Mapala Bukanlah Pembunuh
|Oleh : Dadan Rizwan Fauzi
Manusia dan alam sebenarnya tidak bisa dilepaskan dan saling membutuhkan, hal ini terjadi bukan hanya sekarang-sekarang saja, namun sudah sejak dulu kala manusia dan alam memiliki sebuah hubungan yang erat. Sejak dari zaman prasejarah dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan untuk kehidupan sehari-hari, Alam adalah rumah mereka, Gunung adalah sandaran kepala, Padang Rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh, dan Gua-Gua adalah tempat mereka bersembunyi. Namun sejak manusia menemukan kebudayaan yang katanya lebih beradab, alam seakan menjadi barang aneh. Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi, Manusia membangun kasur untuk membaringkan tubuhnya, dan Manusia mengkonstruksi bangunan bertingkat untuk mengangkat kepalanya.
Pecinta alam kalau diartikan berasal dari kata cinta dan alam. Cinta mengandung arti menyukai, menyayangi, dan mengagumi. Alam mengandung arti segala yang ada di sekitar, baik berupa benda mati ataupun benda hidup. Sehingga dari kata cinta menjadi pecinta yang menunjuk kepada subyek yaitu orang. Itu artinya setiap bentuk kegiatan yang dilakukan oleh organisasi pecinta alam harus berlandaskan kepada asas kebermanfaatan, bermanfaat untuk para anggotanya dan bermanfaat untuk masyarakat. Bukan hanya asal berkegiatan di alam bebas tanpa memperhatikan tingkat keselamatan.
Sejarah organisasi pecinta alam yang ada di kampus di Indonesia dimulai pada era tahun 1960-1970 an, dimana Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan dikeluarkannya SK 028/3/1978 tentang Pembekuan Total Kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan awal pendirian Pecinta Alam kampus dikemukakan oleh Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964 ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah bekerja bakti di TMP Kalibata. Sebetulnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pecinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak Gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak hanya terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sekarang hampir disetiap kampus baik negri maupun swasta terdapat organisasi mahasiswa pecinta alam ( MAPALA ), tujuan pembentukannya pun beragam, mulai dari tujuan untuk mengabdikan diri kepada negara, masyarakat, ataupun hanya untuk mewadahi hobi dan minat.
Dalam tulisannya di Bara Eka (13 Maret 1966), Soe Hok Gie mengatakan bahwa, “Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.”
Namun akhir-akhir ini masyarakat dibuat terkaget-kaget dengan kasus meninggalnya tiga orang mahasiswa Universitas Islam Indonesia ( UII ) usai mengikuti pendidikan dasar atau The Great Camping (TGC), yang digelar Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UII di lereng selatan, Tawangmangu, Jawa Tengah yang digelar pada 13 hingga 20 Januari 2017. berdasarkan catatan dari RS Bethesda, salah satu peserta yang meninggal yaitu Asyam mahasiswa jurusan Teknik Industri UII angkatan 2015 ini mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya seperti tangan, kaki, pantat dan punggung yang dalam istilah medis dinamakan Multiple Trauma.
Hal ini pun langsung mendapat respon yang beragam dari masyarakat, tak sedikit dari masyarakat yang berkomentar bahwa kasus meninggalnya mahasiswa ini merupakan akibat dari tindak kekerasan dan pola pengkaderan yang dilakukan oleh panitia terhadap peserta diksar. Hal ini pun menuai presenden yang buruk untuk MAPALA pada umumnya di mata masyarakat, bahkan Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Republik ini ikut berkomentar saat membagikan Kartu Indonesia Pintar di SMKN 2 Pengasih, Kulon Progo, DIY, Jumat ( 27/1/2017) mengatakan “ Di manapun, yang namanya pendidikan dasar itu pelatihan yang terukur,bukan kekerasan, apalagi sampai menyebabkan kematian. Itu sudah masuk perbuatan kriminal.
Menanggapi pernyataan pak Jokowi dan pernyataan dari masyarakat penulis berasumsi, para anggota mahasiswa pecinta alam seharusnya bisa memprakarsai, menghargai dan menghormati alam dengan menapaki alam mulai dari lautan hingga ke puncak-puncak gunung. Mencoba mencari makna akan hidup yang sebenarnya dan mencoba membuat sejarah bahwa manusia dan alam sekitar mempunyai kaitan yang erat. Sehingga organisasi Pecinta Alam merasuk tak hanya di kampus melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, lorong-lorong bahkan ke dalam jiwa-jiwa bebas yang merindukan pelukan sang alam. Mahasiswa pecinta alam juga memiliki fungsi yang strategis dalam mengembangkan karakter mahasiswa untuk menyalurkan minat dan bakatnya mengenai kealaman, serta memiliki peran penting dalam membentuk dan mengembangkan jiwa nasionalisme dan patriotisme mahasiswa, sehingga terciptalah mahasiswa yang good and smart citizenship. Saya berusaha untuk menegaskan bahwa mapala bukanlah sekelompok orang pembunuh, mapala bukanlah organisasi kekerasan sebagaimana yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, namun mapala merupakan organisasi legal yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung terciptanya kondisi masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme, dan masyarakat yang mensyukuri apa yang telah dititipkan Tuhan kepada mereka dengan cara menjaga dan merawat alam serta isinya.
Peristiwa memilukan yang terjadi di UII ini harus menjadi pelajaran dan evaluasi besar untuk kita segenap aktivis dan mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan. Sebagai organiasi yang besar dan legal, setiap organisasi mapala dimanapun harus memiliki sebuah aturan main yang jelas / standar oprasional prosedur ( SOP ) untuk dijadikan acuan dasar berkegiatan, selain itu perekrutan panitia yang akan dilibatkan harus benar-benar teruji secara kemampuan dan integritasnya, hal ini sebagai upaya antisipatif terhadap hal-hal yang tidak diinginkan selama berkegiatan. Sehingga kasus-kasus memilukan seperti yang telah terjadi di lereng selatan, Tawangmangu, Jawa Tengah beberapa hari yang lalu tidak terulang kembali dikemudian hari. Karena pada hakikatnya selain dituntut untuk hablu minallah, hablu minannas, manusia juga harus mampu mengamalkan hablu minal alam dalam konteks kehidupannya. Dan satu hal yang terpenting adalah “Manusia bisa saja menaklukkan kehendak siapa saja yang ada di muka bumi ini, namun manusia tidak bisa menaklukkan kehendak Tuhan dan menaklukkan kehendak alam”.