Laut Cina Selatan

PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru Jenderal Andika Perkasa harus konsentrasi menghadapi pergolakan di Laut Cina Selatan. Di wilayah Asia Pasifik inilah berbagai kemungkinan bisa terjadi, termasuk kemungkinan berkecamuknya Perang Dunia III. Bagaimanapun, perang adalah musibah dan tragedi, tapi kerap tak bisa dihindari. Dalam kasus Asia Pasifik inilah, Republik Indonesia dipertaruhkan. Di situlah tergambar masa depan NKRI.

Perang Asia Pasifik yang setiap saat berkecamuk merupakan konflik antara ideologi kanan dan ideologi kiri. Bisa juga disebut perang Barat dengan Timur. Ideologi kanan yang dimaksudkan adalah materialisme yang disertai liberalisme. Ideologi ini dianut Barat yang dipimpin Amerika Serikat diikuti negara yang tergabung dalam Uni Eropa, Australia, Korea Selatan, Jepang, dan sebagainya.

Sedangkan ideologi kiri adalah komunisme yang diprakarsai Republik Rakyat Tiongkok diikuti, Iran, Korea Utara, kemungkinan Rusia. Bekas Uni Soviet ini sampai saat ini belum jelas apakah mau membela RRT, abstain, atau membela AS. Meskipun Rusia dan RRT sama-sama negara komunis, namun sejarah menunjukkan, keduanya tidak terlalu dekat. Masing-masing mempunyai prinsip yang berbeda.

Kedua belah pihak yang berseteru di Laut Cina Selatan kini sudah berhadap-hadapan dan masing-masing membawa senjata tercanggih dengan peralatan tempur mutakhir, dan siap berperang di udara, laut, maupun darat. Ibarat gajah bertempur, maka pelanduk bisa mati terinjak-injak. Dua raksasa dunia berperang di beranda rumah kita, di antara negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), maka logis bom atau serpihan senjata setiap saat menimpa rumah kita, NKRI.

Mengapa mereka berperang sehingga mempertaruhkan nyawa dengan jumlah yang mungkin tak terhingga? Secara sederhana dapat dikatakan, karena berebut pengaruh. Barat selama ini menguasai dunia, termasuk memengaruhi negara berkembang. Itulah sebabnya, Amerika Serikat disebut sebagai polisi dunia. Ekonomi cenderung mengalir dari dunia ketiga ke Barat. Negara berkembang menjadi konsumen produk negara maju. Secara politik, para pemimpin negara berkembang sangat ketergantungan kepada “restu” negara maju.

Namun belakangan, kemapanan negara maju terusik dengan kemajuan Cina. Teknologi mutakhir Cina mengantarkan ekonomi Negeri Tirai Bambu itu tumbuh dua digit. Pengaruh Cina juga semakin meluas dengan program One Belt One Road (OBOR) yang kemudian diperbarui menjadi Belt Road Initiative (BRI). RRT berhasil mengembangkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tidak kalah dengan produk Barat. Bahkan mereka yakin, jika head to head bertempur melawan Barat pun akan menang.

Persoalannya, ke manakah Indonesia harus berpihak? Kepada Barat atau kepada Timur? Di sinilah letak nilai strategis Panglima TNI. Pembuat keputusan akhir menang di tangan Presiden RI, tapi Panglima TNI sangat berperan dalam memberikan masukan sebelum menjadi keputusan. Jika berpihaklah kepada Barat, sejarah membuktikan, Indonesia tetap menjadi negara berkembang meskipun “taat” kepada mereka.

Amerika beserta Sekutunya bukan negara tanpa kelemahan. Mereka saat ini sedang lelah setelah “ngengobok-obok” Timur Tengah, sejak menganeksasi Afganistan (2001), menginvasi Irak (2003), dan mengobarkan Arab Springs mulai tahun 2010-an. Kalau dikalkulasi secara materi, Barat tekor banyak untuk memantapkan hegemoni di Kawasan Teluk. Bahkan dapat dikatakan, perang di Timur Tengah menyebabkan Barat nyaris bangkrut. Pandemi Covid-19 menambah limbung raksasa dunia itu.

Bangkitnya ekonomi dan militer Cina memang mengagumkan dunia, bahkan membuat ciut Barat. Di bawah kepemimpinan Xi Jin Ping, Cina seperti raksasa yang bangkit. Program Belt Road Inisiative mampu menyihir berbagai negara untuk mengikuti dan menaatinya. Itulah sebabnya, mereka percaya diri mampu menguasai dunia menggantikan Barat. Tapi selagi masih berupa makhluk, maka Cina pun tidak sempurna.

Pandemi Covid-19 dan melambatnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan Cina limbung. Krisis ekonomi yang dimulai bangkrutnya industri properta menyebabkan fundamen ekonomi goyah. Tumbuhnya “kota hantu” akibat pertumbuhan penduduk yang minus menyebabkan semakin suram masa depan Cina. Apalagi industri mereka mengalami krisis akibat bahan bakar batu bara yang semakin sulit diperoleh dan mahal. Kelangkaan pangan juga menghantui penduduk yang berjumlah 1,4 miliar tersebut. Maka, berpihak kepada RRT terlalu berisiko mempertaruhkan masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Yang terbaik adalah, bergaullah dengan Barat maupun Timur.

Indonesia adalah negara merdeka yang berdaulat penuh. NKRI harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah bersama negara maju atau negara mana pun. Indonesia tidak usah berubah menjadi negara materialis atau liberal. Juga tidak usah menjadi negara komunis. Tetaplah menjadi bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Usahakanlah kembali ke UUD 1945 asli agar semangat kemerdekaan dan kedaulatan tetap terjaga.
Atasi masalah ekonomi dalam negeri dengan lebih berpihak kepada rakyat, daripada oligarki.

Sementara perkuat TNI dan Polri dengan memberdayakan semua industri strategis, baik PT Dirgantara Indonesia maupun PT Pindad di Bandung, serta PT PAL di Surabaya. Berbelanja alutsista ke luar negeri memang tidak dilarang, namun mengembangkan kemandirian bidang pertahanan harus menjadi prioritas ke depan.

Turki dapat menjadi contoh sukses dalam kemandirian membangun alutsista ini. Saat negara pimpinan Recep Tayip Erdogan ini masih ketergantungan terhadap Barat, maka Turki menjadi bulan-bulanan negara Eropa. Tapi ketika Turki mampu mengembangkan teknologi microchip, termasuk untuk membangun drone tempur, mata Barat sempat terbelalak. Apalagi Turki mampu memamerkan kedigdayaan drone-nya saat membantu Azerbaijan mengusir tentara Armenia dalam memperebutkan wilayah Adorno Karabach.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa adalah harapan baru bagi bangkitnya semangat perjuangan kekuatan tempur dalam negeri, tanpa menafikan kerja sama dengan siapa pun. Saatnya kembali mengembangkan politik luar negeri yang bebas aktif. Bebas membela siapa pun yang benar, dan aktif melakukan upaya perdamaian dunia. Selamat datang Panglima (Prof. Dr. Idrus Affandi, S. H)