Pendidikan Guru Kunci Terwujudnya SDM Unggul

Visi Indonesia Maju yang diusung pemerintahan Joko Widodo hanya bisa diwujudkan dengan adanya sumber daya manusia (SDM) unggul yang lahir dari proses pendidikan berkualitas. Sebagai prasyarat, pendidikan berkualitas membutuhkan guru-guru berkualitas yang lahir dari lembaga pendidikan guru berkualitas pula. Kalau sudah begitu, revitalisasi pendidikan guru dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) menjadi sebuah keniscayaan.

Demikian salah satu simpulan webinar bertajuk “Reformasi LPTK untuk Pendidikan Bermutu” yang diprakarsai Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 pada Selasa siang hingga sore, 12 Mei 2020. Webinar menghadirkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Iwan Syahril, Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami, Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan UPI Solehuddin, dan guru berprestasi tingkat nasional dari SMP Negeri 5 Tasikmalaya Ai Tin Sumartini. Ketua Umum IKA UPI Enggartiasto Lukita dan Rektor UPI Asep Kadarohman turut menyampaikan sejumlah pemikiran terkait penataan kembali LPTK di Indoesia.

Iwan Syahril mengungkapkan, sertifikasi dalam jabatan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir sukses mengantarkan sekitar 1,8 juta guru mendapatkan sertifikat pendidik. Program ini menghabiskan tidak kurang dari Rp 5,5 triliun dan Rp 523 triliun lainnya sebagai tunjangna profesi guru atau tunjangan sertifikasi sejak 2006 hingga 2019. Dalam lima tahun terakhir, tunjangan profesi guru mencapai 12-18 persen dari total anggaran pendidikan nasional.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah program tersebut sudah menghasilkan dampak atau outcomes yang diinginkan? Mengutip laporan studi randomized experiment berskala besar yang dilakukan The World Bank, Iwan menyebut program sertifikasi guru Indonesia tidka berdampak pada hasil belajar siswa. Padahal, sambung Iwan, siswa merupakan puncak dari hasil kegiatan pendidikan.

“Meminjam analogi Pak Presiden Jokowi, menjalankan program pemerintah itu seperti menggunakan aplikasi WhatsApp. Sebuah pesan akan terkirim, lalu kemudian sampai atau delivered. Program harus lebih banyak delivered, dari sekadar sent. Lebih banyak diterima oleh mereka yang kita targetkan. Nah, banyaknya program-program kita statusnya sent. Program terlaksana, anggaran terserap, tapi delivered-nya lemah. Dibanding ekspektasi terhadap kualitas yang kita dapatkan masih lemah,” tegas Iwan yang baru dilantik menjadi Direktur Jenderal GTK pada Jumat pekan lalu.

Tak hanya itu, mengutip Studi Video TIMSS pada 2015 lalu, Iwan menilai tidak adanya perbedaan praktik mengajar dan hasil belajar siswa antara guru-guru bersertifikasi dengan guru-guru bersertifikasi. Malah guru-guru bersertifikasi cenderung menggunakan pendekatan yang berpusat pada guru.

Rendahnya outcomes juga tampak jelas dari skor assesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil assesmen menunjukkan tidak adanya peningkatan secara konsisten dan signifikan pada performa siswa Indonesia. Bahkan, performa siswa Indonesia pada PISA 2018 menurun dibanding 2015 lalu.

“Mas Menteri menerjemahkan delivered dalam konteks pendidikan adalah kualitas hasil belajar siswa. Artinya, yang kita inginkan adalah keualitas belajar siswa menjadi lebih baik. Itu yang menjadi acuan program yang kita lakukan. Setiap program yang kita lakukan harus bisa menjawab kualitas belajar siswa. Tidak hanya program terlaksana dan anggaan terserap. Karena itu, dalam kerangka utama transformasi guru yang sudah dipresentasikan kepada Presiden, murid diletakkan paling atas,” terang Iwan.

