Ruang Sumber Psikologi bersama Museum Pendidikan Nasional UPI Bentuk Karakter Mahasiswa

 

Bandung, UPI

Sejumlah mahasiswa dan dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengkaji dan mengapresiasi film “Ketika Bung di Ende”, hasil kerjasama Ruang Sumber Psikologi bersama Museum Pendidikan Nasional. Kegiatan berlangsung di Museum Pendidikan Nasional UPI Kampus UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

Menurut Dosen Departemen Psikologi FIP UPI Drs. MIF. Baihaqi, M.Si., diselenggarakannya kegiatan ini merupakan upaya sadar untuk membentuk karakter mahasiswa dengan cara menambah pengetahuan dan wawasan kebangsaan, bagaimana pahlawannya, Bung Karno, menggali nilai-nilai Pancasila di tanah Ende.

MIF menjelaskan,”KALeM bulan ini merupakan kajian edisi ke-38, setelah berjalan secara  rutin sejak tahun 2011. Bagi para mahasiswa yang berminat mengikuti  kajian film, bisa mencatat tanggal-tanggal penayangannya. Banner terpasang di dekat Lab Psikologi dan di Mupenas UPI.”

Pada 2018 ini, KALeM di bulan Januari memutar film “Di Bawah Lindungan Ka’bah” sebagai tanda telah selesainya tadarusan buku karya Hamka. Selanjutnya, film “Kartini” diputar untuk mengisi momen di bulan April, dan film “Dibalik 98” untuk mengisi momen Hari Kebangkitan Nasional di bulan Mei.

Dalam film tersebut dijelaskan, dalam pengasingan selama empat tahun, di awal-awal kedatangannya di Ende, orang-orang setempat tak boleh bergaul dengan Sukarno, ujarnya. Ini membuat Bung Karno amat sedih, hampir setiap hari hanya banyak merenung. Untungnya, Inggit Garnasih (istrinya) dan Ibu Amsi (mertuanya) sangat sabar membesarkan hatinya.

“Akhirnya Bung membuat kegiatan yang sifatnya sosial. Ia mengadakan pengajian yang diikuti orang-orang Jawa yang ada di sana, bercocok tanam, dan membuat naskah sandiwara toneel. Konon, ada enam  naskah dihasilkan di sana. Ia pun bertukar kabar dengan menulis surat kepada A. Hasan, tokoh Islam, yang tinggal di Bandung,” ungkapnya.

Diceritakannya, Bung juga berdiskusi dengan Peter Huijitink, tokoh Katolik, mengenai paham imperialisme, kolonialisme, yang tidak cocok sama sekali bagi rakyat Indonesia. Sebaliknya, Bung berpesan kepada calon pemain toneel, “Kalian harus bergotong royong, berani, supaya bisa merdeka. Jangan takut. Kalian semua punya mulut. Mulut itu dipakai untuk bicara. Untuk memperjuangkan hak-hak kalian.”

Dalam drama toneel itu, katanya lagi, Bung juga mengenalkan kepada pemain lagu Indonesia Raya karya W.R. Supratman. (dodiangga)