Mahasiswa Harus Awasi Isu Kartu Indonesia Pintar

1-bBandung, UPI

Kementerian Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (BEM Rema UPI), Jumat (3/7/2015), mengundang seluruh mahasiswa UPI untuk ngabuburit sambil diskusi atau biasa disebut dengan kajian terkait isu Kartu Indonesia Pintar. Diskusi ini dipimpin Khotia Nur Aqso, Staf Dirjen Kajian Kementerian Pendidikan BEM Rema UPI. Selain itu, kajian kali ini diikuti beberapa perwakilan himpunan mahasiswa yang ada di UPI, DPM Rema UPI, staf BEM Rema, dan Menteri Pendidikan BEM Rema UPI 2015, Fikri Faturahman.

Seperti diketahui, Kartu Indonesia Pintar adalah kartu “sakti” yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Jokowi. Tujuannya, KIP membantu anak yang kesulitan sekolah. Kartu Indonesia Pintar selain memberikan bantuan kepada anak sekolah, juga dirasa kurang mampu dalam pembiayaan. Dengan KIP ini, pemerintah akan membantu pula anak yang masih berada di luar sistem sekolah yaitu anak yang belum menduduki bangku sekolah, namun seharusnya sudah menduduki bangku sekolah karena dirasa usianya yang telah cukup untuk menduduki bangku sekolah, hal itu disebabkan terkendala biaya.

Jika ditelisik secara mendalam, program Indonesia pintar adalah penyempurnaan dari Program BSM yang merupakan program pemberian bantuan tunai pendidikan kepada anak dari keluarga pemilik KPS dan kriteria lain yang telah ditetapkan sebelumnya. Lalu apa perbedaan yang mencolok antara KIP dan BSM? Jika BSM tidak ada bukti fisik, tetapi KIP mempunyai bukti fisik, yaitu sebuah kartu. Program KIP masih sangat prematur jika langsung diterapkan di seluruh Indonesia.

Sebabnya ada beberapa hal (1) Pengawasan terhadap penerima KIP. Pembayaran secara langsung melalui KIP yang pola pencairannya KPI dan BSM sama. Yaitu, setiap semester pada kalender sekolah. KIP juga memunculkan kerawanan terhadap penerima dalam hal penggunaan dana untuk keperluan di luar biaya sekolah atau disalahgunakan, misalnya membayar utang, berobat atau keperluan rumah tangga. Bahkan bisa saja dana tersebut digunakan untuk membeli rokok.1-a

“Pengawasan perlu ditingkatkan, kita saling mengingatkan kembali, agar pemerintah mencanangkan program yang jelas,” ungkap Ahmad Fauzi, mahasiswa Biologi, 2011.

(2) Pembuatan Kartu Butuh Anggaran Besar. Dalam hal ini, pemerintah harus mengeluarkan anggran untuk pembuatan kartu Indonesia pintar yang jumlahnya sangat besar. Jika dipikir secara logis, daripada mengeluarkan anggaran untuk pembuatan kartu, lebih baik diperuntukan untuk hal yang lebih bermanfaat, misalnya untuk penambahan kuota penerima KIP. Walaupun sudah dianggarkan di APBN 2014 oleh pemerintah sebelumnya dan disetujui, tetapi tetap belum jelas terkait detail anggarannya. Jika melihat sebelumnya, Jokowi pernah mengeluarkan program KJP (Kartu Jakarta Pintar) dengan lingkup DKI Jakarta, maka logika sederhananya adalah jika KIP itu disebarkan seluruh wilayah Indonesia, maka jelas berbeda anggaran yang dikeluarkan antara KJP dan KIP.

“KIP adalah sesuatu hal yang pemborosan. Sebab pembuatan kartunya saja Rp 5 triliun, sedangkan pendanaannya sebesar Rp 2 triliun,” ungkap Fikri Faturrahman (Menteri Pendidikan BEM Rema UPI 2015).

(3) Dasar Hukum yang Belum Kuat. Berbicara tentang dasar hukumnya, KIP sampai saat ini masih berpatokan pada Publikasi Inpres No. 7/2014. Jika dilihat dari teori Stufen teory menggambarkan bahwa tingkatan hukum itu ada 3, yaitu Kaidah Dasar (UUD 1945), Kaidah peraturan (UU), dan Kaidah penetapan/keputusan (Keppres, Inpres). Jadi jelas, bahwa dasar hukum KIP belum terlalu kuat, karena belum dibuatnya undang-undang mengenai KIP secara khusus.

(4) Sikap dan Solusi yang Ditawarkan. Pada dasarnya, mahasiswa harus senantiasa menjalankan kontrol sosial terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sikap BEM menolak Kartu Indonesia Pintar merupakan bentuk kekhawatiran mereka terhadap penyalahgunaan KIP dan juga oknum yang menyalahgunakan anggaran yang dikeluarkan untuk KIP.

Oleh karena itu, BEM Rema UPI menuntut pemerintah agar: (a) Menolak penyebaran Kartu Indonesia Pintar, sebelum regulasi dan penganggarannya jelas dan transparan kepada masyarakat. (b) Menindak tegas oknum yang nantinya menyalahgunakan anggaran Kartu Indonesia Pintar kepada pihak yang berwenang. (c) Karena KIP berbeda dengan KJP yang hanya lingkup DKI Jakarta, maka sangat kompleks sekali masalah yang akan muncul pada KIP ini, sehingga mahasiswa perlu terus mengawal pelaksanaan Program Indonesia Pintar melalui KIP. (d) Memberikan edukasi kepada siswa dan orang tua terkait informasi atau pengelolaan yang efektif dan efisien terkait Kartu Indonesia Pintar yang akan dimiliki siswa yang bersangkutan. (Alvin Hikmatyar)