Zhong Xiaowen: Kuliah di UPI Banyak Banget PR-nya

L-1ZHONG Xiaowen masuk kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia bermula saat wanita berkebangsaan Republik Rakyat China ini mulai mendaftar beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) Februari, 2013. Menurut persyaratan pendaftaran beasiswa KNB, perempuan yang lahir di Guangdong, 29 Januari 1990 ini harus menyiapkan surat rekomendasi dari salah seorang dosen Indonesia. Maka, gadis yang dipanggil Cheria Chuang ini menulis daftar riwayat hidup dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, Surat Rencana Studi, Surat Rekomendasi dari Kedutaan Indonesia di RRC, Sertifikat Kesehatan, Pengalaman Bekerja, Rapor Bahasa Indonesia dan Sertifikat Bahasa Inggris, dan Scan Paspor.

“Semua dokumen selesai saat hampir Maret 2013 dan sudah dekat batas waktu pendaftaran. Memang saya menunggu hasil penerimaan masuk beasiswa KNB sampai Juni 2013, saya merasa gelisah dan resah karena saya kurang percaya diri selama tiga bulan itu,” kata wanita yang harus mengikuti Wisuda Gelombang III di Gedung Gymnasium Kampus UPI, Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Selasa dan Rabu (14-15/12/2015).

Perempuan dengan tinggi badan 160 cm dengan berat 48 kg ini mengaku selalu berdoa untuk hasil ini. Untunglah, akhirnya dia diterima. Tapi wanita yang nama Inggrisnya Christina Chuang ini sempat heran, semua kawannya yang berasal dari China diterima dari universitas unggul, hanya dia dari universitas biasa. Tapi, akhirnya Chuang akhirnya bisa lulus juga dari UPI.L-2

Dalam belajar, Chuang yang pernah menjadi tutor di Balai Bahasa UPI 2013-2015 ini, mengaku memegang prinsip percaya diri. Karena pada prinsipnya tidak ada mahasiswa bodoh. “Yang pasti, kuliah itu harus punya sasaran yang jelas. Seperti saya, mengapa saya harus kuliah di S2? Setelah belajar S2, kita kerja sebagai apa? Dan sebagainya,” ujar Chuang.

Cheria Chuang mengaku harus bersabar agar kuliah berhasil. Kuliah tidak boleh takut gagal. Setiap kali gagal, ia berarti akan lebih dewasa lagi. “Tidak ada kesempatan sesal, apa yang kita harus melakukan adalah maju terus,” ujarnya.

Soal pembiayaan kuliah di UPI, Cheria Chuang mengungkapkan, proses beajar di UPI dimulai September 10 2013. Dia masih ingat pertama kali belajar di kelas adalah mata kuliah Filsafat. Di kuliah China, memang semua pertanyaan pasti ada jawaban tertentu. Namun Filsafat di luar negeri sangat berbeda, setiap mahasiswa punya pengertian sangat berbeda tentang filsafat.L-3

“Saya harus menghabiskan satu semester untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Bahasa bukan masalah tersulit. Memang setiap mahasiswa harus ada logika berkembang, jika saya cuma ditutup dalam logika yang berisi jawaban bersatu, saya pasti menyia-nyiakan kesempatan untuk terbuka mata saya,” katanya.

Cheria Chuang mengaku sangat kaget, karena kuliah di UPI ternyata jumlah perkerjaan rumah sangat banyak. Contohnya, hari ini dia menerima tugas presentasi dari dosen, tugas presetasi termasuk membaca dan memahami teks, menerjemahkan teks dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, menulis skripsi tugas minimal 15 halaman, mendesain bahan presentasi agar menarik, dan sebagainya.

“Proses ini harus siap tidak boleh lebih lama dari seminggu. Dulu saya menerima tugas dari dosen cuma sedikit saja. Kami hanya fokus UAS saja. Memang studi S2 sangat membuat stress, saya harus punya keteguhan tekanan mental dan fisik. Setelah ikut belajar dengan teman-teman Indonesia, saya baru mengerti. Belajar bukan cuma seorang saja, bisa saja belajar dari satu grup. Kadang-kadang belajar dari satu grup biar saya maju lebih cepat,” ujar Cheria Chuang.L-4

Terakhir, setelah belajar di jurusah Pendidikan Bahasa Indonesia, Chuang baru mengerti mengenal pendidikan adalah mengajar murid atau mahasiswa pengetahuan dan membantu murid atau mahasiswa maju di mental atau jiwanya. Dari dua tahun ini, dia bukan cuma meningkat kemampuan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tetapi juga mengerti inti pendidikan.

“Memang bahasa cuma menjadi alat kehidupan, kami pelajar bahasa harus punya keterampilan teknik lain. Saya sangat beruntung dalam dua tahun itu, saya pernah belajar keterampilan lain, seperti akuntasi,” ujar Chuang.

Chuang yang kini bekerja sebagai penerjemah di Vivo Communication Indonesia sebagai part-timer merasa sangat terkesan hidup di Bandung. Baginya, Bandung adalah benar-benar kota kembang. Cuacanya sejuk dan pemandangannya sangat indah. “Dulu saya pernah belajar setahun di Bali. Saya ingin mencoba hidup di Paris Van Jawa, pusat pendidikan di Jawa, dan coba hidup di Jawa. Hidup di Jawa lebih ramai dari Bali dan Bandung dekat Jakarta. Berarti kota ini saya mendapatkan kesempatan mengadakan kontak dengan berita atau percobaan baru dari bidang ekonomi, pendidikan,dan kebudayaan,” katanya.

Apa yang didapat dari pengalaman hidup dari Bandung adalah Chuang harus menghargai waktu selama tinggal di kota kembang ini. Sesekali dia sempat menderita kerugian, dibohongi, mendapat ancaman dari penjahat atau cobaan berat dari kehidupan. “Pastilah kehidupan selamanya tidak lancar. Saya harus menyayangi diri saya sendiri selama kecelakaan kehidupan ini. Jika saya tidak bisa menghargai diri sendiri, nanti siapa berani menghargai saya?”

Chuang mengaku harus berterima kasih kepada Tuhan Jesus, karena Tuhan masih tetap menjaga dan menemaninya setiap hari dan setiap detik. Kemudian, dia berterima kasih keluarga, dosen, dan teman. Jika tanpa mereka, Chuang mengaku merasa sepi. “Saya bersyukur sekarang punya calon suami tercinta dan kami akan berkeluarga baru di kota baru,” katanya.

Terakhir, Chuang mengaku “berterima kasih” kepada penjahat atas cobaan berat dari kehidupan. Tanpa cobaan berat ini, dia baru mengerti harus sering mencambuk diri untuk giat belajar. “Tidak peduli bagaimana pun akibatnya, kami harus mencintai kehidupan kami,” ujarnya. (WAS/Dodi)