Komponis Iwan Gunawan dan Stefan Lokatos Sajikan 18 Karya Moondog

Bandung, UPI

Komponis Iwan Gunawan bersama komponis asal Eropa yaitu Stefan Lokatos menyajikan kolaborasi musik kontemporer yang bertajuk Pra- Pertunjukan Europalia 2017, di Auditorium FPBS UPI, Jln. Dr. Setiabudhi. No 229 Bandung. Sabtu, (9/9/2017). Pra-Pertunjukan Europalia ini dihadiri oleh kalangan mahasiswa, pengamat musik, juga  komponis dari beberapa perguruan tinggi di luar UPI.

Pertunjukan ini bisa dikatakan sederhana namun hangat, ruang pertunjukan kecil yang penuh sesak disertai suasana hujan memberikan atmosfer yang intim. Pada awal pertunjukan, Iwan sengaja menghadirkan seorang komponis muda dari ITB bernama Tesla Manaf, seorang gitaris muda, Ia juga ikut menjadi peserta dalam Festival Europalia 2017. Tesla Manaf membuka pertunjukan sore itu dengan sebuah komposisi musik elektronik, alat musik yang Ia gunakan adalah gitar elektrik serta paranti elektronik modern lainnya sebagai pendukung. Jangan bayangkan kita melihat pertunjukan teknik permainan gitar virtuoso yang akrobatik, Tasla manaf justru sama sekali tidak memperlakukan gitar layaknya yang kita bayangkan. Ia memperlakukan gitar hanya sebagai medium untuk menghasilkan hubungan-hubungan elektronik, sehingga menghasilkan bunyi murni elektronik, dan Ia hanya mengatur suara-suara elektronik itu sesuai dengan keinginannya. Hampir 15 menit penonton di intervensi oleh suara –suara aneh namun teratur, kemudian suara-suara itu berhenti, hening dan penonton tepuk tangan tanda selesai. Tampilan pertama dari komponis Tesla Manaf ini membuat para penonton termangu-mangu, ingin berkomentar dan bertanya, tapi acara sore itu disengaja untuk tidak ada sesi tanya jawab, penonton dibiarkan menyimpulkan sendiri mengenai apa tadi yang dia dengarkan.

Usai tampilan pertama, waktunya untuk tampilan pamungkas. Iwan Gunawan memulai dengan memperkenalkan Stefan Lakatos dan personil ensambel Kyai Fatahillah, juga alat musik yang mereka gunakan. Pada festival ini, mereka membawakan 18 karya Moondog dengan arransemen ala Iwan Gunawan, selain mencoba menginterpretasi musik, Iwan pun menggunakan alat musik asli Sunda, yaitu: Bas Bambu, Saron Bambu, Demung Bambu, Bonang Bambu, Angklung Toel dan Bansuri (suling Bambu). Alat musik Sunda inipun diinovasi oleh Iwan dengan mengubah sistem pembagian nadanya menggunakan sistem well tempered, seperti halnya musik Moondog yang menggunakan sistem ini.

Sedangkan, Stefan Lakatos memainkan alat musik Trimba, yang merupakan alat musik ciptaan Moodog itu sendiri. Secara keseluruhan, pertunjukan berhasil sangat baik, walaupun akustik ruang  dan sound sistem kurang memadai. Gaya musik Moondog dengan teknik canon (bunyi yang susul menyusul) menyuguhkan suasana tersendiri, seperti statis namun dinamis, hal ini dapat dirasakan kalau kita dengarkan dengan cermat. Ada pergerakan unsur musik yang sangat halus pada setiap karya Moondog tersebut. Iwan, berhasil menginterpretasi karya Moondog tersebut dengan cita rasa lokal yang mengglobal. Penonton terbuai dengan bunyi-bunyi eksotik dan mistik pada sore itu, sampai 18 karya Moondog mengalir menuju titik akhir, penonton tidak sadar bahwa pertunjukan telah usai.

Melalui seluruh elemen keilmuan yang ada, salah satunya bidang  musik kontemporer, kita berharap Universitas Pendidikan Indonesia sebagai institusi pendidikan di Indonesia akan semakin besar dan semakin diakui di dunia Internasional.

Festival Europalia, https://europalia.eu/en/discipline/music-68.html akan dihadiri 420 seniman Indonesia yang akan memamerkan produk kebudayaan baik musik, tari, teater, seni rupa dan lain-lain. Dari sekian banyak seniman itu, mereka akan memamerkan karya tradisi maupun karya baru. Di festival ini, Iwan Gunawan dipercaya untuk mengemban program exchange yaitu kerjasama musikal dengan musisi Eropa, dalam hal ini musisi Stefan Lakatos yang berasal dari Swedia https://www.youtube.com/watch?v=IdelYnZ4RbM. Program kerjasama musikal dua negara ini akan memainkan karya Moondog dari Louis Hardin, seorang komposer tuna netra dari Amerika yang memiliki sifat-sifat komposisinya sangat unik dan Ia pun menciptakan alat perkusi namanya “Trimba”, https://www.youtube.com/watch?v=zBSzHiY6LrE. Alat musik ini menggunakan well tempered, hanya saja Iwan Gunawan melakukan kombinasi berdasarkan pada sistem gamelan seperti saron,demung, jenglong dan gong.

Iwan Gunawan

Dalam dunia musik kontemporer, nama Iwan Gunawan bisa dikatakan telah mampu menjadi ikon baru yang sejajar dengan komponis musik kontemporer dunia abad 21. Hal ini dapat diketahui dari berbagai macam catatan berupa legitimasi yang diberikan dari para komponis tingkat dunia maupun dari kalangan kurator-kurator musik kontemporer melalui liputan pertunjukan, workshop, wawancara, dan pengakuan dari musisi yang memainkan karyanya. Salah satu dari legitimasi itu diberikan oleh Compossers 21, merupakan website yang mencatat tokoh-tokoh komposer dunia mengenai karya-karya serta latar belakang setiap komposer tersebut, lebih jelas dapat dilihat pada link berikut http://www.composers21.com/compdocs/gunawani.htm.

Iwan Gunawan, merupakan dosen di Departemen Seni Musik FPSD UPI yang mengajar bidang komposisi musik, musik komputer dan gamelan sesuai dengan kepakarannya. Selain itu, Ia bersama mahasiswa juga alumni musik yang tergabung dalam Ensambel Gamelan Kyai Fatahillah, hampir setiap tahun menyelenggarakan program konser keliling Eropa.

Sebagai seorang komponis, Iwan gunawan identik dengan gamelan sebagai alat musik yang dijadikan media komposisinya, ciri inilah yang menjadikan ia dikenal dikalangan komponis musik kontemporer dunia pada saat ini. Walaupun, ada karya-karya lain yang tidak menggunakan alat musik gamelan, namun unsur-unsur pemikiran musikalnya tetap berangkat dari musik tradisi Sunda. Musik Sunda bagi Iwan, telah menjadi habitus dan kemudian Ia representasikan dalam arena musik kontemporer. Perjalanan panjang dalam ranah musik Sunda yang Ia lakoni sejak masa kecil, kemudian memperdalami musik Sunda pada jenjang akademis di SMKI Bandung, serta di Jurusan Pendidikan Musik Universitas Pendidikan Indonesia, lalu  jenjang Magisternya di STSI Solo, semakin menambah khasanah mengenai ilmu musik itu sendiri. Iwan, bukan saja memahami estetika musik tradisi Sunda, tapi ia pun memahami estetika tradisi musik Barat, pengetahuan tradisi musik Barat ini ia dapatkan ketika mengenyam pendidikan musik di Universitas Pendidikan Indonesia dengan mengambil spesialisasi Piano. Selain itu, Ia mendapatkan bimbingan ilmu komposisi dari komponis Jerman dan sekaligus dosen tamu di UPI, yaitu: Prof. Dieter Mack. Dari sinilah ia mendapatkan pemahaman mengenai tradisi musik Barat secara komprehensif. Sebagai Dosen di Departemen Pendidikan Musik FPSD UPI, Iwan telah melahirkan komponis-komponis muda yang telah mampu berbicara di tingkat nasional. Salah satunya yaitu Randy, pada pekan komponis muda 2016 lalu di Yogyakarta, Randy yang mewakili UPI berhasil terpilih sebagai pencipta komposisi terbaik. (Hery Udo)