Superhero Bangsa: Guru Yang Berintegritas

Oleh MUHAMMAD IRFAN ILMY

(Mahasiswa Departemen Ilmu Pendidikan Agama Islam, FPIPS. Staf Ditjen Akademik dan Profesi Kemendik BEM Rema UPI 2015)

1PENDIDIKAN bermula dari sejak seorang anak terlahir ke dunia dan tatkala ia menghirup napas untuk pertama kalinya. Suara azan yang dikumandangkan sang ayah begitu merdu dilantunkan di kuping sebelah kanannya dan iqomat menyusul di kuping kirinya. Ini pertanda bahwa semua orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang berpendidikan tinggi dan nantinya bisa berguna bagi kemaslahatan orang banyak.

Pendidikan menjadi hal yang substansial bagi semua orang di muka bumi ini. Tidak akan maju suatu negara tanpa diawali dengan kualitas pendidikan pada setiap warganya. Oleh karena itu, sangatlah perlu adanya pembenahan besar-besaran pada hal yang berkaitan dengan pendidikan di negeri ini.

Semangat mencari ilmu untuk meningkatkan taraf masyarakat terdidik ini sejatinya menjadi tanggung jawab kita bersama-sama. Membasmi kebodohan selain merupakan tugas pemerintah sebagai suatu lembaga yang diamanahi rakyat juga merupakan PR kita, baik itu pedagang, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat. Bila kita bekerja sama layaknya lebah yang sedang membangun sarangnya, maka mimpi kita mewujudkan Indonesia emas 45 bukan hanya isapan jempol belaka.2

Keberhasilan dunia pendidikan salah satunya bisa dilihat dari output pendidikan yang dihasilkan. Secara sederhana, pihak sekolah sebagai subjek spesifik proses pendidikan harus bekerja ekstra untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten dan memiliki kapasitas tingkat tinggi. Sekolah ibarat kawah candra dimuka yang diharapkan mampu mengubah perilaku siswa-siswa yang belajar di dalamnya. Tentu superhero yang berjiwa besar untuk mau mengubah perilaku dan karakter siswa itu tak lain adalah guru. Sosok yang digelari pahlawan tanpa tanda jasa dengan peran sebagai pengemban tugas mulia—mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Tantangan guru masa kini

Masa sekolah dengan berbagai gejolak emosi yang sedang membuncah pada diri siswa mengakibatkan banyak sekali kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Adanya gangguan pada diri siswa – masalah pribadi – dan mereka tidak mampu menyelesaikannya berujung pada tindakan yang dianggap tidak wajar. Siswa sebagai individu yang memiliki keragaman dalam kapasitas menyelesaikan masalahnya tersebut tentu membutuhkan sosok “pahlawan” yang bisa menyelamatkannya dari peperangan yang terjadi pada internal dirinya.

Kenyataannya, di sekolah siswa selalu jadi “terdakwa” yang tidak ada ruang kosong baginya untuk membela diri kenapa dia melakukan perbuatan yang keliru itu. Padahal di belakang perilaku menyimpang itu bisa saja dipicu kasih sayang yang kurang dari orang tua sehingga membuat ulah menjadi jalan yang dipilih untuk mencari perhatian orang banyak. Peran teknologi yang masif pun menjadi api pemantik degradasi moral yang melanda para siswa di sekolah. Lagi-lagi peran guru, kesediaannya berdialektika dengan siswa, menjadi teman curhatnya harus menjadi keterampilan yang dikuasai selain kelihaian dalam menyusun sintaks-sintak pembelajaran di kelas.

Gempuran teknologi informasi yang bertubi-tubi dengan kecanggihannya menawarkan banyak kesenangan yang cenderung melalaikan anak muda – siswa. Coba sedikit tengok kelakuan para remaja saat ini yang seolah-olah menjadi hal yang lumrah saking seringnya hal tersebut terjadi. Berbagai media – cetak, elektronik, radio, internet – menyuguhkan informasi yang seakan tidak ada hentinya mengenai penyimpangan mereka.

Kenakalan remaja berupa tawuran, free sex, narkoba, mengikuti geng motor adalah beberapa potret keadaan remaja yang begitu miris. Tentu saja keberadaannya tidak bisa dinafikan. Itu menjadi rahasia umum dan terkadang menjadi trending topik di berbagai diskusi ilmiah di kampus hingga diskusi liar di pasar-pasar.

Harapan itu masih ada

Lalu mau dibawa kemana arah kemudi bangsa ini kedepan jika calon-calon supirnya terperosok pada jurang-jurang kegelapan yang menenggelamkan potensi masa depannya? Apakah kita mau dinakhodai para generasi-generasi yang penuh cela? Tentu tidak. Kita masih bisa berharap pada anak-anak muda yang tiap harinya menempa diri berkontribusi dan berprestasi demi kokohnya jati diri negeri ini. Masih ada ternyata berlian-berlian yang berkilauan dari generasi masa depan Indonesia. Ada pula intan-intan berharga yang akan menambah keindahan tampilan Indonesia masa depan. Tidak sedikit remaja Indonesia yang menjuarai aneka olimpiade dengan skala internasional. Tidak jarang produk-produk brilian para anak bangsa membuat decak kagum para juri perlombaan luar negeri. Indonesia masih bisa menaruh kepercayaan pada pundak mereka.

Guru sebagai profesi yang strategis menginternalisasi semangat dan motivasi kepada calon penerus tonggak kepemimpinan bangsa ini harus kian menyadari tugas sucinya. Menjadi guru bukan hanya karena tuntuan materi dan duaniawi. Lebih dari itu, guru harus menjadi sumber inspirasi yang selayaknya patut digugu dan ditiru. Cara berucap, cara bertindak, cara mengambil sikap harus diperhitungkan dengan matang karena akan diduplikasi para siswa. Guru harus banyak membaca literatur bagaimana sosok terbaik di dunia ini—Nabi Muhammad Saw.—mendidik para sahabat di masa-masa awal islam dulu. Mendidik dengan penuh cinta dan integritas, Mendidik dengan hati dan budi pekerti. Mendidik dengan penuh keteladanan dan dilandasi keimanan.

Pada akhirnya, guru harus bertanya pada palung hati terdalamnya. Mengapa ia memilih menjadi guru? Kalau hanya sekedar terpukau gaji besar, sebaiknya mundur. Generasi muda bangsa ini terlalu berharga jika hanya dididik para pemburu rupiah saja. Seorang yang hanya cukup datang ke kelas, mengajar lalu pulang dengan tanpa beban apa-apa. Mari menjadi guru yang penuh arti.