Revolusi Mental Pejabat

Cecep Darmawan

Oleh CECEP DARMAWAN

(Dosen Politik Pascasarjana UPI dan Pengurus DHD 45 Jawa Barat)

REVOLUSI mental yang kerap digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) disambut baik oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi.. Menpan-RB membuat kebijakan bahwa mulai 1 Desember 2014, aparatur negara dilarang melaksanakan rapat di hotel. Intinya pemerintah ingin pejabat dan aparatur negara berhemat dalam penggunaan anggaran, tidak boros, harus efisien, serta tidak menghambur-hamburkan dana yang tidak perlu.

Perintah berhemat kepada seluruh aparatur negara, sebenarnya untuk merubah pola pokir (mind set) pejabat selama ini. Pejabat di birokrasi yang selama ini identik dengan fasilitas dan kegiatan di luar kantor, maka saatnya sekarang haruslah sederhana dan tidak menghambur-hamburkan uang rakyat dengan dalih menjalankan berbagai aktifitas tugas institusi. Pejabat perlu hemat, karena uang yang dipergunakan untuk aktiftasnya pada hakikatnya adalah uang rakyat. Sementara itu, rakyat sudah ikhlas menyumbangkan uang hasil kereingatnya kepada pemerintah untuk digunakan sebaik-baiknya dan sehemat-hematnya. Birokrasi sudah semestinya melakukan penghematan anggaran yang notabene uang dari keringat rakyat. Oleh karena itu, rakyat berkewajiban mengetahui bahwa uangnya selama in dipakai untuk apa.

NET
NET

Selama ini, kerap ditemukan gedung-gedung pemerintah yang kurang terawat, dan listriknya nyala di siang hari. Banyak pula gedung pemerintah yang tidak memenuhi standar kelayakan sebuah gedung yang didesain untuk pelayanan publik. Semestinya pemerintah mengeluarkan standar pembangunan gedung pemerintah yang disesuaikan dengan karakteristik dan jenis layanan yang menjadi kewajiban aparatur negara di gedung tersebut. Tentu saja, bukan hanya bentuk dan desain gedungnya saja yang harus terstandar, namun perilaku dari aparatur negara yang menghuni gedung itu harus ramah, someah, tidak arogan, murah senyum, memberi solusi, tidak mempersulit, tidak ingin dilayani, dan menjauhi perilaku KKN.

Pada realitanya, sebagian pejabat justru terkesan elitis dan susah ditembus. Ketika rakyat mau menemui seorang pejabat, susahnya minta ampun dan prosedurnya berbelit-belit. Alhasil, masyarakat malas untuk menemui pejabat. Padahal pada era digital seperti sekarang komunikasi politik pejabat dengan rakyat dapat melalui berbagai media seperti SMS, BBM, WA, FB dan lain-lain. Sayangnya, pejabat kita terlalu “sibuk” sehingga sekedar membalas SMS dari rakyat pun tidak sempat atau memang tidak menyempatkan diri. Padahal, betapa enak dan nyamannya menjadi pejabat di negeri ini. Selain mendapatkan gaji dan tunjangan yang besar, fasilitas kendaraan, rumah dinas, dan sejumlah fasilitas lainnya, ia pun masih bisa “liburan” dengan fasilitas negara ketika tugas ke luar kota atau ke luar negeri. Berapa uang rakyat diboros-boroskan oleh para pejabat kita di pusat dan di daerah selama ini. Bisa jadi, dalam sehari berapa ratus pejabat yang sedang bertugas menggunakan fasilitas pesawat terbang dengan uang rakyat. Berapa ribu pejabat yang menggunakan kendaraan dinasnya, bahkan tidak sedikit kendarann dinas dipakai untuk kepentingan di luar dinas.

Negeri ini menjadi boros. Mahal membiayai pejabat. Untuk apa adanya gerakan reformasi birokrasi dan “mengencangkn ikat pinggang” bagi rakyat kalau sehari-hari perilaku dan kelakuan sebagian pejabat kita mempertontonkan kemewahan. Rumah besar nan megah, kendaraan dinas pun amat mahal yang semakin membuat jarak dengan rakyat kecil. Rakyat hanya dijumpai untuk sekedar mendapatkan dukungan semata ketika kampanye atau acara seremoni yang diliput media. Padahal rakyat tidak butuh basa-basi yang retoris dari seorang pejabat publik. Yang dibutuhkan rakyat adalah keberpihakan pejabat atas nasib, layanan, dan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam pendekatan strukturalis, masyarakat diposisikan sebagai publik yang tidak mesti setara dengan pejabatnya. Lebih dari itu, simbol kekuasaan acap diperlihatkan oleh pejabat dengan lambang, pakaian, kendaraan, dan sejumlah penggawa alias ajudan. Relasi kemanusiaan pejabat dengan rakyatnya kerap dibalut oleh kepentingan sesaat untuk pencitraan semata. Bahasa pejabat sulit dipahami oleh logika rakyat biasa. Telalu tinggi kosa kata yang dilontarkannya. Logika rakyat dianggapnya sederhana. Rakyat kerap dituntut hanya untuk mendengar tanpa paham apa maksudnya. Kehidupan rakyat dan pejabat semakin hirarkis. Realita kehidupan pejabat makin jauh dari kehidupan keseharian rakyatnya. Padahal identitas rakyat selalu mencair, sementara identitas pejabat identik dengan kewenangan, kekuasaan, dan kehormatan yang penuh simbol. Publik tidak butuh narasi dari pidato para pejabatnya, karena yang publik butuhkan adalah political will, keberpihakan dan kerja nyata dari pejabat untuk menyejahterakan rakyatnya. Semakin hari semakin sulit mencari pejabat yang merakyat, sederhana, dan tidak menumpuk harta kekayaan dari jabatannya. Sulit mencari sosok semacam Khalifah Umar bin Khatob di negeri kita, yang tiap hari mencari rakyatnya yang belum makan.

Pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah memperlihatkan kederhanaannya, selayaknya menulaar kepada para menteri, gubernur, walikota, bupati dan seluruh pejabat lainnya. Atas dasar itu pula barangkali majalah Time tidak berlebihan, menemparkan Jokowi diposisi 7 dalam polling kandidat Person of the Year 2014, mengalahkan Obama sekali pun. Oleh karena itu, saatnya aparatur negara khususnya para pejabat hidup sederhana, tidak bermewah-mewahan, dan jangan mempertontonkan kekayaannya di tengah kemiskinan rakyatnya. Jangan menggunakan dalih “aji mumpung”, dan bersikap kemaruk ketika berkuasa. Sederhanalah dalam hidup dan cintailah rakyat, insya Allah, rakyat akan mencintai pemimpinnya. (Tulisan ini dimuat di Harian Umum Tribun Jabar Desember 2014)