Sekolah di Tapal Batas

Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam dari kota Jayapura Papua akhirnya kami tiba di lokasi yang dituju. Yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Mosso, yang terletak di kampung Mosso, distrik Muara Tami, Kota Jayapura Provinsi Papua. Sekolah tersebut merupakan satu di antara beberapa sekolah yang berada di wilayah perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea (PNG).

Sekolah ini masuk kategori sekolah di daerah 3 T (terdepan, terpencil, tertinggal). Makna Terdepan dalam arti sekolah ini secara geografis merupakan sekolah yang berada di beranda paling depan karena berhadapan langsung dengan negara tetangga. Kata terpencil karena wilayah ini berada di ujung paling timur Papua dengan kondisi lingkungan alam yang terpencil jauh dari hiruk pikuk masyarakat perkotaan. Sedangkan kata Tertinggal dimaknakan bahwa umumnya masyarakat lokal di sekitar itu adalah kelompok masyarakat marginal dengan latar belakang ekonomi dan latar belakang pendidikan yang terbatas pula.
Sekolah di wilayah perbatasan, termasuk SDN Mosso Papua, menarik untuk dikaji dengan dua alasan hal utama.

Pertama, sekolah perbatasan adalah benteng paling depan negara (the guard of nation). Sekolah di perbatasan ini merupakan institusi formal pertama dan utama dalam membina generasi muda untuk cinta bangsa, cinta Tanahair, dan Bela negara. Oleh sebab itu, di tengah dinamika geopolitik antar bangsa yang dinamis, perhatian bagi masyarakat perbatasan menjadi sangat penting dan perlu menjadi urutan prioritas. Mereka adalah kelompok masyarakat yang paling sering bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat negara tetangga, baik untuk kepentingan ekonomi, bisnis, budaya atau interaksi sosial antar etnis. Untuk kasus di wilayah Mosso Papua misalnya, banyak warga setempat yang berniaga, berladang dan “berjodoh” dan melakukan perkawinan silang dengan warga Papua Nugini yang notabene lintas negara.

Kedua, sekolah di perbatasan juga berfungsi dan berperan sebagai garda terdepan pelestari dan penjaga budaya (the guard of culture). Sekolah melalui interaksi akademik dan sistem pembelajaran yang dilaksanakan patut memberikan pengalaman berharga bagi siswa di perbatasan untuk tetap mencintai budaya lokal (genuine culture) dan budaya nasional (national culture) di tengah interaksi sosial dengan masyarakat tetangga yang notabene beda negara. Tradisi dan adat istiadat lokal dan nasional harus tetap terpelihara di tengah tergerusnya identitas nasional karena pengaruh globasasi dan interaksi antar etnis dengan masyarakat negeri jiran. Hal ini bukan hanya terjadi pada sekolah di Papua yang berbatasan dengan negara PNG, tetapi juga terjadi di sekolah yang ada di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara ataupun Nusa Tenggara Timur (NTT)) yang berbatasan dengan Timor Leste.

Kasus SD Mosso
Ada yang menarik dari fenomena dan latar belakang siswa di SDN Mosso Papua. Seperti disampaikan Bapak Stepanus Mandowen Kepala SDN Mosso bahwa dari jumlah siswa sebanyak 74 orang, lebih dari 40 % atau sebanyak 34 orang berasal dari orang tuanya yang berjodoh atau melakukan perkawinan silang dengan warga Papua Nugini. Oleh karena orangtuanya berlabel “dwi kewarganegaraan”, frekuensi kunjungan lintas negara ke PNG sering dilakukan. Ketika orangtuanya pergi ke PNG, anaknya ikut pula mendampingi orang tuanya. Hal tersebut menjadikan anak anak bolos sekolah karena mengikuti orangtuanya mengolah kebun di Papua Nugini. Jadi ketidakhadiran siswa di sekolah ini cukup tinggi, karena banyak anak yang ikut membantu orang tua ke ladang atau berkebun di luar negeri dan melewati perbatasan antar negara.

