Sebagian Besar Alokasi Dana Pendidikan untuk Belanja Rutin dan Pegawai
|Bandung, UPI
Alokasi dana pendidikan di Indonesia termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Anggaran pendidikan selama ini dialokasikan 20% dari APBN, namun sebagian besar masih dialokasikan untuk belanja rutin dan pegawai. Padhal Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 secara jelas menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan peyelenggaraan pendidikan. Pasal 46 Undang-undang No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
“Ketersediaan sumber pembiayaan pendidikan masih mengalami hambatan. Padahal, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Standar Pengelolaan Pendidikan Tinggi melalui Permendikbud No. 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Dalam Permendikbud tersebut diatur standar nasional pendidikan, standar nasional penelitian, dan standar nasional pengabdian pada masyarakat,” kata Dr. Asep Kurniawan, M.Pd. saat mempertahankan disertasi meraih gelar doktor di Sekolah Pascasarjana UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Jumat (23/6/2016).
Asep Kurniawan harus mempertanggungjawabkan disertasi berjudul “Manajemen Pembiayaan Administrasi di Perguruan Tinggi” di hadapan promotor dan penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Hj. Tjutju Yuniarsih, M.Pd.; Prof. Dr. H. Soemarto, MSIE.; Prof. Dr. H. Dadang Sadeli, M.Si.; Dr. Hj. Aan Komariah, M.Pd.; dan Dr. Dedy Ahmad Kurniady, M.Pd.
Menurut Asep Kurniawan, pembangunan pendidikan nasional Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 yang mengikat semua pihak dan segala lapisan masyarakat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan filosofis, tujuan dan fungsi pendidikan nasional secara jelas tercantum dalam UU Sisdiknas tersebut. Secara garis besar, hakikat pendidikan adalah pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia seutuhnya secara seimbang, serasi, dan harmonis.
“Sementara manajemen adalah elemen penunjang yang membantu mengantarkan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya. Membangun manusia Indonesia yang berkualitas dan utuh sempurna menuju pembangunan bangsa yang sejahtera dan berkeadilan,” kata Asep Kurniawan.
Pendidikan memiliki peran yang stratejik, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu elemen pendidikan dalam amandemen UUD 1945 yaitu pembiayaan pendidikan. Dalam mandemen tersebut, jumlah anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN, ini merupakan instrumen andal untuk mewujudkan manusia yang berkualitas dan utuh. Pembiayaan pendidikan nasional akan efektif apabila didukung oleh sebuah sistem manajemen pembiayaan nasional yang kuat dan sinergis.
“Tujuan manajemen pembiayaan pendidikan adalah terciptanya efektivitas dan efisiensi, baik berhubungan dengan sumber pembiayaan maupun cara dalam pengalokasiannya. Melalui manajemen pembiayaan yang efektif, efisien, dan transparan akan menunjukan bagaimana sumber pembiayaan itu diperoleh dan dialokasikan dengan tepat sehingga dapat mendorong produktivitas yang tinggi,” ujar Asep Kurniawan.
Dikatakan, anggaran pendidikan yang memadai dan dikelola dengan baik oleh suatu negara akan berdampak pada proses penyelenggaraan pendidikan bermutu sehingga menghasilkan manusia yang berkualitas. Pencapaian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP (United Nation Development Program) menunjukan bahwa pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional.
“Maka, rendahnya anggaran pendidikan di suatu negara memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kualitas pelayanan proses pendidikan. Hal ini tercermin dari kurang meratanya kesempatan belajar bagi anak yang berlatar belakang dari keluarga miskin, pendidikan rendah, dan kurang mampu,” ujar Asep Kurniawan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menganggarkan bantuan dana kepada siswa miskin yang cukup besar. Indonesia sudah menganggarkan bantuan dana kepada siswa miskin sebesar Rp 8,19 triliun, namun pada kenyataannya masih terdapat siswa yang kurang mendapatkan pelayanan secara maksimal walaupun pemerintah telah memberikan alternatif jenis program bantuan terhadap siswa miskin, namun dalam kualitas pelayanan sekolah guna menikmati fasilitas kegiatan belajar mengajar belum terlaksana secara optimal.
Dampak kurangnya anggaran pendidikan guna menunjang kebutuhan penyelnggaraan pendidikan di indonesia berimplikasi terhadap mahalnya biaya pendidikan, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Hal ini tidak terjadi di Indonesia saja. Di Amerika Serikat, pada kurun waktu 1990-2000 biaya pendidikan mengalami peningkatan yang cuku signifikan. The Board College (1999) dalam Paulsen (2001, hlm. 121) memperkirakan bahwa pada tahun 1999-2000 rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk masuk pendidikan tinggi adalah sebesar 15,380 dolar AS untuk pendidikan tinggi swasta dan 3,356 dolar AS untuk pendidikan tinggi negara ini. Ini belum termasuk sewa kamar dan pengeluaran lainnya yang bisa mencapai 7,000 dolar AS.
Selama tahun 1980-an, biaya masuk perguruan tinggi meningkat dua samapi tiga kali lipat dari tingkat inflasi, dan setelah menghitung efek dari inflasi di tahun 1990-an, biaya masuk perguruan tinggi meningkat 51% bagi perguruan tinggi negeri dan 34% bagi perguruan tinggi swasta. Dengan mempertimbangkan kemampuan untuk membayar, menurut laporan dari Komite Pendidikan Tinggi juga menunjukan untuk keluarga dangan penghasilan rendah, biaya masuk perguruan tinggi telah meningkat dari sebesar 91% pada tahun 1971-72 menjadi 160% pada tahun 1999-2000 terhadap pendapatan mereka.
