Siswa Kita di Negeri Jiran

Kampong Tomanggong, distrik  Kinabatang, Sabah Malaysia, Juni 2020. Pagi itu udara sudah terasa panas.  Tetapi tak menyurutkan anak anak berseragam baju lusuh putih merah  untuk berjalan di antara pepohonan perkebunan sawit. Mereka berjalan melewati beberapa blok hamparan perkebunan sawit menuju “sekolah” tempat belajar. Itulah siswa kita. Sebagian generasi muda bangsa Indonesia yang ada di rantau orang. Mereka anak dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI)  yang bekerja di perkebunan sawit di Sabah. Anak para TKI ini ditampung, dan  belajar di tempat penampungan yang disebut Community  Learning Centre (CLC).   

Lembaga ini merupakan model sistem pengelolaan pendidikan di daerah khusus di negeri jiran, Sabah. Fasilitasnya  berupa  bangunan sederhana. Umumnya berupa gudang yang disediakan pihak perkebunan sawit setempat. Penyiapan guru       atau tutor pembimbing difasilitasi    Kemdikbud RI dan LSM Humana yang bekerjasama dengan pengelola perkebunan sawit setempat dan Jabatan  Pendidikan Negeri Sabah (JPNS) Sabah Malaysia. Agak unik memang.  Sekolah di negeri orang dengan fasilitas seadanya. Berbeda dengan Sekolah Indonesia di luar negeri lainnya. CLC lebih merupakan sekolah darurat, berlokasi di pedalaman perkebunan sawit.

Program ini merupakan solusi agar anak anak TKI di negeri jiran, bisa menikmati layanan pendidikan dasar dan menengah walau di tengah keprihatinan dan kesederhanaan.  Fasilitas sekolahpun sangat sederhana, bukan berupa ruang kelas dengan fasilitas belajar yang memadai sesuai Standar Nasional Pendidikan. Gurunya juga merupakan guru sukarela yang direkrut Kemdikbud untuk bertugas di  tempat penampungan belajar CLC.l9

Data Konsulat Jenderal Kemlu RI di Kota Kinabalu Sabah (2019) menyebutkan bahwa saat ini ada 16.760 siswa setara SD, SMP, dan SMA yang bisa tertampung di CLC Sabah. Mereka dilayani oleh tujuh CLC dengan 294 tempat kegiatan belajar di areal perkebunan sawit di kawasan negara bagian Sabah Malaysia. Sabah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Utara, lebih dari 20% wilayahnya merupakan perkebunan sawit. Sepanjang mata memandang, ribuan hektar kebun di Sabah merupakan hamparan hijau  perkebunan kelapa sawit. 

Saat ini perkebunan kelapa sawit tersebut  menyerap lebih dari 500.000 orang yang bekerja sebagai buruh sawit. Berawal dari sini dampak masalah sosial dan dampak  pengiring muncul. Para TKI yang bekerja di perkebunan sawit,  sebagian besar  membawa keluarga anak dan istrinya ke Sabah. Mereka beranak pinak, walau peraturan Imigrasi Malaysia sebetulnya, tak memberi izin pekerja asing di perkebunan sawit untuk membawa keluarga.  

Umumnya TKI dan kelurga tersebut illegal. Mereka pergi ke luar negeri  tanpa dokumen lengkap. Selama bertahun tahun,  TKI  bekerja dan beranak pinak  di perumahan sangat sederhana di areal perkebunan sawit. Saat ini, dari total 200 ribu TKI yang bekerja di perkebunan sawit, ada sekitar  30.000 anak usia sekolah yang ada dan tinggal bersama orangtuanya di pemukiman kumuh dengan fasilitas seadanya di sekitar perkebunan Sawit di Sabah. Banyak putra putri TKI yang tak mendapat kesempatan untuk belajar. Melalui CLC ini, diharapkan anak anak TKI bisa mendapat layanan pendidikan dasar.

