Pemimpin Muda

Idrus-Affandi

Oleh IDRUS AFFANDI

(Guru Besar Bidang Pendidikan Politik UPI. Dosen Pembina Program Pascasarjana Unpas)

TULISAN ini tidak bermaksud menyakiti siapa pun atau kelompok mana pun. Juga tidak bermaksud merugikan generasi tua atau generasi muda. Kalaupun merugikan generasi tua, toh saya ada di dalamnya, karena usia saya sudah berkepala enam. Pemikiran ini murni share saya tentang konsep Indonesia masa depan, yaitu Indonesia yang bersih, makmur, adil, dan mendapatkan ridha Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sepahit apa pun gagasan yang dikemukakan, semua pihak harus menerimanya dengan kepala dingin dan legawa.

Pertama, kepemimpinan generasi tua harus segera diputus. Sebab, situasi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak kunjung membaik, siapa pun, partai mana pun, dan kelompok mana pun yang memimpin. Ekonomi yang menjadi dambaan setiap anak bangsa tidak kunjung pulih. Menuju kejayaan ekonomi Indonesia semakin jauh, bahkan seperti tak mungkin terjangkau. Alih-alih semakin jaya, Indonesia justru semakin menumpuk utang, sebagian besar sumber daya alam sudah digadaikan dalam jangka waktu yang tak terbatas.

Politik secara prosedural tampak semakin baik, karena Indonesia menyelenggarakan pemilu di berbagai tingkatan. Namun secara substantif, pemilu sekadar membeli suara rakyat dengan harga yang sangat murah. Mandat yang “dibeli” dari rakyat kemudian digunakan untuk menyakiti dan merugikan rakyat sendiri. Kehidupan sosial dan budaya Indonesia semakin tercerabut dari akarnya. Kehidupan asing dinilai lebih baik dan lebih tinggi dari kekayaan budaya sendiri.

Berbagai persoalan bangsa yang muncul ujungnya adalah soal leadership. Kepemimpinan di Indonesia menghadapi jalan buntu, dari hulu sampai hilir mengalami kerusakan. Pemimpin yang baik banyak jumlahnya, tapi mereka tidak mempunyai akses ke dalam kekuasaan. Sementara memasuki kekuasaan sama dengan menceburkan diri ke dunia yang rusak, karena proses rekrutmen politik harus melewati berbagai jalan yang berliku yang ujungnya memaksa pemimpin melakukan jalan ilegal, menyogok, dan kongkalikong. Menjadi pemimpin baik tanpa modal uang yang cukup dapat dikatakan mustahil.

ILUSTRASI
ILUSTRASI

Maka, kembali ke semangat 1945 merupakan sebuah solusi. Lihatlah bagaimana Ir. Soekarno sejak usia muda sudah menjadi aktivis politik dan naik menjadi Presiden pertama RI dalam usia 44 tahun.  Simak bagaimana perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam usia 30 tahunan memimpin pasukan, bergerilya yang akhirnya menjadi penentu kemerdekaan RI. Baca pula sejarah Jendera A.H. Nasution yang menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi (sekarang Kodam III Siliwangi) dalam usia 28 tahun. Pada umumnya, para pendiri bangsa ini berusia masih sangat belia.

Itulah sebabnya, memotong generasi tua merupakan sebuah solusi, agar para pemimpin dan elite politik yang berkuasa tidak terkontaminasi oleh nikmatnya duniawi dan busuknya trik politik.Biarkanlah generasi muda memimpin. Idealnya, mereka sudah menyelesaikan kuliahsekitar 24 atau 25 tahun. Mereka harus dipercaya sebagai pribadi yang matang untuk memimpin. Agar usia 25 tahun sudah dapat matang, iklim politik di kampus dan di sekolah harus diubah.

Normalisasi kehidupan kampus (NKK) yang diberlakukan Orde Baru secara resmi memang sudah dihapus. Namun ruhnya belum hilang. Maka, saatnya kita membiarkan organisasi ekstra kurikuler kembali masuk ke kampus. Silakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Hamasiswa Muhammadiyah (IMM), Keluarga Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Perhimpunan Mahaiswa Katolik Indonesia (PMKRI), dan lain-lain masuk kampus secara legal.Demikian pula Dewan Mahasiswa sebagai student government, silakan melakukan kompetisi dengan organisasi ekstrakurikuler. Dengan begitu, diharapkan diperoleh pemimpin muda berbakat yang bersih.

 Jangan khawatir mereka disetir partai politik. Sebaliknya, merekalah yang akan memimpin bangsa sehingga mereka perlu menikmati berorganisasi secara natural, meskipun hanya lingkup kampus. Konsekuensinya, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di SMA/SMK dan SMP juga harus disesuaikan . Siapkan organisasi sekolah dapat menopang calon mahasiswa yang akan menjadi pemimpin.

Dengan NKKdan OSIS selama ini hanya mendorong siswa segera selesai sekolah dan kuliah untuk kemudian mencari kerja. Dengan menghidupkan iklim politik di sekolah dan kampus, diharapkan kaum intelektual lebih cepat masuk ke dunia politik sebelum mereka tercemar oleh pragmatisme kekuasaan.Lihatlah para pemimpin dunia, pada umumnya berasal aktivis kampus, sebagai moral force. Dengan masuknya generasi muda dalam kepemimpinan nasional, diharapkan dunia politik tak lagi dicemari oleh pragmatism politik.

Semakin tua manusia memang seharusnya semakin arif. Tapi orang tua yang berkuasa tidak demikian. Mereka kerap dihinggapi “penyakit” post power syndrome, ingin berkuasa seumur hidup, dan cenderung diktator. Kalau ingin tetap eksis, generasi tua silakan aktif, tapi dibatasi pada bidang sosial, tidak pada pengambilan keputusan politik. Silakan majukan pendidikan, rakyat yang miskin segera disantuni, cegahlah semua kemungkinan terjadinya bencana. Dengan demikian, generasi tua tetap bermanfaat untuk kemanusiaan. (Tulisan ini dimuat di HU Pikiran Rakyat Bandung, Selasa, 26 April 2016)***