TUKANG (INSINYUR): PEJUANG YANG TERLUPAKAN

M. Syaom Barliana

“Anak gue udah jadi tukang insinyur”. Demikian dikatakan oleh Babeh Sabeni yang diperankan oleh Benyamin Sueb, dalam serial film televisi Si Doel Anak Sekolahan, yang populer tahun 1990-an. Dari sudut pandang Babeh Sabeni, seorang sopir oplet, tak berpendidikan, dari keluarga Betawi yang sederhana, terma tukang yang dilekatkan pada insinyur, adalah sebuah idiom kebanggaan dan penghargaan yang serius. Namun demikian, dari sisi kelas menengah berpendidikan, hal itu menjadi semacam anekdot, semacam candaan belaka.  Candaan, tetapi  mungkin terkadang terasa memilukan juga, karena insinyur “hanya” dianggap tukang.

Jika dikaji secara lebih mendalam, sesungguhnya ada yang jauh memilukan dari sekedar anekdot tersebut. Insinyur, betapapun eksistensinya diakui, keberadaannya direkognisi, dan pekerjaannya dihargai. Sebagian besar, profesionalismenya dihargai dengan imbalan materi yang memadai. Demikian pula, insinyur yang berkiprah dalam industri kontruksi dan properti. Sebaliknya, tukang, yang juga berkubang dengan keringat untuk mewujudkan suatu desain di atas kertas menjadi konstruksi terbangun, hampir-hampir tak diakui keberadaannya.

Di balik ragam bangunan tinggi pencakar langit, diantara gedung gedung perkantoran dan mall yang menyeruak di tengah kota, di sepanjang jalur dan stasiun mass rapid transportation (MRT) yang meronggai bumi, tersimpan sejuta kisah perjuangan para buruh bangunan. Bahkan, di dalam toilet super mewah dengan  lantai dan dinding granit, dengan closet, bidet, Serenity Bathtub yang super mahal, dan shower yang dilengkapi air panas, terdapat jejak tukang bangunan di situ. Tukang bangunan, yang seumur hidupnya, mungkin tidak pernah sekalipun menikmati apa yang telah dibangunnya. Tidak pernah, misalnya, berendam sejenak dalam bathtub yang pernah dipolesnya.

Pada mulanya, soalnya bukan pada sikap simpati personal dan atau empati individual, tetapi lebih jauh dari itu, terdapat persoalan struktural-sosial. Sekaitan dengan itu, teori Karl Marx tentang kerja, alienasi, dan kapitalisme, serta struktur penindasan yang menyertainya, tampaknya masih tetap relevan sampai kini. Karya-karya Marx sendiri sedemikian sangat luas, karena itu berikut ini adalah analisis terfokus yang merujuk pada beberapa pandangan tentang teori Marx yang relevan, yaitu dari Brook (2005), Hendrawan, (2017), Martineau (2015), Mulvaney (1990), Schmitt (2002), dan Suseno (2013).

Konsep alienasi adalah dasar bagi teori mengenai perjuangan kelas yang dirumuskan kemudian oleh Marx. Alienasi dimulai dari suatu bentuk pembagian kerja sosial. Seorang pekerja di Malaysia mendapat pekerjaan di kapal keruk, yang menggali bijih timah dari sungai. Setelah melewati lusinan tangan, timah itu berakhir di Taiwan, tempat timah digunakan sebagai solder untuk membuat komponen elektronika radio transistor. Sementara itu seorang pekerja garmen di Milan, mengolah sepotong kain yang berasal dari kapas mentah dari ladang seorang petani di Pakistan. Petani itu sangat miskin, dan hanya mendengarkan radio transistor di malam hari sebagai hiburan.

Dia tidak tahu tentang pekerja di Malaysia atau wanita di toko pakaian di Taiwan dengan setrika listrik. Dia tidak tahu tentang catwalk di Milan atau imigran ilegal di pinggiran yang mengubah kapas mentah yang dia tanam dengan tangannya sendiri menjadi barang mewah. Ini adalah pembagian kerja, suatu pembagian kerja dalam skala global. Bahkan dalam skala mikro, pada sebuah pabrik mobil misalnya, buruh yang tiap hari membuat lubang dan gerigi baut, tidak tahu apa yang dikerjakan rekannya di bagian pengecatan oven, dan sebagainya.