“Ini kami dilakukan Kemendikbud, melakukan inovasi seperti ditekankan oleh Pak Enggar tadi. Kita harus melakukan ekperimentasi dengan ide-ide baru dan keberanian meninggalkan pola-pola lama, cara-cara lama, yang kita sudah tahu bahwa hasilnya tidak mencapai pada delivered kualitas yang kita inginkan,” tambah Iwan.

Lebih jauh mantan Dekan Fakultas Pendidikan Sampoerna University ini menjelaksan, kebijakan Merdeka Belajar dalam konteks guru dan tenaga kependidikan menempatkan murid sebagai tujuan utama. Lalu, sekolah berperan sebagai unit inovasi utama. Untuk melakukan itu, perlu program-program yang penciptanya adalah sekolah-sekolah penggerak.

Sekolah penggerak ini ditopang lima pilar utama. Pertama, transformasi kepemimpinan pendidikan. Kedua, transformasi pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan. Ketiga, pengembangan ekosistem belajar guru di setiap provinsi. Keempat, komunitas pendidikan yang bergotong-royong untuk tujuan yang sama. Kelima, regulasi, tata kelola, dan koordinasi dengan pemerintah daerah.

“Dalam budaya kita, mau tidak mau, pemimpin itu adalah kunci. Pemimpinnya sudah oke, ekosistemnya bisa lebih cepat. Bergerak lebih cepat lagi. Sedangkan selama ini hal ini mungkin belum menjadi perhatian Kemendikbud sebelumnya. Dengan kata lain, ini adalah bentuk inovasi yang kita kembangkan. Pemimpinnya bisa mengembangkan pembelajaran yang beriorientasi pada murid dan mengembangkan guru. Dengan kata lain, menjadi mentor. Saat terjadinya pembelajaran itu sebearnya di sekolah. Tidak perlu menunggu pelatihan lagi. Murid tidak bisa menungu. Kalau ini bisa dilakukan di sekolah, kita meyakini bisa membawa dampak secara sistemik, massif, dan sustainable,” papar Iwan.

Dalam konteks peningkatan kualitas guru, Iwan menjadikan transformasi PPG sebagai agenda utamanya. Dia menyebutnya sebagai investasi karena dianggap luar bisa penting. PPG prajabatan jauh lebih penting sekaligus lebih mudah dibandingkan PPG dalam jabatan. “Daripada kalau guru-guru (kurang berkualitas) ini sudah masuk. Lalu dilakuan professional development. Itu lebih susah dibandingkan investasi prajabatan. Ini sebuah hal sangat penting untuk mewujudkan sekolah penggerak untuk pendidikan yang beriontasi pada murid,” imbuh Iwan.

Dalam desain transformasi PPG prajabatan, Iwan menekankan pentingnya proses seleksi calon guru. Seleksi ini meliputi ujian penguasaan konten, ujian bernalar kritis, ujian kepribadian, dan wawancara. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana passion seorang calon guru. Seleksi masuk berkualitas tinggi ini diharapkan menghasilkan output guru generasi baru berkualitas.

“Dari beberapa lokakarya yang kami lakukan dan studi literatur, selain inovasi, seleksi masuk berkulitas tinggi menjadi kunci. Bahkan di negara-negara maju, seperti Finlandia. Finlandia melihat passion yang terpenting. Oke penguasan materi bagus, tapi value lemah itu tidak bisa. Ini merupakan kunci menjadi guru pembelajar sepanjang hayat dan sukses,” terang Iwan.

Sejalan denga itu, Iwan menegaskan pentingnya program PPG baru hasil inovasi dari proses yang sekarang berlangsung. Inovasi pendidikan profesi guru merupakan kunci peningkatan kualitas guru. Sudah saatnya PPG menemukan model-model alternatif yang bisa manjadi cara berionovasi seusai dengan ekspektasi yang kita inginkan. Tentu, model alternatif yang tidak itu-itu saja harus berkualitas, bukan alternatif yang disebutnya alternatif abal-abal.

Iwan bermimpi PPG baru mampu menghasilkan guru kelas dunia. Mimpi seperti dilakukan Muhammad Yamin ketika mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang kini bertransformasi menjadi UPI. Untuk itu, LPTK harus melakukan inovasi dan keluar dari zona nyaman.

