SANTRIPUN BERHAK BERMIMPI

Tanggal 6 Desember 2021 merupakan hari yang dirasakan berbeda bagi saya. Hari tersebut merupakan waktu yang menentukan apakah mimpi saya sudah terwujud atau saya perlu berjuang lebih keras lagi di tahun depan. Sedari pagi, saya bolak-balik mengecek portal resmi LPDP untuk melihat hasil seleksi wawancara, namun sampai malampun pengumuman tidak kunjung muncul. Sampai akhirnya, di pertengahan malam, saat kantuk mulai menyerang, saya membuka kembali situs web tersebut. Ibarat membuka tirai, satu persatu halaman web saya buka untuk sampai pada halaman pengumuman sambil diiringi dengan lantunan shalawat hajat. Tibalah saatnya pada halaman yang dituju, di mana tulisan “Selamat Anda Telah Lulus Seleksi Wawancara” terpampang jelas di atasnya. Sontak, rasa senang setengah tidak percaya menguasai diriku. Lantunan selawatpun kini berganti menjadi ucapan hamdalah. Saya tidak pernah mengira, doa yang saya panjatkan selama kurang lebih satu tahun itu terjawab di malam itu.

Dilema Anak Pesantren

Mimpi untuk berkuliah di luar negeri merupakan angan-angan saya dari kecil. Namun, impian tersebut seringkali dibenturkan dengan lingkungan tempat saya tinggal. Tumbuh besar di lingkungan pesantren, sedari kecil saya telah terbiasa dengan suasana religius khas pesantren. Riuh santri melantunkan ayat suci berkumandang setiap pagi dan malam. Lalu lalang santri menenteng kitab kuning ataupun mereka yang khusyu bermurajaah di sudut-sudut asrama menjadi pemandangan sehari-hari yang biasa saya saksikan. Namun, pemandangan yang jarang ditemui di tempat lain adalah bagaimana para santri khidmat kepada kyai. Menundukkan kepala sembari membungkukkan badan adalah salah satu contoh bagaimana para pencari ilmu agama tersebut menghormati figur sentral tersebut, termasuk di antaranya adalah ayah saya sendiri. Menyandang gelar ‘putra kyai’, sayapun tidak terlepas dari privilise tersebut. Implementasi dari salah satu bab pada kitab ‘ta’lim muta’alim’ mengharuskan pencari ilmu untuk menghormati juga anggota keluarga guru. Acep, serupa dengan sebutan Gus pada kultur pesantren di Jawa, merupakan salah satu bentuk penghormatan santri dan masyarakat kepada saya selaku anggota keluarga pesantren.

Alih-alih merasa senang mendapatkan perlakuan tersebut, saya justru merasa begitu terbebani. Semakin dewasa, saya semakin menyadari bahwa di balik privilise tersebut, tersembunyi ekspektasi tinggi masyarakat kepada saya untuk menjadi generasi penerus dalam menyiarkan agama. Saya sadar, suatu saat nanti, akan ada saatnya di mana saya dituntut menjadi pemuka agama, pengisi kajian rutinan, atau sesederhana memimpin tahlilan. Terlebih, salah satu keluargaku pernah berkata “kita tidak disekolahkan untuk bekerja di kantor seperti kebanyakan lainnya, tapi untuk melanjutkan perjuangan karuhun di pesantren ini” Ucapan tersebut seolah membatasi ruang gerak saya untuk mengeksplorasi diri serta berfokus pada pesantren saja. Terlebih, ucapan tersebut seolah menafikan impian saya untuk bersekolah di luar negeri. Pada akhirnya, saat itu saya harus mengubur cita-cita saya tersebut.

Pendidikan Formal atau Pesantren?

Meski mendapatkan tuntutan sebagai bagian dari keluarga pesantren, namun saya tetaplah saya. Sejak kecil, saya memang lebih berfokus dalam kegiatan akademik di sekolah umum. Setiap semesternya, saya mampu bertengger pada ranking tiga besar di kelas. Dalam beberapa kesempatan, saya juga mengikuti beberapa perlombaan bergengsi semasa sekolah, di antaranya olimpiade fisika antar MTs se-Jawa Barat. Di luar itu, saya aktif terlibat dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler di sekolah. Namun, sebagai konsekuensinya, aktivitas-aktivitas tersebut mendistraksi jadwal belajar saya di pesantren. Bahkan tak jarang saya tertinggal dalam pengajian di pesantren. Maka tak heran jika saya tidak secakap anak pondok pada umumnya dalam hal membaca kitab kuning ataupun ilmu kepesantrenan lainnya.

