Kopi Aroma: Keistimewaan yang Melegenda

1Bandung, UPI

Jika mengunjungi Bandung coba mampirlah sejenak ke persimpangan Jalan Banceuy dengan Pecinan Lama. Anda akan mencium aroma kopi mengoar dari jarak dua meter dari sebuah bangunan tua bernuansa pecinan zaman Belanda. Namanya Kopi Aroma, kesohoran namanya tak luput dari kerja keras dan kejujuran dalang di balik bisnis turunan tersebut.

Berdiri sejak masa kolonial Belanda tahun 1930 membuat Kopi Aroma masih menjadi primadona di kalangan para penikmat kopi. Pendirinya seorang Tionghoa, Tan Haw Sian. Namun, Kopi Aroma sekarang menjadi tumpuan ladang penyambung rezeki yang dipegang oleh sang generasi kedua Widyapratama Tanara, anak dari mendiang Tan Haw Sian. Berlokasi di daerah pertokoan otomotif Banceuy, Kopi Aroma sangat mudah ditemukan. Tak perlu kesulitan mencari, bertanya pada orang sekitar pun anda pasti akan langsung mendapat jawaban.

Mengunjungi Kopi Aroma seketika seolah terbawa ke masa lalu. Bangunan bercat putih menjadi ciri khas peninggalan Belanda yang melekat, hiasan kolot alat penggiling kopi diletakkan di dekat jendela agar pengunjung dapat melihat dari luar. Pintu pengunjung hanya tersedia satu dan menjadikan saksi mengularnya antrean orang yang mendambakan cita rasa hasil gilingan biji kopi Nusantara.

Dengan seragam khas cokelatnya, sang pemilik Widya sapaan kesehariannya menyambut hangat memperlihatkan lebih dalam tentang pengolahan biji kopi hingga menjadi bubuk gilingan yang siap dikonsumsi masyarakat. Di dalam pabrik, Anda dapat melihat tumpukan goni hingga atap, drum berisi biji hasil pembakaran, dan alat pembakaran tradisional berbentuk bola besar berputar di atas tungku api dengan bahan bakar limbah pohon karet.

“Saya pakai alat tradisional zaman dahulu, langsung dari Eropa karena saya berpegang teguh pada cita rasa. Bahan membakarnya pun dari limbah kayu karet. Bisa saja saya menggunakan alat modern, tapi rasanya akan berbeda,” ucap Widya.2

Cara pengolahannya pun membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Biji- kopi yang didatangkan langsung dari berbagai pelosok Nusantara disimpan di dalam karung goni selama lima tahun untuk robusta sedangkan arabika disimpan selama delapan tahun untuk menurunkan keasaman dari biji tersebut lalu melalui proses pembakaran. Proses pembakarannya pun membutuhkan waktu dua jam, dibanding dengan alat modern yang hanya memakan waktu sepuluh menit. Ini yang membuat Kopi Aroma berbeda dengan produk kopi lainnya dan menghasilkan aroma yang khas dari pembakaran menggunakan kayu karet tersebut.

Kesan jadul pun terlihat bukan hanya dari gaya arsitektur bangunan. Pun sangat jelas terlihat di bungkusan produk Kopi Aroma yang menjadikan para penikmatnya dapat merasakan nostalgia, bungkusan kertas dengan tinta cokelat memuat tulisan bahasa Belanda dan Indonesia tempo dulu.

Maoe minoem Koffie selamanja enak? Aromanja dan rasanja tinggal tetep, kaloe ini Koffie soeda di boeka dari kantongja harep dipindahken di stopfles atawa di blik jang toetoep rapet. Begitulah kalimat yang tertera di bungkusan Kopi Aroma. Pembeli dapat memilih besaran dan jenis produk Kopi Aroma, dari masih berupa biji, gilingan kasar, sampai gilingan yang telah halus dan dapat langsung diseduh. Harga pun sangat terjangkau masyarakat dengan harga Rp 20.000 untuk 250 gr jenis moka arabika dan Rp 15.000 untuk 250 gr jenis robusta.

Namun, pembeli dapat pula memesan dengan besaran 500 gr dan satu kilogram. Hanya saja dibatasi maksimal lima kilogram untuk satu kali transaksi. “Saya pasang harga terjangkau karena memang pada dasarnya produksinya sendiri low cost karena penggunaan tradisional dan tidak banyak tenaga. Saya ingin semua masyarakat dapat menikmati kopi olahan saya,” lanjut Widya yang juga merupakan seorang dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran itu.

Tekad kuat dan kejujuran Widya membuat asap di pabrik Kopi Aroma tetap mengepul, peninggalan mendiang ayahnya membuat Widya tetap yakin dalam membangun kepercayaan masyarakat akan produk Kopi Aroma yang melegenda. Bahkan Widya telah mempersiapkan dua dari ketiga anaknya dalam meneruskan estafet gernerasi Kopi Aroma. Menurutnya berusaha itu tidak mengenal hitung-hitungan untung dan rugi, usaha yang telah dibangun menurutnya akan menjadi pertanggung jawaban setelah meninggal.

“Setiap berusaha, proses yang saya lakukan selalu bersih tidak ada main ini dan itu. Jujur dan bertanggung jawab sehingga produk yang dihasilkan pun aman dan bermanfaat bukan memberikan efek negatif,” tegas Widya memaparkan prinsipnya dalam membangun dan mempertahankan nama Kopi Aroma.

Selain prinsip dan hal yang menjadi kunci utama Kopi Aroma tetap berdiri adalah terjaganya kualitas dan cita rasa yang tidak berubah yang menjadi keistimewaan yang melegenda dari Kopi Aroma. Menurut Lina (43), seorang pelanggan setia sempat menjelaskan pengalamannya menikmati kopi aroma.

“Selain bagi kesehatan saya sering membeli karena dikenalkan almarhum ayah saya yang dulu sering beli juga, melepas rindu,” ucap Lina ketika menunggu giliran mengantre di Kopi Aroma yang beralamat di Jl. Banceuy No. 51, Bandung. Begitupun dengan pelanggan lain, Wawan yang mengungkapkan bahwa Kopi Aroma adalah salah satu keistimewaan khas sebuah olahan biji kopi kesukaannya yang tidak akan termakan zaman meski ia yang usang dimakan zaman. (Rizki Khoeri, Mahasiswa Ilmu Komunikasi)