Para Pangeran
|oleh: Karim Suryadi
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia
Kolumnis Pikiran Rakyat
SANG Pangeran selalu menyedot perhatian, dari zaman ke zaman. Socrates di dalam The Republic, mengganggu pikiran para pangeran dengan pertanyaan mendalam tentang keadilan.
Lalu 1.900 tahun kemudian, Niccolo Machiavelli lewat The Prince, mendedikasikan nasihat-nasihat kepemimpinannya untuk Pangeran Lorenzo de Medici, anggota keluarga Medici, yang memerintah Florence Renaissance.
Kini ketika semua warga adalah raja tak bermahkota, ketika monarki telah berganti republik, dan tiran telah berwajah demokrat, perhatian masih tercurah kepada para pengeran.
Mereka tidak bertahtakan mahkota, atau berselimut jubah kebesaran, namun kekuasaan yang berputar di sekitar keluarga mereka telah menempatkannya sebagai “primus interpares”.
Berkat silsilah dan golongan darah, mereka ditahbiskan sebagai para “pangeran demokratis”.
Mereka mengantongi hipotek penjamin sukses, meski tidak melakukan apa pun. Mereka akan memanen dukungan, takkan kesulitan rekomendasi partai, meski tidak memiliki deposit politik (pengalaman dalam menangani urusan publik) yang memadai.
Publisitas sebagai keluarga penguasa adalah iklan cuma-cuma yang membuatnya dilirik lembaga survei, lalu menempatkan nama mereka sebagai kandidat potensial.
Benarkah para pangeran klasik hanya bermodalkan silsilah dan golongan darah ? Jawaban spontan akan mengatakan “ya”. Namun ketika ditelusuri lebih dalam, para pangeran sejati itu bukan sekedar “pemetik buah keistimewaan”.
Di balik segudang hak istimewa, mereka terkekang berbagai batasan yang membuatnya terus terjaga, terkungkung beribu tuntutan yang membuatnya terus menempa diri, dan tentu saja, sederet ketangkasan yang memaksanya melahap berbagai tantangan.
Tidak tahan dengan tuntutan kerajaan yang membuatnya “bisa sakit jiwa”, Pangeran Harry memilih keluar dari aturan keluarga Kerajaan Inggris.
Tekanan serupa mungkin saja dialami para pangeran lainnya, namun mereka memilih jalan berbeda untuk mengatasinya. Ini sebuah fakta, menjadi pangeran bukan jalan pintas menuju takhta kuasa.
Dalam naskah-naskah fiksi, lebih banyak lagi gambaran laku batin yang harus dijalani seorang pangeran sebelum benar-benar ditahbiskan sebagai raja diraja.
Darah kerajaan yang mengalir dalam raganya ibarat air yang harus dibumbui beragam aroma dan rasa sehingga air bersalin rupa menjadi kuah yang lezat.
Laku batin, tempaan pengalaman, dan simpul-simpul dukungan yang kini dipertanyakan ketika para “pangeran demokratis” maju dalam kontestasi politik.
Seperti halnya para pangeran klasik, darah keluarga penguasa yang mengalir dalam raga mereka, menjadi modal utama untuk mendaki takhta kuasa.
Namun tidak seperti para pangeran klasik, mereka tidak menempa diri dengan aspek-aspek yang membuatnya tidak hanya dikenal sebagai anak, mantu, ponakan, ipar atau bini (ampibi) Bapak atau Ibu Penguasa.
Andai saja sang pangeran lahir dari rahim perjuangan, kemunculan mereka takkan dipertanyakan. Kalau saja mereka mencuat karena keringat dan keterlibatan memberdayakan warga, kemunculan mereka takkan mengusik keadilan.
Sayangnya, banyak pangeran hanya seperti bulan, yang tidak memancarkan cahayanya sendiri.
Tidak banyak pangeran berani berkata “saksikanlah aku ini Fulan atau Fulanah”. Salah satu yang tidak banyak itu adalah Kennedy.
Terlahir dari keluarga ningrat, John F. Kennedy tidak alfa menempat diri. Pemuda yang disebut tidak takut bahaya fisik tersebut menjelma menjadi manusia masa kini yang tidak dikenal karena ayahnya, melainkan dihormati sebagai sarjana cerdas dan pelaut utama yang tangguh.
Merasa tidak cukup dengan popularitas dan karier mentereng sebelum mengarungi bursa calon presiden, Kennedy membayar kemenangannya dengan perjuangan spartan “datang lebih awal, pulang paling akhir”.
Popularitas sebagai anggota keluarga penguasa akan menjadi tangga sosial yang memudahkan menjadi populer, namun semua orang tahu kelebihan – sekaligus keterbatasan – popularitas sebagai modal meraih kuasa.
Orang Amerika sadar betul, jika iman politik mereka sebatas popularitas maka yang akan mereka pilih Donald Duck, bukan Donald Trump.
Jika popularitas menjadi panduan politik para pemilih di berbagai daerah di tanah air, mungkin tidak akan ada artis yang tumbang di pilkada.
Jauh di balik keterbatasan popularitas, yang digugat dari kemunculan para pangeran adalah asas kesamaan di dalam kesempatan.
Jika kekuasaan dikavling berdasarkan silsilah dan golongan darah, maka “berkah” demokrasi yang memberi hak yang sama kepada semua orang untuk memilih dan dipilih menjadi sirna.
Jika kekuasaan hanya dipersembahkan kepada mereka yang di dalam raganya mengalir darah kuasa, buat apa prestasi, dedikasi, loyalitas, dan perilaku tidak tercela ?
Karena itu, perlakukanlah popularitas dengan adil, sebab yang kita butuhkan bukan hanya pemimpin yang populer.
Kita perlu pemimpin yang bekerja. Kita butuh pemimpin yang memiliki keberanian moral mewujudkan sesuatu yang mungkin menjadi nyata.
Tanpa keberanian seperti itu, seorang pemimpin tak ubahnya kuda yang membawa kitab suci di pundaknya, namun tak sekalipun membuka dan mengamalkannya.***
original source: https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/pr-01343735/para-pangeran