Menuju Kampus Dewasa

Rektor

Oleh SUNARYO KARTADINATA

(Rektor Universitas Pendidikan Indonesia)

PELANTIKAN Profesor  Kadarsah Suryadi menjadi Rektor ITB masa bakti 2015-2020 menggantikan Profesor Akhmaloka pantas diberi apreasi tinggi sebagai sebuah proses suksesi kampus yang mulus, nyaris tanpa gesekan. Secara eskplisit Menristekdikti menyampaikan apresiasi dimaksud dan meminta kampus lain berupaya melakukan hal yang sama dalam proses alih kepemimpinan.  Mungkin nyaris tidak dapat dibedakan antara rapat Majelis Wali Amanat memilih rektor dengan rapat penting lainnya. Mungkin yang kalah merasa kecewa dan yang menang bahagia, tapi perasaan negatif tidak muncul, terkendali dengan amat bermartabat dan terkesan, kalah-menang sama saja, semua bahagia, semua menang.

Itulah ciri khas masyarakat kampus yang sudah dewasa yang pantas menjadi teladan saat ini. Sepatutnya pengalaman ini menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia dan masyarakat kampus khususnya. Bayangkan, Pemilu Presiden RI yang berlangsung 9 Juli 2014 saja hingga saat ini dampak politiknya masih terasa. Suasana berbeda tidak hanya terasa pada para pendukung pemenang dengan yang kalah, tapi bahkan sampai ke keluarga. Proses yang terjadi jauh sebelum Pemilu dilakukan pun tetap menjadi aroma politik yang mempengaruhi taktik dan strategi untuk mendukung dan/atau menghadang satu sama lain. Fenomena semacam ini menggambarkan masyarakat yang tidak dewasa dan tidak sehat.

Pemilihan pimpinan kampus, seperti pemilihan Rektor ITB tidaklah dilakukan dengan ujug-ujug, melainkan melalui proses panjang. Mulai dari pencarian dan verifikasi calon nomine, seleksi dari daftar nomine dan asesmen oleh para ahli sebagai Search Committee, seleksi oleh Senat Akademik, dan akhirnya pemilihan Rektor oleh Majelis Wali Amanat. Meskipun melalui berbagai tahap, tapi dinamika pemilihan tetap terkendali dan tidak menimbulkan gejolak.Partere

Kampus, sebagai teritoral yang dihuni masyarakat akademik adalah masyarakt unik tapi tidak ekslusif. Kampus dewasa mengedepankan nilai taat asas dan menunjukkan kepeloporan di tengah masyarakat. Prestasi yang diraih ITB seperti akredetasi internasional untuk 13 prodi, kerja sama dengan 300 perguruan tinggi di 40 negara, posisi tertinggi dalam publikasi dan riset, predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama 5 tahun berturut-turut, merupakan indikator dari kedewasaan sebuah kampus.

Pertumbuhan kampus dewasa seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab kolektif yang mengedepankan martabat lembaga dan bukan martabat pribadi. Posisi, peran, dan tanggung jawab dimainkan masyarakat kampus secara sehat dalam  tatanan etik. Tatanan etik mencegah terjadinya posisi, peran, dan tanggung jawab yang satu dipertukarkan dengan yang lainnya. Daya adaptasi kampus dewasa akan ditunjukkan dengan inovasi yang dilahirkan. Imajinasi yang tumbuh dalam masyarakat kampus akan membawa kampus kepada kondisi mengada (being), yang membuat kampus itu sustainable karena memiliki daya adaptasi dan kreasi tinggi. Nilai kehidupan kampus semacam itu merupakan sebuah legacy yang harus diwariskan kepada generasi berikut.