Sampai suatu ketika, saya dihadapkan pada dilema. Setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang menengah, ayah saya memberi pilihan, apakah lanjut ke universitas ataupun berhenti sekolah dan mondok di pesantren luar. Meski memiliki keinginan yang besar untuk kuliah, saya merasa malu untuk menyampaikannya mengingat betapa tertinggalnya saya dalam ilmu agama. Namun, setelah berbagai proses, akhirnya saya dengan mantap melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Dan saya cukup beruntung Allah menempatkan saya di Teknologi Pendidikan UPI, tempat di mana saya menemukan jati diri. Di sini, saya menemukan titik temu antara dua ketertarikan terbesar saya, yaitu teknologi dan pendidikan. Saya menikmati setiap proses perkuliahan di program studi ini, termasuk dalam membuat berbagai produk media pembelajaran.

Di saat yang bersamaan, saya juga dipercayai untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah milik pesantren keluarga saya karena keterbatasan SDM. Setiap minggunya, saya sisihkan waktu kosong di luar jadwal perkuliahan untuk mengajar di sekolah dan pesantren. Meski cukup berat dalam mengelola waktu, namun saya tetap mampu menjalankan perkuliahan dengan baik. Hal tersebut dibuktikan oleh perolehan IPK saya yang melampaui 3.5 di setiap semesternya. Meskipun tidak terdaftar sebagai anggota aktif organisasi, saya juga tetap mampu mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler di kampus, di antaranya menjadi panitia konferensi internasional yang diselenggarakan oleh fakultas. Saat itu, salah satu tamu dari Malaysia menginspirasi saya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Sejak saat itu, saya semakin termotivasi untuk mengejar mimpi saya bersekolah di luar negeri.

Strategi Meraih Mimpi

Selepas menyelesaikan pendidikan sarjana di penghujung tahun 2020, saya segera menyusun strategi untuk mewujudkan mimpi saya. Di antaranya adalah mengumpulkan informasi mengenai kampus tujuan, mempelajari persyaratan yang harus dipenuhi, serta mencari beasiswa yang mampu membawa saya kepada kampus tersebut. Dari yang saya pelajari, pada umumnya baik pihak universitas maupun pemberi beasiswa mensyaratkan sertifikat kemampuan bahasa Inggris. Oleh sebab itu, selama beberapa bulan saya habiskan waktu untuk melatih kemampuan bahasa Inggris, sembari menikmati peran saya sebagai pengajar di sekolah dan pesantren. Honor yang saya dapatkan dari hasil mengajar saya sisihkan untuk mengambil kursus serta tes dengan biaya yang tidak murah tersebut. Namun, berkat perjuangan serta iringan doa orang tua, saya berhasil melalui tes kemampuan bahasa Inggris dengan skor yang memenuhi persyaratan kampus tujuan maupun penyelenggara beasiswa.

Jalan yang Tidak Terduga

Setelah mendapatkan sertifikat bahasa Inggris, saya mencoba peruntangan saya pada beberapa beasiswa, di antaranya adalah Australia Awards Scholarship dan Chevening. Namun keduanya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Sampai pada pertengahan bulan Oktober, bertepatan dengan momen hari santri, saya menemukan informasi mengenai beasiswa santri di laman instagram resmi LPDP. Saya yang pada mulanya tidak mengetahui keberadaan beasiswa tersebut segera mempelajari persyaratan-persyaratannya. Setelah mempelajari, saya memberanikan diri mendaftarkan diri pada beasiswa tersebut. Berbekal cita-cita saya untuk mengingkatkan literasi digital di pesantren, seluruh proses seleksi saya lewati dengan percaya diri, di mulai dari seleksi administrasi, tes substansi akademik, sampai pada tahapan wawancara. Kelancaran proses tersebut juga tidak terlepas dari dukungan yang saya dapatkan dari program studi Teknologi Pendidikan, khususnya Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA serta Prof. Dr. Deni Darmawan, M.Si. yang telah memberikan surat rekomendasi beserta bimbingan selama proses seleksi beasiswa. Akhirnya, bak gayung bersambut, setelah melalui berbagai tahapan seleksi akhirnya saya berhasil lolos menjadi salah satu calon penerima beasiswa LPDP Santri 2021 di Universitas Manchester.

Cerita di atas hanyalah satu dari ribuan cerita peraih beasiswa lainnya. Namun, dari cerita tersebut, saya hanya ingin berbagi inspirasi bahwa siapapun berhak untuk bermimpi, termasuk santri. Meski seringkali dibenturkan oleh lingkungan sekitar, namun tugas kita adalah menjawab keraguan-keraguan tersebut dengan aksi yang nyata. Kemudian, dari pengalaman saya mendapatkan beasiswa tersebut, saya ingin mendorong kepada pembaca untuk terbuka terhadap berbagai kesempatan, karena kita tidak pernah tahu melalui pintu mana mimpi kita tercapai. Sebagaimana penggalan surat At-Tahrim ayat 3 yang berbunyi “dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka”. Jadi, apapun yang dicita-citakan oleh pembaca, jangan pernah ragu untuk berusaha menggapai cita-cita serta libatkan Tuhan dalam setiap langkahnya.(Zainuddin Abuhamid, Alumnus Tekpend FIP 2016, Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP )