Tradisi Bakar Batu Baripen

Kampung Wosilimo di Lembah Baliem Papua, pagi itu masih terasa sunyi. Beberapa warga kampung yang berasal dari Suku Dani sudah mulai melakukan aktifitas sehari hari. Di satu pojok kampung, di bawah semak semak, sejumlah warga setempat sedang berkumpul. Tampaknya ada ritual yang segera akan dilakukan. Mereka akan melaksanakan upacara tradisional yang secara turun temurun sering dilakukan penduduk lokal yang bermukim di pegunungan dan tempat lain di Papua. Itulah acara ritual bakar batu Barapen.

Tradisi bakar batu merupakan tradisi turun temurun dari berbagai suku di Pegunungan Papua, termasuk warga kampung Wosilimo suku Dani di lembah Baliem ( Baliem Valley) Papua. Penamaan upacara bakar batu ini beragam. Pada suku Lani, acara bakar batu ini disebut lago lakwi. Di perkampungan Wamena, masyarakat setempat menyebutnya kit ova isago. Warga beberapa suku Papua lainnya, termasuk suku Dani, mereka menyebutnya dengan sebutan Barapen.

Tradisional massal cooking

Upacara bakar batu merupakan upacara ritual dengan cara memasak bersama (tradisional massal cooking) yang bertujuan untul mengungkap rasa syukur kepada pemberi kehidupan atas karunia yang telah diberikan. Bakar batu juga sebagai alat silaturakhim dan ajang saling mempererat persahabatan sesama etnis di Papua. Upacara ini biasa dilakukan untuk menyambut event khusus atau kabar bahagia tentang apa yang sudah dialami. Pada masa lampau, upacara bakar batu ini dilakukan untuk mengumpulkan anggota suku untuk berperang atau melakukan pesta ritual sebagai ungkapan kegembiraan setelah melakukan tugas peperangan antar suku. Atau upacara kegembiraan atas dicapainya kesepekatan dan telah terjadi perdamaian antarkelompok yang sedang bersengketa atau terlibat konflik.
Upacara ritual masak bersama ini menggunakan media batu yang dibakar sampai membara.

Kumpulan batu membara tersebut dimasukan ke lobang yang sudah disiapkan. Setelah diberi alas dedaunan, kemudian dimasukan berbagai jenis daging dan ubi ubian yang sudah disiapkan. Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan dan mulai dilakukan pembakaran di atasnya. Sambil menunggu makanan matang, diadakan berbagai aktifitas, bisa tarian massal khas daerah setempat atau sebagai ajang komunikasi kepala suku dengan warga. Setelah beberapa jam, dan makan matang, lalu timbunan makanan tadi dibuka, dan dihidangkan pada hamparan daun pisang atau dedaunan lain untuk dimakan bersama.

Di balik keunikan upacara ritual tersebut, upacara adat bakar batu ini merupakan simbol kesederhanaan, kebersamaan dan rasa syukur masyarakat adat Papua. Filosofi yang terkandung sarat makna. Simbol kebersamaan warga adat dengan tetua adat, persamaan hak, keadilan dan kerukunan, nilai tulus, jauh dari rasa iri dengki dendam kesumat.
Dalam perkembangannya sekarang, upacara adat bakar batu ini sering dilakukan ketika ada kunjungan pimpinan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan. Upacara bakar baku sebagai ajang silaturahim dan pembinaan lingkungan kemasyarakatan dengan tetap menyangga kearifan lokal dan tradisi setempat.

Genuine culture

Kearifan lokal lain pada etnis Papua dan daerah lainnya bisa disebutkan antara lain Tradisi kunyah pinang. dan Tradisi pesta ulat sagu. Tradisi kunyah pinang merupakan simbol perekat masyarakat Papua.
Greens (2018) menyebutkan bahwa tradisi kunyah pinang etnis Papua sebagai simbol yang dapat mempererat kekerabatan dan persaudaraan antarwarga. Saat mereka berkomunikasi atau ngobrol dengan kerabat, mereka mengkonsumsi pinang. Hal ini membuat suasana keakraban antar warga dapat terjalin dengan baik. Sambil bertukar informasi dan berbagi suka duka kehidupan, mereka bisa menikmati sensasi nikmatnya kunyah pinang yang khas. Para pembaca dapat mencoba merasakan sensasinya.

Tradisi pesta ulat sagu (tow pik bu) merupakan tradisi yang melekat pada beberapa etnis di Papua. Sagu dan ulat sagu merupakan makan khas yang lezat etnis Papua, termasuk suku Asmat. Falsafah ulat sagu, terpantul sebagai tradisi kebersamaan dan rasa syukur kepada alam dan sang Pencipta semesta. Batang pohon sagu yang membusuk dapat menjadi media berkembang biaknya ulat sagu yang mengandung protein tinggi dan higienis. Perpaduan sagu berkarbon hidrat dan protein ini diperoleh melalui tradisi pesta makan ulat sagu. Wujud masyarakat tradisional dalam memperlakukan lingkungan alam secara seimbang guna terwujudnya keseimbangan lingkungan. Walaupun mereka tak menyebutkan, itu jawaban etnis Papua dalam merespon perlunya education for sustainable development (EDS).
Itulah kearifan lokal di Papua. Dalam konteks etnopedagogi, kearifan lokal etnis Papua telah telah dibuat buku yang ditulis bersama oleh Dinn Wahyudin dan Dr. Agus Sumule (dosen UNIPA) dengan dengan tajuk Etnopedagogi Falsafah Bakar Batu di Tanah Papua(2021) yang diterbitkan UPIPress (Dinn Wahyudin)