Mewariskan kebaikan (legacy) harus menjadi tradisi dalam berorganisasi, baik di pemerintahan maupun di kampus. Pemimpin lama meninggalkan karya yang bisa dinikmati generasi berikutnya. Kalau sudah diganti, mereka ikhlas menyerahkan jabatan tanpa diikuti dengan ambisi mencengkeramkan kekuasan kepada pemimpin berikutnya. Sementara pemimpin yang baru bersifat otonom, bebas menentukan kebijakan apa pun tanpa harus mendapatkan intervensi dari mana pun. Pemimpin sebelumnya dengan pemimimpin pengganti memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan kedua-duanya saling ikhlas memberikan yang terbaik bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Ada tiga unsur yang bisa ngahihileudan (membayang-bayangi) proses transisi kepemimpinan. Mereka menjadi beban bahkan mengganggu pemimpin berikutnya. Pertama, pemimpin lama yang tidak siap diganti. Berbagai penyebab bisa menjadi alasan, sehingga ia mencengkeram pemimpin baru. Mereka selalu mewaspadai pemimpin penggantinya dan mencurigai akan mendistorsi makna kepemimpinan sebelumnya. Kedua, kompetitor yang tidak siap kalah, sehingga tidak hanya bersikap oposisi tapi selalu menjadi penghalang bagi berlangsungnya program yang dilaksanakan incumbent. Ketiga, pihak yang selalu kasak-kusuk, yang ingin menjadi king maker untuk kemudian mencengkramkan pengaruhnya kepada pemimpin baru.

Sikap dan peristiwa ngahihileudan seperti ini harus ditinggalkan bangsa Indonesia dalam setiap transisi kepemimpinan. Kampus harus memeloporinya, karena mereka adalah masyarakat rasional yang terdidik dan menjadi teladan bagi masayarakat lainnya. Kalau masyarakat kampus memelopori kehidupan yang sportif dan gentle, niscaya masyarakat lainnya cepat atau lambat akan mengikutinya. Di sinilah kontribusi nyata kampus dalam menciptakan kultur demokrasi yang sehat menuju Indonesia yang bermartabat, berkarakter dan maju.

Beberapa ciri khas masyarakat dewasa yang dapat diwariskan kampus kepada bangsa Indonesia untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya bangsa yang kuat, stabil, berkarakter, dan bermartabat adalah, pertama masyarakat yang dewasa biasanya diam tapi aktif. Mereka tidak banyak memberikan komentar yang tidak perlu, apalagi menyampaikan ungkapan menyakitkan bagi pemimpin yang sedang berkuasa. Meski demikian, mereka tetap mengikuti perkembangan secara kritis dan bekerja sesuai dengan posisi, peran, dan tanggung jawabnya.

Kedua, empati dan respek. Masyarakat kampus harus mewariskan rasa empati kepada masyarakat lainnya dan membudayakan sikap ini dalam internal kampusnya. Mereka harus mempraktikkan pemahaman bahwa orang lain yang disakiti sama dengan kita merasakannya saat disakiti. Maka menciptakan kultur saling asah, asih, dan asuh merupakan warisan terbaik kampus bagi bangsanya. Ketiga, masyarakat yang dewasa selalu berhati-hati dalam bertindak. Mereka selalu menghitung untung dan rugi sebelum memutuskan tindakan, sehingga tidak merugi di kemudian hari.

Keempat, masyarakat yang sudah dewasa selalu bersabar. Sebab, hidup tidak pernah steril dari permasalahan. Orang yang berhasil tak cukup sekadar cerdas dan memiliki inteligensi tinggi, melainkan harus didukung sifat sabar menghadapi masalah dan bersabar menyelesaikan persoalan tersebut sampai tuntas. Sebab, keberhasilan pada hakikatnya adalah menyelesaikan masalah sampai tuntas itu. Kelima, ciri masyarakat kampus yang dewasa adalah amanah. Semua unsur, baik mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan lainnya  melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan posisi dan peran masing-masing secara bertanggung jawab. Dengan masyarakat demikian, maka kampus menjadi sangat produktif dan mampu berprestasi yang membanggakan semua pihak, dan membuahkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. (Dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Sabtu (31/1/2015), di halaman opini)