Uletnya Masyarakat Jawa Mencari Nafkah di Rantau

Bandung, UPI

Masyarakat di Pulau Jawa terkenal sebagai kelompok sosial yang ulet dalam mencari sumber penghidupan. Sudah lama mereka dikenal sebagai bangsa perantau yang banyak memperoleh keberhasilan di tanah asing yang mereka datangi. Mereka rela meninggalkan sanak saudara di kampung untuk bersaing dalam meningkatkan taraf kehidupan dan keluarga.

Tidak mudah bagi mereka yang merantau ke kota besar dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Terlebih dengan tekanan ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan di desa. Kebutuhan yang harus dipenuhi lebih mahal serta status sosial mereka yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat kota.

Namun dalam hal ini kuliner bisa disebut sebagai salah satu cara menjalin hubungan yang mereka bawa untuk mengajak warga kota besar maupun warga pulau lain di luar Jawa untuk berdamai dengan mereka. Salah satunya dengan mengembangkan kuliner khas Jawa. Tidak jarang masyarakat bisa menemui warung nasi di pinggir jalan yang di namai Warteg “warung Tegal”. Itu adalah cara mereka mengembangkan bisnis dan mendapat keuntungan di tengah perkotaan.1-1

Seperti yang dijalani Mamasuda yang berasal dari Brebes Jawa Tengah. Ia sudah tinggal di Bandung selama dua tahun. Dalam menjalani profesinya sebagai pemilik warung Tegal, dia menuturkan cerita suka duka tinggal di negeri perantauan. Dalam proses penyesuaiannya dengan lingkungan, Mamasuda memang sulit jika harus menyesuaikan dengan orang asli Bandung.

Menurut dia, “tinggal di sini ya masing-masing saja tidak seperti di kampung antar tetangga saling kenal sedangkan di sini tidak. Karena mereka jarang keluar rumah”. Namun hal tersebut tidak menjadi hambatan. Mamasuhada dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, hanya sebatas menjalani pekerjaan, meneruskan usaha warteg yang di wariskan oleh orang tuanya.

Usaha warteg yang dijalani Mamasuda terbilang sukses. Ia bisa menghidupi keluarganya di kampung. Setiap hari, warungnya tidak pernah sepi pelanggan apalagi di lingkungan kampus. Banyak mahasiswa yang sudah berlangganan untuk makan di sini, dalam melayani para pelanggan pribumi Mamasuda tidak mengalami kesulitan yang berarti. Meskipun gaya bicaranya yang “medok” ia sering menjadi olokan mahasiswa untuk dijadikan bahan tiruan. Namun Mamasuda tidak pernah sakit hati dengan mereka, karena ia menganggap hal tersebut sebagai bahan untuk lucu-lucuan saja.

Mamasuda lebih senang tinggal di kampung halamannya, karena tradisi kekeluargaan di sana lebih kental daripada di Bandung. Tetapi hal tersebut juga tidak menjadi penghambat dalam meneruskan usahanya karena lebih dari sekadar merantau dan berjualan. Tradisi usaha kuliner orang Jawa justru telah melahirkan pola hubungan sosial yang baik antara sesama mereka di tanah perantauan, maupun antara mereka dengan keluarga dan kerabat, juga antara mereka dengan desa asal mereka.

Di tanah perantauan, yang umumnya kota-kota besar, para pelaku usaha Warteg tidak saling bersaing namun justru menjalin hubungan yang baik dan terkadang mengadakan perkumpulan rutin, seperti arisan antar orang Jawa. Maka dari itu Mamasuda tidak merasa benar-benar jauh dari keluarganya karena di sini pun mereka saling membantu satu sama lain. Dibandingkan dengan yang lainnya, para pewarteg memang terbilang yang paling solid.

Rasa memiliki identitas Jawa sangat dijunjung tinggi oleh Mamasuda. Dalam alam sosial masyarakat Tegal, kampung halaman merupakan aset yang harus dijaga dan dilestarikan. Untuk itulah tak jarang mereka, para pewarteg yang berhasil, tidak segan-segan mendistribusikan sebagian hasil jerih payahnya untuk pembangunan desa dan warga kampung halamannya. Ini menunjukan bahwa etnis Jawa memang memiliki rasa cinta identitasnya yang tinggi. (Rini Anggraeni/Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)