PERADABAN SARUNG DI INDONESIA

Tanggal 3 Maret adalah hari Sarung Nasional. Ditetapkan oleh presiden Joko Widodo pada tahun 2019. Penetapan hari tersebut tentu menegaskan, bahwa sarung adalah salah satu produk budaya bangsa yang harus diwariskan dari generasi ke generasi.

Secara denotatif, sarung adalah lembaran kain dalam ukuran panjang dan lebar tertentu yang sisi ujungnya dijahit sehingga membentuk seperti tabung, tidak ada ujungnya. Meski demikian tidak semua kain/nyamping secara otomatis dapat dijadikan sarung, karena dalam konteks tradisional setiap kain memiliki makna filosofi tersendiri. Hal yang membedakan dari setiap sarung selain ukuran adalah material yang digunakan, motif, dan warnanya. Di luar bentuk fisiknya, sarung tentu memiliki  makna tertentu bagi masyarakat yang menempatkannya sebagai wahana spiritual.

Sarung masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad XIV seiring masuknya pengaruh Islam. Meski demikian hal ini harus dikaji kembali karena sebelum kedatangan Islam,  kebudayan bersarung kemungkinan sudah ada di berbagai suku di Indonesia. Beberapa daerah yang mewariskan peradaban sarung ini masih bisa dilihat, misalnya suku Bugis di Sulawesi Selatan, masyarakat NTB dan Bali.

Lantas bagaimana dengan Sunda? Apakah Sunda memiliki sejarah kain sarung? Untuk menjawabnya bisa dilacak dari budaya tenun suku Baduy, apakah mereka juga memproduksi sarung atau tidak, karena setiap kain tenun Baduy tentu memiliki makna, sehingga ketika dijadikan sarung akan berubah maknanya. Cara lain untuk menjawab adalah melalui tokoh wayang golek purwa Si Cepot. Sejak kapan Cepot memakai sarung dan berpeci? Artinya, sejak kapan wayang golek purwa yang menarasikan kitab Purana Hindu namun  peraga lokalnya berbusana dengan ikon budaya Melayu?  Melalui kedua pertanyaan ini kiranya dapat dilacak jejek-jejak keberadaan sarung bagi masyarakat Sunda.

Sarung sebagai Benda Pakai

Secara umum orang menempatkan sarung sebagai sarung, yakni benda (item fashion) yang memiliki fungsi utama sebagai penutup tubuh tertentu  tanpa dibebani makna apapun.  Fungsi sarung di sini seperti halnya orang memakai handuk  selepas mandi, tidak ada  makna apapun kecuali untuk keperluan menghilangkan air yang masih melekat di tubuh. Hal yang sama juga ketika sarung digunakan sebagai selimut tubuh untuk mengusir dingin, atau sarung yang telah rusak digunakan untuk menyarungi buah nangka agar tidak diserang hama.

Sarung sebagai Penanda

Pemakaian sarung bisa saja bermakna simbolik. Sarung bisa sebagai penanda penjahat, misalnya ketika seorang anak perempuan yang memainkan peran sebagai pencuri menggunakan sarung sebagai penutup wajah. Dalam konteks budaya lain, hal yang sama bisa bermakna berbeda, misalnya bagi suku Mbojo NTB, jika sang pemakai sarung wajahnya masih tertutup menandakan dia masih perawan, namun jika terbuka sudah sebaliknya.

Sarung juga bisa dimodifikasi menjadi beragam simbol, seperti penanda kaum muslim dengan para santrinya (pelajar muslim di pesantren) serta simbol dan identitas suatu kota (Samarinda). Tentu saja pemaknaan ini sangat tergantung siapa yang mengonstruksi makna, dan tujuan pemaknaan tersebut.

Sarana Ritual

Salah satu masyarakat yang menempatkan sarung sebagai sarana ritual adalah suku Bugis. Mulai dari upacara  kelahiran, pernikahan, hingga kematian, masyarakat Bugis tidak lepas dari kain sarung. Bahkan untuk proses ritual hubungan intim suami ada sarungnya sendiri, dan tidak boleh dipakai oleh siapapun kecuali pasangan tersebut. Oleh karenanya, jenis sarung ini  dijadikan hadiah bagi pengantin baru. Tidak hanya itu,  proses penenunan sarung sampai saat ini juga masih mempertahankan tradisi, yakni melalui serangkaian kegiatan yang disertai doa.

Peran Anak Muda

Makna sarung yang terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal sudah barang tentu akan lenyap jika generasi penerusnya tidak mampu menjaga warisan leluhurnya. Sudah saatnya, anak muda menjaga warisan peradaban bangsanya sesuai dengan kreativitas dan keilmuan yang dimilikinya tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Dalam ranah fesyen, sarung bisa diekspresikan dalam bentuk apapun, namun harus cerdas dalam memilih jenis sarung yang digunakan terkait dengan material, motif, dan maknanya. Jangan sampai sarung yang berfungsi sakral justru untuk kepentingan profan. (Rosarina Giyartini, UPI Kampus Tasikmalaya)