“Kita harus punya visi pendidikan guru kelas dunia. Artinya, kalau bisa, lebih baik lagi dari yang ada. Apakah Cambridge lah, IB lah, dan lain-lain. Goals standar kita itu yang menjadi bagian untuk mentrasformasi PPG. Mimpi lebih bagus dari Singapura, dari Finlandia. Kita sebagai bangsa banyak sekali potensi dan kita jika kita bergaul dengan dunia internasional tidak kalah dari mereka. Cuma dari sistem kita belum bisa membutikan itu. Sekaran dengan banyak sekali momentum, kita harus menata dan mulai berlari bersama-sama, bergotong royong, untk kemudian beralri ebih cepat dari negara lain. Kita mengejar ketertinggalan, dan kalau bisa lebih cepat,” tandas Iwan.

Penertiban LPTK Abal-abal

Sementara itu, Ketua Umum IKA UPI Enggartiasto Lukita yang bicara sebelum Iwan mendesak pemerintah untuk berani menertibkan LPTK abal-abal. Langkah ini menjadi bagian dari upaya menjadikan pendidikan berkualitas untuk mewujudkan Indonesia Maju dengan bekal SDM unggul di dalamnya. Tanpa LPTK yang notabene produsen guru berkualitas, maka perbaikan pendidikan Indonesia mustahil bisa diwujudkan. Sudah saatnya LPTK berbenah diri dan keluar dari zona nyamannya.

“Saya ingin bicara dengan sangat terang, Benahi dulu LPTK! Dalam artian, Pak Dirjen tolong melaporkan kepada Mas Menteri harus ada keberanian untuk menghentikan atau mentutup LPTK abal-abal itu. Tentukanlah parameternya. Kita harus berani melawan arus. Kita harus berani karena kalau tidak, sulit rasanya kita untuk berbenah diri,” tegas Enggar.

Selain menyoroti keberadaan LPTK unqualified alias abal-abal, Enggar juga mengkritik PPG yang menempatkan sarjana pendidikan pada posisi yang sama dengan sarjana nonkependidikan. Menurutnya, mempersamakan sarjana pendidikan dan nonkependidikan dalam kegiatan PPG merupakan kekeliriuan. Sarjana pendidikan, tegas Enggar, sudah terlebih dahulu ditempa ilmu-ilmu pendidikan selama perkualihan. Proses itu seolah-olah tidak ada artinya ketika pada saat PPG dipersamakan dengan lulusan nonkependidikan.

“S1 nonkependidian itu sama pangatnya dengan S1 pendidikan guru. Dia sama-sama melakuan satu proses pelatihan untuk layak mengajar menjadi guru. Gak ada bedanya dengan sertifikat dengan lulusan S1 yang lain. Tidak ada bedanya dengan yang LPTK abal-abal tadi. Kami tidak ingin membedakan antara LPTK negeri dan swasta. Ada banyak juga LPTK swasta yang bagus. Tapi yang abal-abal tadi kelewat banyak,” tegas penerima gelar doktor kehormatan bidang pendidikan kewirausahaan dari UPI ini.

Lebih dari sekadar berbenah diri, mantan Menteri Perdagangan Kabinet Kerja ini meminta LPTK untuk terus melakukan inovasi. LPTK harus menjawab tantangan dunia yang terus berubah. Tanpa itu, LPTK akan makin tertinggal dari perguruan tinggi reguler.

Di bagian lain, Enggar mengingatkan, kebijakan Merdeka Belajar yang menekankan pada pengembangan potensi murid harus turut mempertimbangkan banyak aspek. Proses belajar berkualitas membutuhkan prasyarat tidak mudah. Selain ketimpangan kualitas guru, daya dukung daerah juga berbeda-beda.