Hal yang sama juga diutarakan bapak Hans Wapofoal, Ketua Komite Sekolah SDN Mosso. Ia masih pengantin anyar, karena baru saja mempersunting gadis cantik jangkung hitam legam warga Papua Nugini. Istri sebelumnya telah meninggal dunia. Menurutnya, kampung Mosso Papua memiliki sejarah panjang tersendiri yang dipengaruhi oleh pergolakan politik lokal yang memaksa warga etnis Mosso suku Nyao harus meninggalkan kampung halaman selama hampir tiga dekade. Jadi warga kami sering warawiri ke Papua Nugini karena mereka punya tanah Adat di sana. Tanah adat ini didapat dari nenek moyang suku mereka, yang menang perang suku. Tanah adat tersebut berupa kebun dengan aneka tanaman yang diperoleh mereka jauh sebelum batas negara Indonesia dan Papua Nugini terbentuk. Dampaknya, sering anak anak yang sekolah di sini terganggu, mereka ikut berminggu minggu bahkan selama hitungan bulan pergi ke ladang di Papua Nugini. Kampung Mosso banyak ditinggalkan warga. Kampung Mossi bukan sebatas entitas administratif belaka, namun kampung Mosso juga erat dengan entitas Adat yang memiliki kepala adat disebut Ondoafi.

Kondisi masyarakat dan sosial budaya dari etnis suku Nyao Mosso ini mempengaruhi ritme belajar anak anaknya. Orang tua pada umumnya tak memberi ruang yang cukup agar anak bisa belajar dengan baik. Untuk usia sekolah dasar saja, anak anak masih dipandang sebagai aset yang bisa membantu orang tua untuk berkebun atau berladang.

Sekolah Korsel – Korut
Kondisi sekolah perbatasan di Korea Selatan menarik untuk juga untuk disimak.
Sekolah Dasar Daesungdong terletak di kampung Taesung di zona Demiliterasi (Demilitarized Zone-DMZ) di Semenanjung Korea. Perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara. Sekolah ini dianggap sebagai sekolah yang berada di tempat paling berbahaya karena anak anak berada di daerah terdepan konflik Korsel dan Korut, yang sewaktu waktu perang bisa pecah dalam kurun waktu yang cepat. The kids attend a school behind barbed wire on the border of North Korea. Malahan, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton ketika pada tahun 1993 berkunjung ke sekolah tersebut menyebut bahwa sekolah Daesungdong sebagai the sacriest place on the Earth Tempat yang paling berbahaya di muka Bumi ini.

Rusia – Ukraina
Hal ysng sama, The Moscow time (2022) melaporkan bahwa semenjak invasi Rusia ke wilayah Ukraina hampir setahun lalu, sejumlah sekolah Rusia yang berbatasan langsung dengan Ukraina ditutup. For the time being, we will limit the work of schools located 5 kms from the border zoon should be closed. Tak ada aktifitas pembelajaran di sekolah di perbatasan Rusia – Ukraina. Guru dan siswa melaksanakan pembelajaran secara dalam jaringan atau online teaching learning activities.

Sekolah India – Pakistan
Sekolah perbatasan di Pakistan – India juga merupakan sekolah yang memiliki resiko rawan konflik. Walau kedua negara memiliki kemiripan etnis, namun konflik berkepanjangan tak pernah henti. Semenjak pemisahan Pakistan dengan India tahun 1947, kedua negara tersebut masih memperdebatkan klaim atas sejumlah wilayah di Kashmir dan pegunungan Gletser.

Turtuk Valley school merupakan salah satu sekolah di wilayah perbatasan India- Pakistan yang cukup unik. Mayoritas penduduk desa Turtuk adalah etnis Baltis yang merupakan keturunan Tibet dan beragama Islam, tetapi mereka bermukim di wilayah India yang umumnya beragama Hindu, dan mereka juga berada di kawasan Ladakh yang masyarakatnya beragama mayoritas beragama Budha – Ladakhi Tibet.
DesaTurtuk awalnya merupakan wilayah Pakistan. Tetapi sejak tahun 1971 tentara India menginvasi desa tersebut dan sampai saat ini India tak pernah mengembalikannya.

Bagaimana proses belajar di Turtuk Valley School?
Seperti dikemukakan Kepala sekolahnya Mrs Sarah Shah (2022) kendati kami berada di wilayah rawan konflik, kami akan berupaya memberi layanan terbaik bagi siswa melalui implementasi kurikulum yang integratif, menyenangkan,dan kontekstual. Learning in Turtuk school is a life long journey that start early years with relevant experience provided in a caring, fun, stimulating learning environment supported by wholistic curriculum of inquire.

Itulah sekilas suasana sekolah di wilayah perbatasan di beberapa negara. Sekolah di perbatasan memiliki tantangan tersendiri. Pengelolaan Sekolah di perbatasan tak cukup hanya dengan membenahi aspek kurikulum dan pembelajaran. Namun lebih patut lebih jauh dari itu. Sekolah di perbatasan adalah penjaga terdepan bangsa. The guard of nation! (Dinn Wahyudin)