi pembelajaran di era Education 4.0 adalah penggunakan teknologi dan proses pembelajaran dan pengajaran. Dalam hal ini, penggunaan teknologi dapat melibatkan siswa dengan berbagai jenis rangsangan pembelajaran berbasis aktivitas. Teknologi membuat materi yang dipelajari lebih menarik, sehingga memacu para siswa dan guru untuk lebih banyak melek media.
Beberapa jenis teknologi yang dapat digunakan dalam pembelajaran dan pengajaran inovatif antara lain (Subramani & Iyappan, 2018):
- Voice Threads
Adalah layanan web yang memungkinkan pengguna mengunggah slide PowerPoint, video, foto dll dan menambahkan narasi suara untuk membuat presentasi multimedia.
- Blogging
Adalah postingan publik. Disini siswa dapat diminta untuk mengirim catatan di blog kelas.
- Social Bookmarking
Adalah proses sederhana menyimpan alamat situs web di folder favorit di browser web kita untuk lebih mudah dicari/ditemukan kembali.
- Podcast
Adalah serial rekaman yang diposting secara reguler secara online. Pada dasarnya, memproduksi podcast adalah berbasis teknologi yang mirip dengan kuliah lisan. Keuntungan menggunakan podcast adalah fleksibilitasnya dan dapat digunakan kembali untuk pengajaran.
- Screencast
Adalah cara yang efektif untuk berbagi ide dan konten untuk memperoleh umpan balik dari siswa. Screencasts dapat digunakan untuk menggambarkan proses, menjelaskan konsep tertentu, atau menyajikan presentasi PowerPoint dengan narasi dan unsur-unsur multimedia.
Lalu seperti apa kompetensi guru yang dibutuhkan di era Education 4.0? Dalam hal ini Qusthalani (dalam Wahyuni, 2018) menyebutkan lima kompetensi yang perlu dipersiapkan oleh guru di era 4.0:
- Kompetensi menyelenggarakan pembelajaran berbasis internet.
- Kompetensi untuk komersialisasi teknologi.
- Kompetensi dalam globalisasi.
- Kompetensi memprediksi kecenderungan masa depan.
- Kompetensi guru sebagai konselor.
REFERENSI:
Blanchard, A. 2001. Contextual Teaching and Learning. Educational Services
Fisk, P. 2017. Education 4.0… the future of learn-ing will be dramatically different, in school and throughout life. Diambil dari https://www.thegeniusworks.com/2017/01/future-education-young-everyone-taught-together/
Iriantara, Y. & Syaripudin, U. 2018. Komunikasi Pendidikan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Kalyani, D. & Rajasekaran, K. 2018. Innovative Teaching and Learning. Journal of Applied and Advanced Research, 2018: 3 (Suppl. 1) S23-S25
Lankard, B. A. 1995. New Ways of Learning in the Workplace. ERIC Information Analysis Products, Digest No. 161 (ED385778).
Maftuh, Bunyamin. Inovasi Berkelanjutan. Pikiran Rakyat, 27 November 2019.
Meyer, et.al 2008. What is independent learning and what are the benefits for students? London: Department for Children, Schoolsand Families Research Report 051
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Subramani, P.C. Naga & Iyappan, V. 2018. Innovative Methods of Teaching and Learning. Journal of Applied and Advanced Research, 2018: 3 (Suppl. 1) S20-S22
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif. Jakarta: Kencana
Wahyuni, Dinar. 2018. Peningkatan Kompetensi Guru Menuju Era Revolusi Industri 4.0. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Vol. X, No. 24/II/Puslit/Desember/2018
Online:
https://kabar24.bisnis.com/read/20191215/79/1181451/nadiem-dan-terobosan-merdeka-belajar
https://kumparan.com/najelaa-shihab/merdeka-belajar-komitmen-pada-tujuan https://www.youtube.com/watch?v=jTdiaGYwGnA