Jadilah Pendidik yang Mampu “menggosok” Akal dan Kalbu Siswa hingga Keluar Ilmu

12Bandung, UPI

Pendidik ialah orang yang menyadarkan orang lain bahwa di dalam dirinya terdapat cahaya. Pendidik itu bagaikan seorang petualang yang menggosokkan dua bilah dahan kering hingga keluar api. Pendidik hanyalah “menggosok” akal dan kalbu siswa hingga keluar ilmu. Yang menyimpan cahaya ilmu itu adalah Tuhan yang Maha Kuasa, dan Dia pula sebagai Pendidik hakiki, yang diistilahkan dengan Rabbul ‘alamin.

“Fungsi utama cahaya ilmu adalah sebagai penerang jalan kehidupan. Fungsionalisasi inilah yang sering diungkapkan dengan ‘ilmu yang bermanfaat’. Karena itu, para ahli mengatakan, orang terpelajar bukanlah orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan, tetapi orang terpelajar ialah yang mengetahui kebaikan lalu dia mengikutinya, dan orang yang mengetahui keburukan lalu dia menjauhinya. Tidak ada keterpelajaran, tanpa pengamalan,” kata Prof. Dr. Syihabuddin, Ketua Senat Akademik Universitas Pendidikan Indonesia saat menyampaikan sambutan pada acara Wisuda Gelombang II Tahun 2015, Rabu (9/9/2015) di Gedung Gymnasium Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.8

Dikemukakan, ilmu tersebut disimpan Tuhan di dalam kalbu setiap insan. Ilmu itu ditambah, ditingkatkan, dan dikuatkan dengan fungsi akal. Akal difungsikan melalui kegiatan berpikir. Berpikir ialah interaksi antara akal dengan alam semesta dengan bantuan otak, kalbu, dan panca indra. Maka kesehatan dan kebaikan seseorang sangat tergantung pada otak yang ada di kepala; seperti segar-tidaknya ikan tergantung dari insang yang ada di kepala.

“Karena itu, Nabi Muhammad saw. menegaskan, jika segumpal daging dalam tubuh manusia itu baik, maka baiklah seluruh jiwa raganya. Sebaliknya, jika daging itu buruk, maka buruklah seluruh jiwa raganya,” kata Prof. Syihabuddin.

Agar otak dan kalbu baik, sehat, dan berfungsi, kata Prof. Syihabuddin, maka ia perlu diberi asupan yang bergizi, baik berupa makanan material atau makanan spiritual. Kedua jenis asupan itu harus halal dan baik. Jika tidak, maka otak dan kalbu bisa demam, seperti halnya tubuh. Untungnya, manusia memiliki mekanisme untuk selalu memilih makanan yang terbaik bagi tubuhnya.9

Ibrahim Elfiki, seorang motivator asal Mesir, memberikan ilustrasi, ada tiga jenis makanan yang disajikan kepada orang yang lapar. Pertama, makanan dari hotel berbintang. Kedua, makanan rumahan. Ketiga, makanan basi.

“Makanan manakah yang akan mereka pilih? Pada umumnya mereka memilih makanan dari hotel berbintang atau makanan rumahan. Tidak ada seorang pun yang memilih makanan basi. Mengapa demikian? Karena setiap orang sangat memperhatikan kelangsungan hidupnya. Tidak ada seorang pun yang memilih sesuatu yang berdampak buruk bagi kesehatan jiwa dan raganya?” ujar Prof. Syihabuddin.

Dikemukakan, orang waras tidak akan pernah memasukkan kedengkian, buruk sangka, kebakhilan, dan sifat buruk lainnya ke dalam jiwa dan pikirannya. Jika dia memasukkannya juga, maka dia seperti orang yang menyantap makanan basi atau yang memungut makanan sisa dari keranjang sampah. “Adakah orang waras yang sudi menyantap makanan dari keranjang sampah? Adakah orang yang sehat akalnya, lalu dia dengki, iri, dan benci?”10

Itulah sebabnya, Prof. Syihabuddin mengajak semua membuang makanan dari keranjang sampah. Caranya, semua orang menjauhkan kebencian dari jiwa masing-masing. Setiap orang harus memberikan asupan bergizi bagi pikiran dan spiritual, dengan berbaik sangka, pemurah, tulus, dan sifat baik lainnya. Demikian pula para pendidikan, mereka harus bekerja dengan tulus, mendoakan siswa, bekerja sama dengan guru lain, dan meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan.

“Kita harus bekerja untuk memajukan UPI dengan tulus sesuai dengan tugas dan kapasitas masing-masing berlandaskan prinsip ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), ta’awun (tolong-menolong), dan takaful (saling menjamin kelancaran pelaksanaan tugas),” ujar Prof. Syihabuddin.

Dalam kesempatan itu, Prof. Syihabuddin mengajak semua untuk merenungkan kembali kiprah masing-masing. Perenungan ini bertujuan untuk menyadarkan akan tugas yang perlu dilakukan; peran yang harus dimainkan; dan tujuan yang hendak dicapai. Kesadaran ini diperlukan untuk mengembalikan semua ke jalur yang benar; ke khiththah yang telah digariskan; dan ke tujuan yang harus direngkuh. Kadang-kadang kesibukan dan rutinitas membuat semua lalai akan tugas utama; tugas yang sebenarnya.

“Tugas utama kita adalah sebagai pendidik; yaitu orang yang memiliki pelita, orang yang mengetahui jalan kebenaran, orang yang menunjukkan orang lain untuk menempuh jalan itu, dan orang yang bersama-sama orang lain melewati jalan itu untuk mencapai tujuan,” ujar Prof. Syihabuddin. (WAS/Deny/Andri/Dodi)