MERAH PUTIH DI MERAUKE

Oleh: Dinn Wahyudin

“Sang Saka Merah Putih tetap berkibar. Kami jaga.  Kami pertahankan.” Demikian dikatakan bapak Marthen Dhiken, kepala suku Kanum kampung Sota, Merauke Provinsi Papua Selatan. Suku Kanum merupakan satu dari lebih tigaratusan suku di Tanah Papua. Warga suku Kanum ini mendiami kawasan rawa dan hutan di wilayah Merauke, perbatasan Republik Indonesia dengan Papua Nugini. 

“Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 79, kami melaksanakan sejumlah kegiatan khusus  termasuk perlombaan berbagai jenis ketangkasan anak sekolah, pemasangan umbul umbul di setiap pelosok kampung, dan pemasangan bendera Merah Putih yang berkibar di setiap pelosok lorong dan jalan di sekitar kampung Sota Merauke”, demikian dikatakan Marthen Dhiken, kepala suku Kanum, yang juga sebagai Ketua Komite Sekolah di  kampung Sota.   Selain penyelenggaraan pawai karnaval, masyarakat lokal Kanum, “berbaur” dengan masyarakat yang berasal dari etnis lain yang bermukim di sekitar distrik Sota, kota Merauke.

Hal yang sama juga dikemukakan Edmundus Yuali, seorang guru SD YPPK Fransiskus, kampung Yanggandur Merauke, “selain pembelajaran tatap muka regular, dalam memperingati kemerdekaan RI ke 79 ini, kami juga melaksanakan pembelajaran bertemakan sejarah kemerdekaan RI, dialog sederhana dengan para siswa tentang makna kemerdekaan, dan upacara sekolah dengan penaikan bendera Sang Merah Putih”.  

Suku Kanum memang unik. Suku ini merupakan kelompok etnis yang mendiami kawasan perbatasan Kabupaten Merauke dengan Papua Nugini. Suku Kanum dianggap sebagai sub-suku Marind, namun mereka memiliki bahasa lokal tersendiri, yakni bahasa Kanum yang termasuk dalam rumpun bahasa Yam, yang mendekati bahasa Yei dan suku-suku di Papua Nugini, jika dibandingkan dengan bahasa Marind yang merupakan kelompok etnis lokal terbesar di Merauke. Suku ini merupakan salah satu kelompok etnis yang tinggal di kawasan Taman Nasional Wasur. Dalam masyarakat suku Kanum terdapat beberapa marga, antara lain Mbanggu, Ndimar, Ndiken, Sanggra, Mayuwa, Gelambu, dan Kul.

Seperti lazimnya suku di wilayah perbatasan, banyak masyarakat setempat yang masih memiliki hubungan kekerabatan dan saudara dekat dengan masyarakat yang berkewarganegaraan Papua Nugini. Perkawinan antar suku juga masih sering terjadi, sehingga hubungan kekerabatan suku Kanum tetap terbina dengan saudara serumpun yang menjadi warga negara Papua Nugini.

Suku Kanum tersebar di beberapa kampung-kampung di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Suku Kanum memiliki wilayah adat yang luas di kawasan Taman Nasional Wasur. Taman nasional ini terletak di dataran rendah dengan topografi rawa-rawa, hutan, dan padang sabana. Dalam keseharian, masyarakat tradisional Kanum umumnya berburu hewan liar seperti babi hutan, rusa, dan walabi (satwa sejenis kanguru berfostur kecil). Suku Kanum juga piawai dalam melakukan perburuan satwa liar ecara tradisional. Perburuan dilakukan dengan menggunakan busur panah, tombak, dan parang. Di bidang pertanian, suku Kanum juga mengambil tanaman dari alam seperti sagu serta membudidayakan umbi-umbian seperti gembili (sejenis ubi). Tanaman tersebut dijadikan makanan pokok, selain ketela. Masyarakat Kanum juga memanfaatkan Kayu putih yang tumbuh subur di sekitar hutan. Mereka menyuling minyak kayu putih tadi dan dijual sebagai sumber penghasilan tambahan.

Masyarakat suku Kanum dapat dibagi dalam komunitas yang lebih kecil berdasarkan bahasa daerah yang digunakannya. Penutur bahasa lokal Kanum Smarky, umumnya tinggal di sekitar kampung Rawa Biru. Penutur bahasa Kanum Kanum Sota tinggal di perkampungan Sota. Penurut bahasa Kanum Ngkolmpu, banyak tinggal di sekitar  di Kampung Yanggandur, dan penutur  bahasa Kanum Barkari tinggal di wilayah area kampung Kondo. Seperti dilaporkan Papua Selatan Pos (2024) bahasa suku Kanum tergolong dalam bahasa yang terancam punah karena penuturnya yang sangat sedikit. Pada tahun 2024, bahasa Kanum Smarky dituturkan oleh 80 orang dan bahasa Kanum Sota dituturkan oleh 100 orang. Saat ini terdapat juga bahasa Kanum Badi dengan jumlah penuturnya  hanya 10 orang saja.

Pelintas batas

Suku Kanum merupakan komunitas yang unik. Warga suku ini banyak yang tinggal di Papua Nugini masih sering berhubungan dengan suku Kanum di Indonesia. Mereka satu kekerabatan. Mereka sering datang ke  Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sota. Mereka umumnya berjalan kaki  atau bersepeda selama belasan kilometer dari kampung mereka untuk datang ke Distrik Sota dengan membawa dokumen lintas batas, seperti Paspor. Umumnya mereka datang ke Merauke untuk beribadah agama Protestan, membeli sembako kebutuhan sehari hari dengan menukar hasil bumi seperti ikan dan hewan buruan seperti daging rusa, atau daging walabi (kanguru). Malahan pada suasana peringatan Kemerdekaan RI, seperti sekarang ini, banyak masyarakat Kanum Papua Nugini yang datang ke Sota untuk beberapa hari dengan kerabatnya yang tinggal di sekitar Sota. Mereka juga sering diundang untuk mengikuti perayaan keluarga atau upacara adat tertentu. Demikian juga sebaliknya banyak masyarakat suku Kanum, yang pergi ke rumah saudaranya di Papua Nugini. Pos Pelintas batas inilah, menjadi perekat kemudahan suku Kanum bisa berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan kerabat atau saudaranya yang bermukim di Papua Nugini.

Itulah sekilas suku Kanum yang bermukim di Sota Merauke, perbatasan RI dengan Papua Nugini. Di tengah kearifan lokal dan kesederhanaan masyarakatnya yang terkikis oleh roda zaman dan pergaulan budaya luar, suku Kanum tetap berkhidmat untuk bermasyarakat dalam bingkai  Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Merah Putih tetap berkibar di suku Kanum Merauke. Dirgahayu Indonesia !