Mengutip Gaffar, M.Fakry (2012, hlm. 224), Asep Kurniawan menjelaskan bahwa agar perguruan tinggi memiliki daya respons atau daya saing tinggi, Perguruan Tinggi memerlukan perbaharuan dalam proses manajemen kelembagaannya yang mencakup keseluruhan komponen strategi Perguruan Tinggi, serta pembaharuan proses manajemen itu melibatkan pembiayaan pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perguruan tinggi secara terukur.
Pembiayaan pendidikan tidak hanya mencakup pada pencarian sumber dan pengalokasian dana pendidikan dengan tapat, katanya. Institusi pendidikan juga harus mempertimbangkan seberapa besar biaya satuan yang dibutuhkan untuk terselenggaranya proses pembelajaran yang berkualitas. Proses perhitungan satuan biaya pendidikan akan sangat tergantung pada metode yang digunakan oleh istitusi/lembaga yang bersangkutan. Secara umum, jumlah satuan biaya pendidikan diperoleh dari jumlah keseluruhan pengeluaran dibagi dengan jumlah mahasiswa, seperti yang dikemukakan oleh Bowen (1981, hlm. 41), “Traditionally, what passed as cost per unit was computed simply by adding up total institutional expenditures for all purposes and dividing by the number of student. The result was called “ cost per student”.
Pada dasarnya, kata Asep Kurniawan selanjutnya, banyak faktor yang harus diperhitungkan dalam menentukan biaya satuan pendidikan, namun secara umum dapat dihitung dengan membagi jumlah pengeluaran perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa. Metode penentuan biaya satuan pendidikan juga dapat mempengaruhi akurat dan tidaknya jumlah biaya satuan pendidikan. Hal ini didukung dengan penjelasan bahwa “beberapa penelitian mengemukakan bahwa biaya satuan per mahasiswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya rasio dosen mahasiswa, rata-rata gaji dosen, tipe perguruan tinggi (negeri vs swasta), dan letak geografis” (Paulsen,2001, hlm. 133). Dengan demikian, beberapa faktor tersebut menjadi hal yang harus diperhitungkan dalam penentuan jumlah biaya satuan pendidikan.
Dikemukakan, peran pembiayaan pendidikan memiliki pengaruh yang penting dalam dunia pendidikan. Maka pembiayaan harus direncanakan dan dikelola agar proses penggunaannya memiliki acuan dan tolak ukur dalam menunjang perwujudan tujuan pendidikan. Pada dasarnya dana yang dibutuhkan dengan dana yang diperoleh, khususnya dana pemerintah ditentukan oleh rumusan nominal anggaran yang diajukan oelh perguruan tinggi kepada pemerintah untuk tahun anngaran yang akan didanai, sedangkan dana non-pemerintah ditentukan oleh keberhasilan perguruan tinggi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber dana lain (melalui dana SPP mahasiswa, dana abadi, kerja sama, hibah, dan lainnya).
“Berdasarkan hasil temuan secara empirik dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya sumber dana yang diperoleh dapat memenuhi penyelenggaraan proses pendidikan perguruan tinggi melalui berbagai prestasi dan capaian yang telah diwujudkan, walaupun pada salah satu perguruan tinggi terdapat beberapa program yang tidak dilaksanakan karena terbatas dari penerimaan sumber dana yang diterima sehingga terdapat klasifikasi jenis program atau kegiatan yang menjadi prioritas kebutuhan perguruan tinggi untuk diimplementasikan melalui perhitungan kebutuhan unicost secara nyata,” katanya.
Asep Kurniawan mengungkapkan, Menteri Pendidikan telah mengeluarkan ketentuan tentang standar pembiayaan pembelajaran sebagai kriteria minimal tentang komponen dan besaran biaya operasional dalam rangka pemenuhan capaian pembelajaran pada suatu perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi menyusun program kerja dan anggaran tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dengan metode activity based costing.
Berdasarkan hasil temuan secara empirik dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya dalam penyusun anggaran terdapat banyak komponen yang perlu dirumuskan berdasarkan jenis dan prioritas kebutuhan yang akan ditetapkan. Proses penyusunan anggaran dana pada ketiga perguruan tinggi disusun top down, yang berarti bahwa unit kerja mendapatkan penetapan pagu anggaran terlebih dahulu, kemudian program dan kegiatan disusun sesuai dengan pagu anggaran yang ditetapkan. Hal ini menyebabkan beberapa kegiatan yang seharusnya dilaksanakan, harus ditunda berdasarkan skala prioritas karena keterbatasan anggaran tersebut.
“Dalam pelaksanaan dan distribusi anggaran dikelompokan berdasarkan pada struktur biaya sampai pada kebutuhan unit kerja terkecil (program studi). Hal ini pun mengacu pada lampiran Peraturan Menteri Kebudayaan tentang Tata Cara Penetapan Standar SBOP. Selain itu, pada dasarnya setiap perguruan tinggi menyampaikan secara terbuka dan transparan mulai dari perencanaan sampai pada kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan yang telah dilakukan seluruh unit kerja di perguruan tinggi, karena dalam mengelola pembiayaan pendidikan melibatkan berbagai pihak yang terkait,” kata Asep Kurniawan. (Rudi Lesmana/WAS)