Kabar dari Perancis (36) Pendidikan Kaum Perempuan di Perancis (1)

Oleh : Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis)

Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)

Selama dua abad terakhir ini, pendidikan telah mengubah perkembangan hak-hak asasi kaum perempuan ke arah lebih baik. Di Perancis, seperti juga di Indonesia, diketahui sebelumnya hak untuk mengenyam pendidikan hanya dimiliki oleh kaum lelaki dan beberapa kaum perempuan dari kalangan bangsawan. 

Untuk mengetahui evolusi hukum dalam bidang pendidikkan, berikut ini disajikan delapan tahun penting dalam sejarah pendidikan perempuan di Perancis.

1850: Hukum Falloux 

Pada tahun 1850, Undang-undang Falloux mewajibkan kota dengan lebih dari 800 penduduk untuk membuka sekolah dasar bagi anak perempuan yang berbayar namun sekolah dasar bagi anak perempuan ini tidak diwajibkan. Dengan demikian, pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak perempuan kelas menengah dan sekolah ini sebagian besar diurus oleh para biarawati.

Saat itu, sekolah anak perempuan dan laki-laki umumnya terpisah, dan pengajarannya pun dibedakan:  misalnya anak perempuan belajar keterampilan menjahit..

Nama undang-undang ini diambil dari nama seorang wartawan, sejarawan, dan politikus Perancis. Di bawah Presiden Republik Louis-Napoléon Bonaparte, dia menduduki posisi Menteri Pendidikan Umum dan Urusan Agama. Undang-undang ini ditetapkan pada tanggal 15 Maret 1850.

Frédéric Alfred Pierre de Falloux du Coudray, lahir di Angers (Maine-et-Loire) pada tanggal 8 Mei 1811 dan meninggal di Angers pada tanggal 6 Januari 1886. 

 Undang-undang ini menetapkan bahwa pendeta dan anggota ordo agama, baik kaum laki-laki maupun juga kaum perempuan, dapat mengajar tanpa menunjukkan bukti keahlian lain selain surat ketaatan yang diberikan kepada para imam yang mengajar di sekolah menengah (SMP dan SMA), Sementara  pengajar di universitas haruslah pengajar yang sekuler (laic / tidak tersangkut agama.)

Sementara itu, sekolah-sekolah dasar berada di bawah pengawasan para imam. Mengenai hukum ini, Falloux menyatakan: “Tugas pertama dari imam adalah mengajar orang-orang miskin yang tak berdaya”

1861: Pertama Kali Perempuan Lulus SMA

Pada tahun 1861, ketika gadis-gadis muda masih belum memiliki akses ke pendidikan menengah yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri untuk menyandang ijazah SMA, Julie Daubié adalah perempuan pertama yang mendapatkan ijazah dengan gratis pada usia 37 tahun. Setelah itu, 12 tahun kemudian, terdapat 14 orang perempuan yang lulus SMA  

1881: Undang-Undang Camille See

Pada tahun 1881, ketika pendidikan menengah perempuan dimonopoli oleh gereja, Undang-undang Camille Sée mengizinkan pendirian sekolah menengah negeri sekuler untuk gadis-gadis muda. Sekolah menengah ini tidak gratis dan bukan sekolah  persiapan untuk lulus SMA.

1868 – 1908 : Sarjana Perempuan Pertama

Pada tahun 1868, Emma Chenu, mahasiswi jurusan matematika, adalah perempuan pertama yang memperoleh gelar sarjana.

Pada tahun 1875, Madeleine Brès menjadi mahasiswa kedokteran pertama, dan kemudian, pada tahun 1908, Marie Curie menjadi profesor universitas pertama.

Akses terhadap pendidikan tinggi masih sangat terbatas selama periode ini karena akses ini hanya diperuntukkan bagi segelintir perempuan dari kelas ekonomi atas.

1892: Ujian Promosi Jeanne Chauvin

Pada tahun ini, seorang perempuan yang berhasil mengakses pendidikan bergengsi  harus menghadapi sanggahan dan tantangan. Kasus ini terjadi pada Jeanne Chauvin, seorang mahasiswi doktoral pertama di bidang hukum. Saat ujian promosi disertasinya pada tahun 1892, para mahasiswa lain menyerbu ruangan untuk memprotes tuntutan Jeanne yaitu agar kaum perempuan dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi seperti mahasiswa.