“Indonesia bukan Jakarta, Indonesia bukan Jawa. Apakah seluruh daerah bagian dari Repubik ini sudah puya akses yang sama? Karena harusnya teknologi informasi ini harus terjangkau sampai ke pelosok. Apakah tenaga pendidik kita sudah sama kualitasnya? Saya sadar sepenuhnya bukan semata-mata tugas Kemendikbud, tapi tugas kita semua untuk bisa berubah dan mereformasi diri. Saya percara, reformasi LPTK untuk pendidkkan bermutu. Tetapi persayaratan ini harus kita penuhi,” tandas aktivis mahasiswa generasi 10970-an ini.

Problem akut LPTK sebagaimana diungkapkan Enggar tersebut senada dengan pernyataan Rektor UPI Asep Kadarohman maupun dua pembicara lainnya. Asep menilai disparitas mutu LPTK sudah menjadi permasalahan lama. Data 2019, di Indonesia terdapat 425 LPTK. Dari jumlah itu,  45 LPTK di antaranya berstatus negeri. Ini berbeda dengan Malaysia, Singapura, atau Philipina yang memiliki lebih banyak LPTK negeri.

“Masalah berikutnya, oversupply akibat banyaknya program studi di LPTK. Sampai 2019, terdapat 5.998 program studi kependidikan, dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,480 juta. Setiap tahunnya terdpat sekitar 250 ribu lulusan. Nah, ini menyebabkan terjadinya oversupply,” ungkap Asep.

Selain itu, Asep menilai pendidikan profesi guru berbede dari kelaziman pendidikan profesi lainnya. Profesi dokter misalnya. Pada pendidikan profesi dokter, pendidikan akademik dan profesi dilakukan secara terintegrasi. Seperti disinggung Enggar, pendidikan profesi guru mempersamakan lulusan kependidikan dengan nonkependidikan. Tata kelola pendidikan guru juga dianggap tidak selaras dengan regulasi dan perundang-undangan.

“Perundang-undangan menyatakan bahwa pendidikan guru dilaksanakan secara berasrama dan ikatan dinas. Faktanya tidak demikian,” Asep menyesalkan.

Terkait oversupply lulusan LPTK ini, Direktur Pendidikan dan gama Bappenas Amich Alhumami menilai perlu adanya pengendalian pertumbuhan LPTK swasta dan jumlah mahasiswa. Ini penting untuk menjaga keseimbangan supply-demand guru. Amich mencatat, secara kumulatif lulusan LPTK selama kurun 2012-2017 mencapai 1,94 juta. Sementara rekrutmen guru PNS pada periode yang sama hanya sebanyak 142.232 orang. Padahal, dari jumlah tersebut, 123.531 orang di antaranya direkrut dari guru honorer.

Secara keseluruhan, kebutuhan rekrutmen guru PNS, baik untuk menggantikan guru pensiun maupun menambah guru untuk sekolah baru, jauh lebih sedikit dibanding jumlah lulusan LPTK. Jumlah mahasiswa LPTK sangat besar melampaui kebutuhan. Karena itu, perlu pengendalian penerimaan mahasiswa LPTK secara lebih ketat, sekaligus untuk menjamin kualitas lulusan secara lebih baik.

“Kondisi ini menuntut adanya reformasi LPTK. Ada tiga urgensi dalam reformasi LPTK. Selain melakukan pengendalian, hal lainnya adalah evaluasi kinerja LPTK agar mampu menyiapkan guru-guru berkualitas dan menguasai dua kompetensi utama (subject-content knowledge dan Pedagogical-content knowledge). Berikutnya, LPTK harus mengutamakan kualitas perbaikan program akademik  dan peningkatan kualitas tenaga akademik (dosen, peneliti), dan penguatan kelembagaan,” papar Amich.

Senada dengan Iwan, Amich menilai menyebut upaya lain yang mendukung peningkatan kualitas lulusan LPTK adalah seleksi penerimaan calon mahasiswa LPTK mulai diperketat dan menyaring mereka yang benar-benar punya passion di bidang keguruan untuk dididik menjadi guru profesional. Sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa melalui SNMPTN LPTK. Pada saat yanng sama, melakukan pembatasan kuota untuk calon mahasiswa baru di masing-masing prodi pada LPTK berdasarkan hasil akreditasi prodi LPTK.(NJP)