Community Learning Center

Dari total 30 ribu anak para pekerja sawit di Sabah, hanya sebagian kecil saja yang bisa mendapat akses untuk belajar di sekolah umum di Sabah. Umumnya mereka tak bersekolah, karena peraturan di Malaysia, tak mengizinkan orang asing belajar di sekolah umum yang difasilitasi  negara. Sebenarnya, di Sabah tersedia sekolah swasta, tetapi mana mungkin seorang anak dari keluarga TKI, bisa menjadi siswa di  sekolah swasta. Para TKI tak akan mampu membayar biaya pendidikan yang cukup mahal di sekolah swasta. Solusi adanya fasilitas dan tempat belajar CLC, adalah alternatif agar aksesibilitas dan pemerataan belajar bagi semua generasi muda bangsa Indonesia terpenuhi. Hadirnya layanan pendidikan CLC  diperuntukan bagi generasi muda para anak TKI yang bermukim di perkebunan kelapa sawit di Malaysia.

Peran UPI

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)  sejak beberapa tahun terakhir ini, cukup memberikan andil besar. Banyak alumnus  UPI yang direkrut untuk menjadi guru relawan dan  mengajar beberapa tahun  di lokasi CLC yang tersebar di puluhan kantong pemukiman TKI di perkebunan Sawit Sabah. Beberapa dosen dan mahasiswa UPI juga secara rutin melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat di tempat belajar CLC di perkebunan sawit di Sabah.

Ada beberapa catatan pengalaman  yang terlontar dari salah seorang alumnus UPI yang mengabdi  hampir 4 tahun bekerja sebagai guru sukarelawan di CLC Sabah. Salah satunya bernama Amanda Oktriana. Ia alumnus Jurusan Manajemen FPEB UPI. Amanda  mengabdi sebagai guru selama lebih dari 4 tahun . Penugasan pertama ( 2013-2015), ia sebagai guru di CLC Tomanggong Distrik Kinabatang, Sabah. Ia mengajar siswa SMP untuk kelas 7, 8, dan 9. Kemudian pada tahun 2015-2017),  Amanda bertugas  sebagai guru kelas 1-6, di CLC Hanim Distrik Kinabalu, Sabah Malaysia. Beberapa kesan antara lain dikemukakan Amanda melalui email yang dikirim. “Tugas mengajar di siswa di perkebunan sawit di Sabah itu penuh tantangan dan merupakan tugas berat”, ia mengawali tuliasannya.

“Ternyata siswa  anak TKI di perkebunan sawit, luar biasa. Mereka anak hebat yang, di tengah fasilitas pendidikan yang serba terbata, mereka mampu belajar dengan tekun. Ini lah yang menjadi energi dan semangat, mengapa saya senang dan bertahan lebih dari 4 tahun sebagai guru sukarela di Sabah”, imbuhnya.

Program pemerintah ini sangat mulia, pemerataan pendidikan dasar untuk semua warga Indonesia, termasuk anak anak kita di Sabah. Ada yang membuat agak miris, lanjut  Amanda Oktriana,  banyak anak anak yang lahir tanpa dokumen yang sah, dan ini akan merembet pada status hukum anak pada masa mendatang. Hal lain, banyak terjadi pernikahan anak usia dini (12 tahun), sering terjadi pernikahan siri sesama TKI dan ini akan berimbas pada pemalsuan dokumen di masa depan. Masalah sosil TKI ini tampaknya harus menjadi agenda serius dan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh semua pihak. Demikian ditulis Amanda, alumnus prodi Manajemen FPEB UPI.

Itulah potret lain,  generasi muda kita. Anak TKI di negeri Jiran. Ada optimisme di mata mereka. Walau  bayang bayang kelam masih tetap menghantui generasi muda kita di negeri jiran. Semoga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan belajar keras guna masa depan yang lebih baik (Dinn Wahyudin)