Prof. Sunaryo: Kedamaian itu Bukan Titik Akhir dari Resolusi Konflik
|Bandung, UPI
Di beberapa negara yang saya kunjungi, seperti Finlandia, Jepang, Australia termasuk Jerman, walaupun namanya berbeda, namun pendidikan kedamaian itu sudah menjadi misi, bagian yang diselenggarakan secara sadar, karena diselenggarakan dengan tujuan-tujuan untuk membangun perilaku dan cara berpikir damai, sehingga suasana belajar dan suasana sekolah pun berlangsung dalam suasana damai. Saya pikir ini adalah sebuah kesadaran tinggi, karena kedamaian itu bukan titik akhir dari resolusi konflik, tapi kedamaian ini merupakan suatu kondisi yang langgeng, yang berlanjut, dan sesungguhnya misi kita sudah ada disitu, karena dalam pembukaan UUD paragraf 4 butir ke-4 dikatakan disitu turut aktif memelihara ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Perdamaian abadi dikatakan disitu, jadi ini sustainable. Peace, sudah jelas.
Hal tersebut ditegaskan Duta Besar Republik Indonesia untuk Uzbekistan merangkap Republik Kyrgyzstan Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., ketika ditanya perihal pendidikan kedamaian di berbagai dunia. Pertanyaan tersebut dilontarkan berkaitan dengan kehadirannya sebagai Keynote Speaker dalam kegiatan the 1st International Conference on Peace Education (ICOPE) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Auditorium Fakultas Ilmu Pendidikan Lantai 10, kampus UPI jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Rabu (11/12/2019).
Kemudian bagaimana menterjemahkannya dalam proses pendidikan, lanjutnya. Ini yang belum disadari oleh para pengambil kebijakan, para pemimpin pendidikan bahwa kedamaian itu merupakan bagian dari tanggung jawab pendidikan. Di Indonesia belum diterapkan, dan perlu dipromosikan karena dikaitkankan dengan visi 2030 ini jelas-jelas untuk membangun kedamaian dunia. Kedamaian dunia jangan dilihat dari paradigma negatif, hanya untuk menghilangkan perilaku kekerasan, perilaku radikalisme dan perilaku ekstrimisme dengan cara-cara represif, tapi harus digunakan cara-cara pedagogig pendidikan untuk perilaku jangka panjang dan itulah sustainable.
“Jadi kita harus mendesain itu. Diharapkan, pimpinan kita, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencoba melihat sisi ini sebagai bagian visi dan misi pendidikan kita untuk jangka panjang,” tegasnya.
Regulasi bisa kita buat, ungkapnya, namun yang paling penting adalah filosofi yang harus dibangun. Kita sekarang hidup di era 4.0., era disrupsi, era kompetisi, sangat mungkin untuk hidup individualistik. Oleh karena itu, yang harus dibangun adalah kolaborasi, empati, understanding dan toleran, karena itu sangat betul, karena akan membangun kultur damai yang diperlukan untuk hidup jangka panjang.
Dijelaskannya,”Melalui pendidikan, kita akan mendidik Bangsa Indonesia untuk menjadi Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tetap harus berpegang kepada filosofi dan esensi pendidikan yang ada pada Undang-undang Sisdiknas. Tentu saja ini untuk membangun manusia unggul sesuai visi Presiden terutama di era 4.0. Tetapi yang dimaksud dengan inovasi dan kreatifitas itu bukan suatu kemampuan yang lepas dari sistem nilai dan budaya kita, justru inovasi dan kreatifitas itu adalah sebuah daya adaptasi hidup di lingkungannya. Artinya, inovasi itu muncul dengan memanfaatkan potensi yang ada. Dengan demikian, dengan meng-create hal-hal baru maka manusia akan beradaptasi dan mampu menyesuaikan diri.”
Dalam seminar tersebut, hadir 3 pakar dan praktisi pendidikan kedamaian. Mereka adalah Direktur Peace Education Center, Miriam College, Filipina Gail Frances Galang, Ph.D., dosen dari International Institute of Hiroshima University, Jepang Nakaya Ayami, Ph.D., dan Prof. Philips T. Slee Direktur Center for Students Wellbeing and Prevention of Violence, Australia. Mereka berbicara tentang Sustaining Global Culture of Peace Through Educational, Sociocultural and Political Diplomacy. (dodiangga)