1882: Undang-Undang Jules Ferry

Jules Ferry, lahir 5 April 1832 di Saint-Dié (Vosges) dan meninggal 17 Maret 1893 di Paris, adalah seorang negarawan Perancis.

Pada tahun 1870, setelah jatuhnya Pemerintahan Kaisar Napoleon III yang menjadi lawannya, Jules Ferry menjadi anggota pemerintahan sementara (Gouvernement provisoire). Dia menduduki jabatan Menteri Pendidikan Umum dan Seni Rupa (Ministre de l’Instruction publique et des Beaux-Arts ) selama beberapa kali antara tahun 1879 dan 1883. Ia adalah perancang undang-undang yang menjadikan pendidikan menjadi wajib dan gratis untuk semua orang. Ia dipandang sebagai pendukung “sekolah umum yang sekuler, gratis dan wajib”, dan dianggap setelah kematiannya sebagai salah satu pendiri identitas Republik Perancis (republikanisme adalah gagasan yang menyatakan bahwa tujuan suatu negara dan makna keberadaannya, berdasarkan keputusan yang diambilnya, haruslah demi kebaikan bersama (dalam bahasa Latin, res publica: “urusan publik”) dan harus demi kepentingan umum, bukan kemakmuran para pemimpinnya saja atau segelintiran orang yang berkoalisi dengan pemimpin-pemimpin ini.)

Dengan undang-undang Jules Ferry pada tahun 1882, kewajiban pendidikan dari usia 6 sampai 13 tahun memungkinkan anak perempuan mendapatkan pendidikan dasar. Pencampuran jenis kelamin di kelas yang sama masih dilarang. Selain itu anak perempuan dan laki-laki tidak mempunyai program pendidikan yang sama.

Menurut Jules Ferry, “sekolah dasar harus […] mempersiapkan anak laki-laki untuk bekerja di masa depan sebagai pekerja dan tentara, anak perempuan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan perempuan (menjahit, merawat, dll).”

1924: Décret Léon Bérard 

Dekrit adalah keputusan yang berisi  peraturan atau secara pribadi yang diambil oleh Presiden atau Perdana Menteri. Tindakan ini merupakan salah satu wewenang yang diberikan pada kekuasaan eksekutif oleh Undang-undang (Constitution).

Sejak tahun 1924, dengan keputusan Léon Bérard, program sekolah dan jumlah jam mengajar disamaratakan baik untuk anak perempuan maupun  laki-laki. Hal ini memungkinkan anak perempuan untuk lulus SMA dan dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi.

1975: Sekolah Campuran (Laki-laki dan Perempuan) Semakin Meluas

Pada tahun 1975, pendidikan campuran yang dilakukan secara bertahap sejak masa pasca perang, menjadi umum dan meluas di semua jenjang pendidikan (dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi). Namun, beberapa grandes écolestertentu  (institut ilmiah untuk pata pemuda dan untuk masuknya sangat sulit) tidak tercampur hingga tahun 1980-an (Politeknik pada tahun 1972, Saint-Cyr pada tahun 1983). Di bidang pendidikan tinggi, berbagai sektor masih mengalami feminisasi yang sangat timpang.

Saat ini, diskriminasi karena  jenis kelamin belum hilang seratus persen; pemuda masih banyak yang menggeluti bidang ilmiah, sementara pemudi secara mayoritas mengikuti kursus pelatihan “pengasuhan/ pengobatan”. Namun walaupun demikian , dapat disimpulkan bahwa kemajuan dalam pendidikan adalah  faktor kunci dalam emansipasi perempuan.

Bagaimana dengan keadaan pendidikan sekarang di Perancis?