Demikianlah, semuanya dimulai. Ketika seorang buruh bekerja, sebenarnya dialienasi dari hasil produksinya. Ketika teralienasi dari hasil produksinya, maka seorang pekerja sesungguhnya melakukan pekerjaan yang asing, dan tidak sesuai dengan tujuan hidupnya. Bekerja, lalu tidak lagi merupakan ekspresi diri otonom dan aktualisasi diri yang independen, tetapi bertujuan sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, dan semata bersifat hewani. Akibatnya, keadaan kerja membuat manusia terasing dari kemanusiaanya sendiri, dan terasing dari dunia sosialnya. Pekerja lain adalah orang asing, yang seolah diposisikan sebagai oposisi dari diri pekerja yang terasing. Kerja juga membuat orang teralienasi dari dirinya sendiri, serupa mesin, karena tubuh tidak melakukan sesuatu yang sesuai dengan pikiran.

Keterasingan saja adalah suatu gejala kemanusiaan yang menyakitkan, tetapi lalu kemudian ekonomi kapitalisme dengan pasar bebasnya, semakin mengokohkan pertentangan kelas dan mengukuhkan struktur penindasaan atas kemanusiaan itu. Teori akademis Marx yang kemudian menjadi gerakan praksis sosialisme, sesungguhnya ingin mendobrak struktur penindasan itu. Realitasnya, teori Marx tidak terbukti dan dianggap gagal, karena sistem ekonomi sosialisme yang bersekutu dengan sistem politik komunisme runtuh dimana mana. Namun demikian, sesungguhnya pemikiran Marx mempengaruhi dan telah memaksa sebagian dunia berubah. Kapitalisme yang menyatakan dirinya menang, dengan mengatur seluruh relasi produksi dan konsumsi hampir di seluruh dunia, sebenarnya juga harus mengupayakan penyesuaian diri yang luar biasa semenjak Marx mencetuskan ide tentang komunisme.

Atas desakan Marx, kapitalisme dipaksa menyesuaikan diri dan memperbaiki diri. Kondisi-kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja di negara-negara maju, seperti di Amerika, Eropa, Jepang, dan Korea meningkat jauh lebih baik. Para pemilik modal mendapatkan regulasi dan pajak yang sangat tinggi, yang dikembalikan oleh pemerintah dalam bentuk infrastruktur publik dan jaminan sosial masyarakat yang baik. Kaum kapitalis juga dipaksa untuk berkompromi dengan pekerja, untuk mengurangi potensi revolusionernya. Serikat pekerja dibentuk, dan memiliki posisi daya tawar yang tinggi dalam menentukan kebijakan yang berpihak kepada kaum buruh. Sistem asuransi pekerja dan sertifikasi kompetensi diatur dan diwajibkan. Para pekerja yang memiliki sertfikat kompetensi, memperoleh pengakuan dan penghargaan materi yang memadai. Ini menunjukkan, bahwa teori Marx memiliki daya dobrak dan pengaruh yang luar biasa.

Problemnya, perubahan dan penyesuaian karakter kapitalisme semacam itu, hanya terjadi di negara-negara yang sudah mapan dan maju. Kenyataannya, meskipun kapitalisme mutakhir telah secara total dan global menguasai dunia, mengatur relasi-relasi produksi, konsumsi, dan bahkan hampir semua lini kehidupan manusia, namun migrasinya ke negara-negara dunia ketiga masih dengan sosok dan karakternya yang ortodoks. Ditengah pemerintahan yang lemah, dan semata-mata larut dalam sistem liberalisasi ekonomi kapitalisme yang berpihak pada pemodal, kesenjangan semakin mengemuka, dan penderitaan pekerja tetap terjaga. Terlebih lagi, jika itu menyangkut tenaga pekerja bangunan, khususnya buruh bangunan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya seperti Vietnam, Thailand, Bangladesh, Pakistan, bahkan sebagian negara maju seperti di China.

Jika kita menengok ke balik konstruksi gedung-gedung tinggi yang sedang dibangun, melongok ke dalam bilik-bilik pekerja bangunan, akan tampak kenyataan paradoksal dan kontradiktif. Selayaknya para pekerja bangunan membutuhkan tenaga dan energi besar untuk bekerja keras, dan karena itu membutuhkan asupan gizi yang cukup. Realitasnya, untuk sebagian besar buruh dan sebagian besar waktu, sarapan paginya cukup dengan gorengan “bala-bala” atau sebungkus supermie. Tentu saja, ada banyak kenyataan lain, yang menyebabkan mereka termasuk kelompok “rentan”.

