Prof. Furqon : Media Massa Merupakan Sarana Yang Tepat Untuk Menyampaikan Kritik

1(8)

Bandung, UPI

Kritik jangan dimanfaatkan untuk menjatuhkan orang atau lembaga, tapi bagaimana kritik itu berguna untuk mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik. Kritik lahir karena sebuah kekhawatiran atas sebuah situasi yang kurang baik, dan berdosa jika kita tidak melakukan usaha perbaikan, ujar Rektor UPI Prof. H. Furqon, Ph.D., saat membuka kegiatan diskusi “Membangun Tradisi Kritik Sunda” dan peluncuran buku “Citangis Ratri: Antologi Carita Pondok Dina Wangun Kritik Sosial Anugerah Nu’man Somantri, yang diinisiasi oleh Forum Asia Afrika bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial  (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat Jalan Asia Afrika 77 Bandung, Rabu (30/03/2016).

Rektor mengatakan,”Ada sekelompok orang yang tabu terhadap kritik, tapi sebenarnya hal itu merupakan suatu instrumen untuk membangun. Pentingnya kritik dimaksudkan untuk saling menasehati agar kehidupan bermasyarakat menjadi dinamis untuk saling memperbaiki.”

Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang layak menjadi contoh bagi masyarakat lainya, katanya, hal ini berdasarkan filosofi  hidup penduduk Jawa Barat yaitu silih asah, silih asih, silih asuh, yaitu menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat salah dengan saling menasehati dan berbagi ilmu pengetahuan.

Ditegaskannya,”UPI sebagai universitas mendukung perubahan atau transformasi budaya melalui kritik sosial yang konstruktif, dan jangan hanya menjadi menara gading, juga bukan sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan semata, tetapi sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan yang mengembangkan budaya masyarakat.”

Rektor menjelaskan, bahwa penggerak perubahan sosial masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik diperlukan sebuah media, karena peranannya sangat penting bagi masyarakat. Media massa dapat menjadi sarana yang tepat untuk menyampaikan sebuah kritik ataupun gagasan, namun bila dilakukan secara tidak tepat maka akan timbul resistensi  atau penolakan. Alangkah baiknya sebelum memberikan kritik, kita harus memahami persoalan tersebut terlebih dahulu.

“Kritik merupakan kontekstual, kepada siapa dan oleh siapa. Budaya harus dimulai dari keluarga sehingga tidak tabu terhadap kritik. Pada akhirnya, kita menjadi terlatih dalam berdialog, berbeda pendapat, dan mampu mengkritik tanpa menimbulkan sikap resistensi,” paparnya.

3(8)

Diungkapkannya, satu hal yang perlu dipahami bahwa penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam mengajar akan lebih menyerap, dan langsung mengena. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa daerah dengan kecerdasan dalam konteks pengajaran.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan FPIPS UPI  Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si., mengatakan, buku “Citangis Ratri: Antologi Carita Pondok Dina Wangun Kritik Sosial Anugerah Nu’man Somantri “ lahir sebagai bentuk rasa khawatir yang mendalam atas hilangnya nilai bahasa Sunda, karena kini hanya dipergunakan untuk marah, mengejek, saling berteriak atau memaki dengan kata-kata yang kasar.

“Buku ini diharapkan dapat memelihara tradisi kritik sosial masyarakat Sunda. Dengan menggunakan bahasa sastra Sunda, kritik dapat disampaikan secara tajam, menohok hati, dan tepat sasaran tanpa membuat orang lain tersinggung,” terangnya.

Tampil sebagai pembicara Rektor UPI Prof. H. Furqon, Ph.D., dan Budayawan, Politikus, Wartawan, serta Aktivis Sunda Tjetje Hidayat Padmadinata, dengan moderator Abdullah Mustappa. Hadir pula para akademisi, tokoh Sunda, penulis, pimpinan media massa, lain dan sebagainya. (Dodiangga)