Menatap Langit, Menginspirasi Bumi: Relevansi Pembelajaran Astronomi dalam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas (SDG 4)
|
Astronomi: Warisan intelektual peradaban dan kunci masa depan
Sejak awal peradaban manusia, langit telah menjadi sumber inspirasi. Dari Mesir Kuno, Babilonia, Tiongkok, hingga Nusantara, setiap peradaban besar selalu memiliki khasanah kosmologinya masing-masing dan tradisi pengamatan langit yang khas. Langit tidak hanya menjadi tempat mitos dan legenda, tetapi juga kalender, sistem waktu dalam pertanian, hingga arah dalam pelayaran. Sebagai ilmu tertua yang lahir dari ketakjuban manusia terhadap konfigurasi dan pola gerak yang teramati serta fenomena alam spektakuler seperti gerhana, astronomi menyatukan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam satu kesadaran kosmis bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang luas.
Kini, pada era modern, astronomi tidak kehilangan daya pikatnya. Justru sebaliknya, astronomi menjadi semakin relevan dalam membentuk cara berpikir kritis, interdisipliner, dan global. Astronomi modern menggabungkan fisika, matematika, teknologi informasi, dan bahkan etika dalam eksplorasi ruang angkasa.
Astronomi dan SDG 4: Pendidikan berkualitas
Pendidikan berkualitas sebagai Sustainable Development Goals (SDG) ke-4 bukan sekadar soal akses, tetapi juga tentang isi pembelajaran yang membentuk karakter dan kecakapan hidup abad ke-21. Astronomi memiliki kontribusi besar dalam hal ini, setidaknya karena (1) Mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu: melalui pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), astronomi menantang pembelajar untuk berpikir lintas bidang. (2) Menginspirasi untuk berimajinasi dan berinovasi: pembelajar diajak bertanya tentang asal-usul alam semesta, keberadaan planet di luar Tata Surya, dan kehidupan tak terjamah yang ada di luar bumi. (3) Menumbuhkan kesadaran global: dari perspektif kosmik, batas negara telah menjadi kabur, yang terlihat hanyalah Bumi sebagai rumah bersama seluruh manusia. (4) Mengajarkan ketekunan dan metode ilmiah alternatif: tidak semua objek dan fenomena astronomi dapat dijangkau secara fisik oleh pembelajar. Karenanya, astronom mengenalkan simulasi sebagai alternatif bagi kegiatan eksperimen, dan (5) Mendorong partisipasi perempuan dan kelompok marjinal: astronomi bersifat inklusif, tanpa memandang latar belakang. International Astronomical Union (IAU) memiliki Komite untuk Kesetaraan Gender dalam Astronomi (WGGE) dan Kantor Astronomi untuk Inklusi (OAI).

Dari Langit ke Ruang Kelas: Workshop kolaboratif untuk guru dan komunikator sains
Pada 16–17 Mei 2025, sebuah langkah konkret telah berhasil dilakukan melalui perhelatan workshop peningkatan kapasitas 45 guru-guru IPA dan komunikator sains terseleksi di Bandung (ditunjukkan dalam Gambar 1). Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Laboratorium Bumi dan Antariksa FPMIPA UPI, LangitSelatan, National Astronomical Research Institute of Thailand (NARIT), dan International Training Centre for Astronomy (ITCA)–UNESCO. Kegiatan workshop yang diselenggarakan di Laboratorium Bumi dan Antariksa Gedung A FPMIPA ini dirancang untuk meningkatkan pemahaman dasar astronomi, melatih penggunaan perangkat lunak simulasi langit, dan mengajarkan metode interaktif dan kontekstual dalam pembelajaran astronomi.
Adapun kegiatan yang menarik perhatian para peserta workshopadalah aktivitas mengenal rasi bintang sekaligus mempelajari klasifikasi bintang berdasarkan warna dan temperaturnya menggunakan lampu LED kecil dan baterai kancing, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2. Aktivitas lainnya mengajak para peserta untuk langsung meramu bahan-bahan lokal seperti minuman bersoda, tanah, es kering, dan amoniak dalam membentuk inti komet sesuai model bola salju kotor (Gambar 3).


Dengan pendekatan hands-on activity seperti yang ditunjukkan di atas, para peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan baru, tetapi juga dibekalkan kepercayaan diri dalam mengajarkan astronomi di kelas mereka masing-masing. Mengapa demikian? Karena peserta workshop dibekali keterampilan dalam mengajarkan astronomi secara aplikatif; dari konsep gerak benda langit hingga penggunaan perangkat lunak planetarium. Tak hanya memperkaya konten pembelajaran, kegiatan ini juga menjadi sarana pendidikan karakter, membangun rasa kagum terhadap alam semesta, dan memupuk kesadaran akan pentingnya keberlanjutan hidup di Bumi.
Menuju Pendidikan yang Inspiratif dan Inklusif
Workshop yang telah dilaksanakan membuktikan bahwa astronomi dapat menjadi jembatan antara konten sains yang rumit dengan pendekatan pembelajaran yang humanis dan menyenangkan. Kendatipun demikian, terdapat sejumlah tantangan dan peluang dalam membelajarkan astronomi di tengah dinamika kurikulum pendidikan nasional kita. Tantangan yang dihadapi meliputi minimnya latar belakang pendidikan astronomi pada guru, keterbatasan alat bantu ajar seperti teleskop dan insrumen pengamatan lainnya, di samping kurangnya dukungan institusional dan insentif pelatihan. Pada saat yang sama, astronomi memiliki banyak kekuatan berupa daya tarik universal (langit adalah warisan bersama umat manusia), fleksibilitas pendekatan digital (aplikasi dan media planetarium yang semakin mudah diakses oleh publik), dan dukungan dari komunitas ilmiah global, termasuk lembaga-lembaga internasional seperti NARIT dan ITCA–UNESCO.

Kegiatan Kuliah Umum (Public Lecture) yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan workshop dimaksudkan untuk menambah pengetahuan mengenai astronomi kepada para peserta workshop maupun masyarakat umum (Gambar 4). Dalam kesempatan Kuliah Umum ini, Dr. Judhistira Aria Utama yang juga menjadi Kepala Laboratorium Bumi dan Antariksa serta Kepala Pusat Unggulan Universitas Sains Data Astronomi dan Polusi Cahaya (SADAR-POLYA), menyajikan paparan tentang “Jejak-jejak Astronomi di Nusantara: Dari kebutuhan praktis hingga pemenuhan keingintahuan”, bersama satu pembicara lainnya dari NARIT dan ITCA-UNESCO. Dengan mengintegrasikan astronomi ke dalam kurikulum, kita tidak hanya memperkuat pendidikan lokal, tetapi juga ikut menyumbang pada pembangunan berkelanjutan secara global; dengan menanamkan nilai-nilai keterbukaan, kolaborasi, dan rasa ingin tahu yang sehat. Evaluasi pasca-workshop menunjukkan bahwa peserta, terutama para guru, merasa lebih siap menerapkan astronomi di dalam kelas. Dampak jangka panjang dari kegiatan ini diharapkan menciptakan ekosistem pendidikan sains yang inklusif, inspiratif, dan relevan dengan tantangan masa depan.[]