Sang Raja

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,

kolumnis Pikiran Rakyat

KUNJUNGAN Raja Salman ke tanah air menyedot perhatian publik. Berita kunjungan raja ketujuh dari Dinasti Saud tersebut menjadi trending topics di beberapa media. Bukan saja karena postur rombongan yang besar, atau agenda kunjungan yang terbilang penting, namun lebih karena beberapa alasan berikut. Kesatu, Sang Raja adalah Khadimul Haramain as-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci), sekaligus pemelihara dua Masjid Suci, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Melebihi pengaruh sosial, politik, dan ekonomi di kancah dunia, emosi yang tersambung dengan Sang Raja dan negara yang dipimpinnya lebih karena plasenta peribadatan.

Meski tidak pernah bertemu, bahkan ketika berhaji atau umroh pun tidak berniat bertamu kepada Sang Raja, namun  hasil kerja dan kepemimpinannya dalam melayani dua kota suci terasakan dalam setiap helaan nafas setiap jamaah. Raja Salman dan Saudi adalah entitas simbolik yang memiliki proksimitas ideologis bagi kabanyakan muslim di Indonesia.

Kedua, bagi kebanyakan orang Indonesia, Arab Saudi adalah negara yang jauh di mata namun dekat di hati. Ziarah ke tanah suci adalah mimpi yang ditanam sejak kecil untuk menyempurnakan keimanan terhadap Islam. Tiada tempat yang terlantun dalam do’a permohonan untuk mengunjunginya berkali-kali selain mendatangi Makkah dan Madinah, “Ya Allah, Tuhan yang Maha Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke Ka’bah ini dan berilah aku rizki untuk mengulanginya berkali-kali, dalam keadaan bertaubat dan beribadat, berlayar menuju Tuhan Kami sambil memuji…” Begitulah sebait do’a yang dipanjatkan saat tawaf wada, sesaat sebelum jamaah berpulang ke kampung halaman.

Dalam konteks ibadah haji, hubungan Indonesia dan Arab sudah berlangsung sejak masa kolonialisasi Belanda. Seperti tercatat dalam Indisch Verslag 1931 (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu Sala, 1985) pemerintah Hindia Belanda mencatat jumlah jama’ah haji Indonesia yang terdaftar di Jeddah dari tahun 1900-1914 sebanyak 192.167 orang. Sedangkan dalam musim haji 1913-1914 jumlah haji Indonesia mencapai 28.427 orang, atau setengah dari jumlah haji dari seluruh penjuru dunia yang mencapai 56.855 orang.

Jumlah jemaah haji asal Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain turut menyumbang kemakmuran Arab, jemaah haji asal Indonesia pun dapat bertindak sebagai “jembatan peradaban” antara kedua negara. Tak heran makin banyak kemiripan  corak dalam  pola dan gaya hidup di kedua belah pihak.

Bahkan “diplomasi peradaban” antara “Indonesia” dan Kerajaan Saudi telah terjadi pada 1926, ketika para ulama di tanah air membentuk Komite Hijaz. Komite yang  menjadi cikal bakal Nahdlatul Ulama tersebut dibentuk antara lain untuk menyampaikan usulan para ulama di tanah air agar penguasa Arab saat itu yang menganut paham Wahabi membolehkan praktik beribadah menurut Imam Mazhab yang empat. Usulan para ulama ditanggapi penguasa Arab dengan positif.

Ketiga, dalam pandangan yang dipenuhi prasangka baik, Arab Saudi dihubungkan dengan sifat makmur, dermawan, dan saleh. Ketiga kata sifat ini bukan hanya didengar berulang-ulang oleh jemaah haji yang tengah berada di Tanah Suci, tetapi juga tersampaikan lewat beragam bantuan yang diterima kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Tidak mengherankan bila kunjungan Raja Salman yang juga membawa ratusan pengusaha Saudi dihubungkan dengan sejumlah projek yang ditawarkan.

Tentu saja pandangan yang melekatkan penduduk Arab dengan kemakmuran tidak boleh disertai pandangan inferior tentang warga bangsa sendiri. Bahkan kedatangan delegasi yang menyertai Sang Raja harus dijadikan semacam clearing house atas kesan yang terbentuk lewat kontak mereka dengan para pembantu asal Indonesia yang bekerja pada keluarga-keluarga Arab.

Keempat, kunjumgan Raja Salman berlangsung setelah 47 tahun lalu pendahulunya (Raja Faisal) datang  ke Indonesia. Dalam kurun waktu itu, Raja Arab silih berganti, namun baru kali ini Raja Arab kembali berkunjung ke tanah air.

Tentu waktu kunjungan ini tidak akan hampa dari kalkulasi politik, dan boleh jadi telah melalui proses diplomasi yang panjang. Namun entah sebuah Cleopatra nose (kebetulan saja) atau bukan, Raja Salman datang ketika sebagian umat Islam di Indonesia gundah. Ribuan umat Islam berulang kali menggelar aksi damai untuk meminta perhatian pemerintah atas kasus yang diduga menodai agama Islam,  dan puluhan ulama gusar akibat munculnya wacana sertifikasi ulama, khotib, dan penceramah. Sebuah wacana yang mencerminkan sikap “ultra hati-hati” pemerintah terhadap kegiatan syiar Islam, yang oleh sebagian orang dibaca sebagai indikasi pemerintah dan aparat keamanan menjaga jarak dengan Islam.

Sementara pada tataran global, Islam dihubungkan dengan teroris. Pandangan serupa dianut Presiden terpilih Amerika Donald Trump, yang melarang warga dari tujuh negara Islam masuk Amerika. Sebuah kebijakan yang mengukuhkan pandangan stereotif khas Barat tentang Islam dan Timur Tengah  pada umumnya. Meski Indonesia tidak termasuk tujuh negara yang warganya dicegah masuk Amerika, keberadaan Indonesia dengan penduduk muslim terbesar memegang peran penting, khususnya dalam melukis wajah Islam yang damai, toleran, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Tentu terlalu sumir menghubungkan kunjungan Raja Salman dengan kegundahan umat Islam di tanah air, meski bukan pula hal mustahil. Alih-alih menyisakan trauma politik, hubungan masyarakat Indonesia  dengan  warga Arab telah menghasilkan persilangan budaya yang memperkaya peradaban kedua bangsa. Namun sebagai negara-bangsa yang berdaulat, dengan negara mana pun kita berhubungan tetap harus berani (meminjam istilah Soekarno pada pidato 15 Juli 1945, “menunjukkan keberanian kita dalam menjunjung hak kedaulatan bangsa kita”. Sebuah keberanian untuk mempertahankan harga diri dan marwah bangsa dari tarikan kepentingan negara lain.

Terlepas dari agenda yang dibahas, kedatangan Sang Raja sebagai sosok dan representasi negara Islam saja sudah mengandung pesan. Ketika mata bangsa dan orientasi pemerintah selalu tertuju kepada pintu Amerika dan China, kita lupa ada negara besar lagi makmur yang telah menjalin kontak peradaban  sejak lama telah membuka pintunya lebar-lebar.  Kedatangan Raja Salman dengan sejumlah agenda strategisnya mengamplifikasi niat baik tersebut. Selamat datang Sang Raja, semoga Allah yang Maha Kuasa memberkati.***