Menurut INSEE (L’Institut national de la statistique et des études économiques), pada awal tahun ajaran 2020, 2,78 juta siswa terdaftar di pendidikan tinggi di Perancis, 56% di antaranya adalah perempuan. Tingkat pendidikan perempuan pada pendidikan tinggi melebihi laki-laki pada semua usia. Pada tahun 2020‑2021, pada usia 18 tahun, 55% perempuan terdaftar di pendidikan tinggi, dibandingkan dengan 44% laki-laki. Baik bagi perempuan maupun laki-laki, tingkat pendidikan tinggi dimulai pada usia 19 tahun (masing-masing 62% dan 51%), kemudian menurun secara bertahap seiring bertambahnya usia. 

Menurut sumber: Mesri-Sies – SISE dan sistem informasi Pendidikan; survei terhadap lembaga pendidikan tinggi; survei khusus untuk kementerian yang membidangi pertanian, kesehatan, sosial, dan kebudayaan pada tahun 2020-2021, 28,9% mahasiswa untuk mendapatkan gelar insinyur di bidang ini adalah perempuan.

Jumlah mahasiswi sangat bervariasi tergantung pada sektor pelatihan dan spesialisasi. Mengenai pilihan orientasi mereka pada tahun terakhir SMA, perempuan lebih sedikit memilih mata kuliah ilmiah dibandingkan laki-laki, kecuali dalam bidang kesehatan. Para pelajar perempuan ini jumlahnya masih dianggap  minoritas di kelas persiapan untuk Grandes Écoles (CPGE- Classe préparatoire aux grandes écoles) (42%), persiapan untuk diploma teknologi universitas (DUT: diplôme universitaire de technologie) (41%), dan bahkan lebih menonjol lagi di sektor ilmiah (29 % dari pelatihan insinyur). 

Sebaliknya, sebagian besar dari mereka selain mengikuti pelatihan paramedis dan sosial (86%), namun mereka juga mengambil kursus bahasa, sastra, dan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan di universitas (70%). Mereka ini jumlahnya  setengah dari siswa yang mengikuti kuliah di jurusan Bisnis dan juga teknisi tingkat tinggi (Sections de Technicien Supérieur).

Dalam bidang disiplin sains di universitas, hanya ada 23% mahasiswa DUT (diplôme universitaire de technologie) di bidang produksi dan spesialisasi IT serta 31% mahasiswa di bidang ilmiah dasar dan aplikasi adalah perempuan. Di sisi lain, perempuan lebih banyak bekerja di bidang kesehatan (66%), ilmu biologi, kesehatan, ilmu tentang bumi dan alam semesta (63%), dan multisains (59%).

Mahasiswi Doctorat (S3)

Pada hakikatnya, jumlah mahasiswi di universitas-universitas tertinggi tidak banyak berubah: 46,7% mahasiswa doktoral adalah perempuan pada tahun 2020-2021, dibandingkan dengan 46,2% pada sepuluh tahun lalu. Kehadiran mahasiswi dalam disiplin gelar doktorat (S3) mencerminkan pendidikan tinggi yang dilakukan sebelumnya (jadi banyak mahasiswi melanjutkan kuliah untuk mendapatkan gelar Doktor).

 Menurut INSEE   terdapat 23% mahasiswa doktoral di bidang matematika (doctorants en mathématiques), 27% mahasiswa doktoral di bidang ilmu dan teknologi informasi dan komunikasi (sciences et technologies de l’information et de la communication), dan 30% mahasiswa doktoral di bidang ilmu teknik ingenerie. Di sisi lain, terdapat 54% mahasiswa doktoral di bidang ilmu pertanian dan ekologi (sciences agronomiques et écologiques), 55% dalam bidang ilmu kemanusian dan sosial (sciences humaines et sociales), dan 58% pada bidang biologi, kedokteran, dan kesehatan (biologie, médecine et santé).

Jadi dari persentase ini dapat disimpulkan bahwa perempuan lebih banyak dari pada pria yang meraih gelar Doktor (S3).

Tulisan berikutnya akan dibahas ulasan dari UNESCO yang berikaitan dengan kesetaraan gender.

Sumber: https://www.unesco.org

https://globaleducationcoalition.unesco.org/home

https://www.jobat.be

https://www.letudiant.fr

https://www.insee.fr/fr/statistiques/6047727?sommaire=6047805#consulter