PANCASILA BUKAN PENDULUM POLITIK PRAKTIS

Oleh: Muhamad Iqbal

 

Akhir-khir ini pancasila tak lebih dari sebuah pendulum untuk menghantam lawan politik bahkan dibenturkan dengan nilai-nilai agama. Riak demontrasi saling silih berganti, dan mengatasnamakan paling pancasila dan paling berbhineka. Karena mengatasnamakan pancasila, dan menghakimi lawan politik yang tak pancasilais sama artinya dengan mengundang kekuasaan Negara untuk terlibat dalam urusan persaingan politik itu sendiri. Perlunya sikap politik yang memahami secara utuh akan nilai-nilai pancasila itu sendiri sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh gerakan politik kekuasaan.

Pancasila merupakan nilai yang dibangun atas kedalaman nilai religi. Kalau diperhatikan dari perisai yang ada dalam lambing garuda pancasila. Maka, akan ditemukan gambar sila pertama dengan tanda bintang berada ditengah-tengah, bukan disamping apalagi dibawah. Hal tersebut memiliki makna setiap bangsa Indonesia harus mendalami, menjiwai, dan mengimani setiap ajaran agama dengan kebenaran agamanya masing-masing. Baik dalam kehidupan kemanusian, persatuan, demokrasi, dan keadilan social sudah sepatutnya dipenuhi dengan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, tidak tepatlah menyematkan Negara Indonesia sebagai negara sekuler apalagi atheis.

Bhineka tunggal ika yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Keberagamaan agama yang ada di Indonesia terdapat lima agama dan satu kepercayaan, yakni: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu yang didalamnya terdapat keberagaman aliran-aliran yang berbeda. Menyinggung masalah agama, tidak hanya aspek identitas kelompok melinkan juga melibatkan aspek keyakinan, emosional, dan ruh dari agama itu sendiri. Beragam bukan berarti mencampurkan semua ajaran agama menjadi satu warna, melainkan beragam itu ialah berjalan beriringan dengan nilai-nilai saling menghormati antara ajaran agama yang satu dengan yang lainnya.

Sebagai ciri dari demokrasi pancasila, dalam kontek berpolitik sekalipun maka nilai-nilai religi harus tertanam dengan baik, yang dapat menghasilkan insan-insan pemimpin politik yang memiliki keteguhan iman yang kuat. Maka, tidak ada kata pemisahan antara politik dan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, perlu diperhatikan pula sentimen perbedaan keyakinan yang dapat dijadikan komoditas politik identitas. Sehingga dapat menghindari ego kolektif yang emosional. Perjalanan panjang dari konflik yang pernah terjadi di republik ini sampai mengorbankan korban yang tidak terhitung dengan rupiah.

Kalau kita meninjau pada suatu peribahasa yang mengungkapkan istilah sivis pakem parabelum. Memiliki makana Negara yang aman adalah Negara yang siap berperang. Pertanyaannya berperang seperti apa? Karena konteks peperangan dewasa ini bukanlah konteks berperang sepertai halnya perang konvensional yang mengeluarkan kekuatan utama atau TNI dalam setiap pertempuran. Melainkan peperangan dengan menggunakan orang ketiga (proxy war), hal tersebut bisa berwujud dalam bentuk seorang ekonomi yang menguasai berbagai usaha sehingga menjalankan system ekonomi kapitalis ketimbang kerakyatan, seorang pendidik yang lupa tugasnya untuk mendidik hanya terpaku pada pengajaran dan angka di rapot, trend generasi muda yang lupa akan identitas budaya, poltisi yang orientasi kekuasaan semata dibandingkan kesejahteraan bangsa dan negara (welfare state).

Hal yang lebih esensial ialah peperangan dalam bidang politik. Karena orang yang memegang tampuk kekuasaan bisa melakukan berbagai kebijakan yang selaras atau bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Suatu keprihatinan tersendiri manakala terdapat celoteh yang berkembang dimasyarakat dewasa ini, yang mengungkapkan bahwa; pertama, kalau ada siswa yang pintar maka ia akan menjadi guru. Kedua, kalau ada siswa yang kurang pintar maka ia akan menjadi pengusaha. Ketiga, kalau ada siswa yang bodoh maka ia akan menjadi seorang politisi.

Sungguh sesuatu yang ironi manakala orang yang akan mengambil kebijakan yang stratedis di Negara ini harus diisi oleh orang-orang yang kurang terdidik. Jawaban dari kondisi ini memang senada yakni bagi bagi siapapun yang akan menjadi pemimpin di Negara ini atau menjadi anggota lebislatif pada jenjang manapun cukup berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau pendidikan lain yang sederajat, yang dikenal dengan paket C. sementara ketika orang tersebut menjadi pejabat Negara akan dihadapkan pada kondisi yang membutuhkan keilmuan tak sekedar lulusan sekolah menengah atas. Bandingkan dengan provesi seorang pendidikan yang harus lulus sarjana selama empat tahun, kemudian dilanjutkan mengikuti program pendidikan guru selama satu tahun. Profesi pendidik yang notabene harus mengurus siswa di kelas bukan mengurus masyarakat banyak.

Oleh karena itu, perlunya peningkatan standar kualifikasi calon pemimpin bangsa yang tidak hanya disyaratkan setia kepada Pancasila dan UUD NRI 1945. Melainkan ditambah dengan dibuktikan kualifikasi tingkat pengetahuan, pemahaman, sikap, dan tindakan yang selama ini telah ditunjukkan dari jejak rekam dari seorang bakal calon legislatif atau pemimpin pada level pusat maupun daerah. Bahkan, bila perlu setiap calon pemimpin dsyaratkan untuk menyerahkan bukti kelulusan kursus kenegaraan dengan kualifikasi A baik yang diselenggaran oleh kementrian pertahanan atau lembaga yang berwenang dibidang tersebut. Sehingga masyarakat tidak dirisaukan lagi dengan kebijakan politik yang gagal paham dengan Pancasila dan meresahkan masyarakat awam mengenai politik. Maka masyarakat akan menjadi lebih produktif pada peningkatan kapasistas berkarya nyata melalui berbagai produk-produk inovasi unggulan. Sehingga dapat menjawab persaingan ekonomi baik pada tataran ekonomi asia maupun dunia. Waalohulam bissawab.

Penulis sekretaris Pusat Kajian Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Universitas Pendidikan Indonesia.