Demikianlah, pekerja bangunan yang termasuk pekerja informal di negara-negara dunia ketiga, dihadapkan pada persoalan yang hampir sama menyangkut kondisi kerja mereka. Posisi pekerja bangunan dalam struktur pekerjaan dan struktur ekonomi tidak terdefinisikan dengan jelas, sistem perekrutan tidak terformalisasi, sistem pelatihan tidak struktur, tidak memiliki serikat pekerja yang dapat mengakomodasi kepentingan mereka, serta tidak memiliki akses pada institusi formal. Akibatnya, buruh bangunan menjadi manusia terpinggirkan, dan seolah tidak diakui eksistensinya dalam industri pembangunan yang hingar bingar. Seorang pejuang yang terlupakan.

Sesungguhnya regulasi tentang asuransi sosial, jaminan keamanan dan kesehatan, dan sertifikasi kompetensi pekerja, sudah diberlakukan juga di Indonesia. Persoalannya, infrastrukstur sosial dan ekonomi tidak memadai, juga penegakan hukum masih sangat lemah. Para developer dan kontraktor dalam industri konstruksi, lebih suka menggunakan tenaga kerja yang tidak memiliki sertifikasi kompetensi, tetapi berpengalaman, dan karena itu punya alasan untuk membayar  upah dengan murah.

Namun demikian, ada sisi lain, menurut  Widaningsih (2020), bahwa ada kehidupan khas pekerja bangunan, yang salah satunya ditunjukkan dengan kekuatan modal sosial dan karakter kerja yang dimiliki. Modal sosial yang terbangun secara historis dalam keseharian para pekerja, ditunjukkan antara lain dengan senantiasa membagi informasi dan berbagi pekerjaan kepada pekerja lainnya, saling menjaga kepercayaan dan saling membantu dalam penyelesaian masalah. Kekhasan dalam karakter kerja, ditunjukkan dengan tingkatan keterampilan di antara para pekerja, cara saling mengajarkan keterampilan, dan kepatuhan relasi yang dibangun.

Disamping itu, lebih lanjut Widaningsih menjelaskan, bahwa kepercayaan menjadi aspek penting dalam pelaksanaan pekerjaan bangunan, baik antara pemberi tugas dengan pekerja maupun antar sesama pekerja bangunan. Dalam kultur masyarakat perdesaan, kepercayaan terhadap kepala tukang menjadi penentu juga dalam hal kesepakatan pengupahan. Kesepakatan pengupahan tidak bisa sama antara satu tukang dengan tukang yang lainnya, meskipun rata-rata besarannya tidak jauh berbeda. Artinya, spesifikasi keterampilan, tingkat keahlian dan pengupahan pada pekerjaan tidak terstandar secara formal, akan tetapi menjadi kesepakatan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Aspek tersebut begitu kuat yang memberikan gambaran bahwa pekerja bangunan masih menjadi pekerja informal yang masih jauh dari perlindungan aturan hukum formal. Namun demikian, tingkat kebertahanan (survival) para pekerja bangunan memiliki tempatnya tersendiri di tengah masyarakat baik di perdesaan maupun di perkotaan. Bagi sebagian besar pekerja bangunan, selama masih mendapatkan pekerjaan, dan kehidupan ekonomi keluarga masih bisa berjalan, betapa pun jauh dari sejahtera, mereka tidak banyak berpikir sulit tentang masalah persaingan di industri konstruksi.

Diadaptasi dari dan untuk pendalaman lihat buku: Lilis Widaningsih: Tukang Bangunan, Pewarisan Ketrampilan Vokasional

Referensi

Brooks, Mick (2005). An introduction to Marx’s Labour Theory of Value. Tersedia di: https://www.marxist.com/marx-marxist-labour-theory-value.htm

Hendrawan, Datu (2017). Alienasi Pekerja Pada Masyarakat Kapitalis Menurut Karl Marx. Jurnal Filsafat Arete, Vol 6, No 1 (2017). Tersedia di: http://journal.wima.ac.id/index.php/ARETE

Martineau, Jonathan (2015). Time, Capitalism and Alienation: A Socio Historical Inquiry into The Making of Modern Time. Leiden: Koninklijke Brill nv, 2015

Mulvaney, Christopher J. (1990). Marx’s concept of labor.  Doctoral Dissertations 1896 – February 2014. 1800. University of Massachusetts Amherst ScholarWorks@UMass. Avaliable at:  https://scholarworks.umass.edu/dissertations_1/1800

Schmitt, Richard (2002). Alienation and Freedom. Cambridge: Westview Press, 2002.

Suseno, Franz-Magnis (2013).  Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marx Pasca Lenin.  Jakarta: Penerbit Gramedia.

Widaningsih, Lilis (2020). Tukang Bangunan; Pewarisan Ketrampilan Vokasional. Bandung: UPI Press