Mahasiswa dan Budaya Literasi

Oleh:

Dadan Rizwan Fauzi

Mahasiswa PKn Pascasarjana UPI

Mahasiswa dengan sederet titel dan perananya, dianggap sebagai figur penting yang bisa memberikan kontribusi nyata terhadap kehidupan sosial. Kekuatannya sebagai seorang elite intelektual, dituntut memberikan pemikiran-pemikiran cemerlang yang bisa dieksekusi secara riil dalam kehidupan nyata. Ide-ide yang cemerlang sering menjadi cirri khas dari mahasiswa. Sehingga tak salah apabila bangsa ini, menyimpan harapan besar di pundak para mahasiswa sebagai generasi penerus, yang bisa meneruskan estafeta perjuangan bangsa.

Pohon dapat tumbuh subur jika diberi pupuk yang cukup sebagai asupan nutrisi terbaik. Pemberian pupuk yang cukup dan rutin mampu menjaga kekuatan pohon hingga ke akarnya. Kekokohan akar pohon dapat mencegah tumbangnya pohon yang diterpa angin. Begitu pula yang terjadi hubungan antara mahasiswa dan dunia literasi. Literasi menjadi suplemen utama bagi mahasiswa untuk mengembangkan daya nalar, pola pikir, dan kekritisannya. Literasi yang terus dibudayakan mampu membuat produktivitas mahasiswa meningkat. Selain itu, budaya literasi yang telah mendarah daging dapat dijadikan pijakan kuat hingga terhindar dari seleksi kehidupan yang semakin kompleks.

Untuk sebagian kalangan mahasiswa, kata literasi masih terdengar begitu asing. Padahal tanpa disadari literasi telah lekat dalam kegiatan akademik selama berkuliah. Mulai dari membaca buku, berdiskusi tentang pelajaran atau tugas dengan teman, serta membuat tulisan. Semua itu adalah bagian pokok dari literasi. Sayangnya, konsep ideal dari budaya literasi belum direalisasikan secara optimal oleh para elit intelektual (baca: mahasiswa).

Menurut UNESCO pada 2012, anak-anak Eropa menamatkan 25 buku per tahun, sedangkan Indonesia? Mencapai titik terendah, 0 persen! Tepatnya, 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari 1000 orang yang menamatkan satu buku, per tahun. Satu hak yang sama sekali tidak membanggakan.

Sementara itu, menurut data dari The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia. Hal ini menjadi sebuah kehawatiran amat nyata untuk generasi muda, ditengah gempuran informasi yang tak jelas asal kebenarannya.

Potret Literasi Kampus

Salah seorang tokoh, Augustinus, berkata, “Dunia adalah buku, dan mereka yang tidak bepergian hanya membaca satu halaman”. Berdasarkan perkataan Augustinus, terlihat jelas bahwa buku memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Melalui buku, masyarakat terlebih mahasiswa mampu menerobos batas-batas kehidupan dunia.

Lingkungan pendidikan tinggi merupakan tempat yang strategis untuk mengembangkan kebiasaan membaca. Namun pada kenyatannya, harapan tersebut belum bisa terwujud secara nyata, sebab minat baca dikalangan mahasiswa masih rendah. Realita demikian didukung oleh data yang didapat oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tingkat membaca masyarakat Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara dari negara-negara bagian (www.srie.org).

Ruang-ruang perpustakaan kampus yang sering kali sepi juga menjadi bukti bahwa mahasiswa belum menjadikan buku sebagai bagian penting dalam hidupnya. Sekalipun ramai dikunjungi, kegiatan yang dilakukan tak jauh dari bermain sosial media, nyari internet gratis, atau sekedar ngobrol biasa. Koleksi buku maupun jurnal yang minim dan tidak up to date bisa jadi faktor utama yang membuat mahasiswa enggan datang ke perpustakaan.

Lain halnya dengan kegiatan berdiskusi. Di setiap sisi kampus kerap ditemukan dua orang atau segerombolan muda-mudi yang bercengkrama. Topik yang dibicarakan sangat beragam, ada yang bahasannya ringan pun sebaliknya. Umumnya perbincangan tersebut mulai dari cerita ngalor ngidul percintaan, penemuan inovasi baru, permasalahan di organisasi, kebijakan kampus yang memberatkan mahasiswa, hingga pembahasan solusi untuk negeri yang selalu dilanda problema. Hal itu sering kali dilakukan oleh mahasiswa di universitas mana pun, termasuk Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Sampai saat ini, tradisi diskusi di lingkungan kampus UPI cukup hidup. Hal ini terbukti dengan adanya kegiatan kajian, diskusi publik, seminar, maupun talkshow yang diselenggarakan oleh organisasi atau komunitas kampus. Meskipun secara keseluruhan belum semua mahasiswa peduli untuk mau berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Kehidupan kampus tidak hanya terbatas pada kegiatan diskusi namun juga diwarnai oleh kegiatan menulis. Membuat makalah, presentasi, penelitian, jurnal, esai, resume, dan sejenisnya adalah kebiasaan rutin mahasiswa tiap harinya. Mereka juga akan diberikan tugas akhir (baca: skripsi) sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Dalam pengerjaannya membutuhkan analisis yang lebih mendalam, cara berpikir yang lebih logis dan ilmiah, serta keterampilan menulis yang baik dalam menyajikan hasil pemikiran. Tingkat kesulitannya tentu lebih tinggi dibanding tugas yang diberikan di jenjang sebelumnya.

Salah satu kelemahan sistem akademik kampus terletak pada pemberian tugas makalah oleh dosen kepada para mahasiswanya. Seringkali dosen memberikan tugas tanpa disertai follow up yang baik. Misalnya saja, ketika mahasiswa secara berkelompok diberikan tugas membuat makalah tentang suatu topik. Kemudian pertemuan berikutnya diminta untuk presentasi, tanya jawab, dan makalah dikumpulkan. Selesai. Mahasiswa tidak pernah tahu makalah yang dibuatnya sudah memenuhi standar keilmiahan atau belum. Ketidaktahuan ini akan terus berlanjut hingga kegundahan menyelimuti mahasiswa di tingkat akhir dalam penyusunan skripsi.

Tidak semua mahasiswa mampu bergulat dengan salah satu kegiatan literasi ini. Perlu adanya pembiasaan secara kontinyu agar bisa menguasainya. Bagi mereka yang menyenanginya, semaksimal mungkin dapat menyelesaikan tugas tersebut sampai titik sempurna. Bahkan mencari tahu kebenaran dalam membuat makalah. Sebaliknya, bagi mereka yang enggan bersusah-payah hanya mengandalkan copy-paste sebagai formalitas memenuhi tugas.

Sadar Literasi adalah Solusi

Perencanaan adalah hal penting untuk mengatur strategi pencapaian cita-cita. Ketika seseorang gagal menyusun perencanaan, sama artinya ia merencanakan sebuah kegagalan. Hukum tersebut juga berlaku bagi para mahasiswa sebagai kunci perubahan bangsa. Mereka harus cerdas dalam membuat rencana-rencana masa depan. Kecerdasan itu dapat berkembang apabila literasi telah terintegrasi dalam setiap detik waktu hidup mereka. Sementara jika kultur literasi masih “jalan di tempat”, maka mimpi menjadi agent of change hanya sekedar utopis belaka. Harapan akan adanya perubahan dan terjaganya peradaban bangsa mustahil dapat terwujud.

Dosen sebagai salah satu rekan diskusi mahasiswa perlu memiliki kesamaan visi dalam memberikan penugasan. Visi untuk membiasakan mahasiswa menganalisis suatu masalah, mengaitkannya dengan teori, mengacu pada referensi dalam maupun luar negeri, sampai pada penyusunan penulisan yang ilmiah. Kebiasan demikian dengan sendirinya akan menjadi budaya di kalangan mahasiswa.

Aneka potret kehidupan literasi kampus baiknya dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memotivasi diri. Kesadaran akan pentingnya literasi perlu dibangun mulai saat ini untuk mewujudkan ragam mimpi. Perubahan persepsi ini menjadi titik awal untuk menjelajahi ilmu setiap waktu. Pada akhirnya, mahasiswa mampu mendapatkan kebebasan serta kekuatan berpikir demi sebuah kebenaran yang hakiki.

Jika zaman dulu generasi pemuda menjadi pahlawan pejuang kemerdekaan, generasi muda khususnya mahasiswa zaman sekarang tentunya bisa menjadi pahlawan-pahlawan pembangunan dengan pemikirannya. Melalui gagasan-gagasan yang ia kembangkan, mahasiswa harus mampu memecahkan segudang permasalahan negri yang semakin hari semakin menyayat hati nurani.  Disaat bahaya disintegrasi bangsa mengancam, para mahasiswa harus menjadi agen-agen perubahan yang mengkampanyekan semangat perubahan, semangat perdamaian, semangat persatuan dan kesatuan bangsa.