Jack Sparrow

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

MERUJUK situs resmi Disney, Wikipedia melukiskan Jack Sparrow sebagai anak Kapten Teague Sparrow. Jack diberi tanggung jawab memimpin Wicked Wench, sebuah kapal dagang, dan bekerja untuk Cutler Beckett. Pada suatu hari, Jack yang ditugasi mengantarkan “budak belian” melakukan pengkhiatan kepada Beckett. Alih-alih mengantarkan budak, Jack malah membebaskannya di Afrika. Jack dihukum Beckett. Kapalnya dibakar dan Jack dijuluki bajak laut. Hari-hari berikutnya dihabiskan Jack sebagai bajak laut tulen, bahkan menjadi pemimpin para bajak laut.

Penggalan kisah Jack Sparrow, yang cerita utuhnya telah diangkat ke dalam tiga judul film layar lebar “Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl” (2003), “Dead Man’s Chest” (2006), dan “At World’s End” (2007), terasa amat aktual karena terkait dua hal. Kesatu, betapa dahsyatnya penjulukan dalam membentuk karakter seseorang. Jack Sparrow menjadi bajak laut karena Cutler Beckett sebagai bossnya menghukum Jack dengan menjulukinya sebagai bajak laut.

Salah satu teori yang bisa menjelaskan betapa efektifnya penjulukan dalam membentuk karakter seseorang adalah self fulfilling prophecy, atau karakter yang dipenuhinya sendiri. Seseorang akan bertindak menurut karakter yang dilekatkan, atau sifat yang dituduhkan, kepadanya. Bahkan tindakan menolak tuduhan yang tidak disukainya dapat mengukuhkan tuduhan dimaksud. Perlawanan pejuang Palestina atas kesewenang-wenangan Israel yang telah menduduki wilayah dan menuduh mereka sebagai pemberontak dan pengacau malah mengukuhkan julukan yang diberikan kepada pejuang Palestina.

Apa yang dialami bangsa Palestina bisa berlaku pada kelompok lain dengan kasus yang berbeda. Tindakan seseorang yang menolak dituduh rasis dan pengecut dengan melontarkan ucapan yang membela keberadaan ras atau paham yang dianut kelompoknya, malah akan mengukuhkan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Dalam konteks kepemimpinan, penjulukan yang diberikan pemimpin turut membentuk karakter pengikutnya. Itulah sebabnya, keharusan pemimpin menjaga lidah dan memuliakan pengikutnya menjadi kearifan perenial yang masih berlaku hingga kini. Dibaca dari konteks ini, moralitas masyarakat tidak akan melampaui kapasitas pemimpinnya. Karena itu, sungguh aneh bila ada seorang pemimpin yang merendahkan keyakinan orang lain, lalu naik ke mimbar dan menyerukan pentingnya hidup saling menghargai.

Kedua, kehebatan seorang pemimpin tidak bisa didasarkan atas klaim, melainkan ditentukan oleh pandangan pengikut terhadapnya. Betapa pun pemimpin dan pengikut berbeda, namun pemimpin adalah anggota kelompok, yang paling mempengaruhi tindakan kelompok.

Ketika ditahbiskan sebagai pemimpin, seseorang tidak hidup sendirian, dan terpisah dari pengikutnya. David Krech, dalam “Individual in Society”, 1962, melukiskan karakter pemimpin dalam pandangan pengikut. Seorang pemimpin harus berasal dari komunitas yang dipimpinnya (one of us), sehingga mampu bertindak dalam cara-cara pengikutnya berbuat. Namun seorang pemimpin bukan hanya harus menampilkan ciri-ciri kelompok yang dipimpinnya, tetapi juga mampu membuat anggotanya menaati nilai dan norma yang berlaku (the most of us). Lebih dari itu, seorang pemimpin adalah sosok yang paling kompeten dalam mewujudkan misi dan tujuan kelompoknya (the best of us).

prof-karim-jack-sparrowKetiga ciri pemimpin yang disebut David Krech dimiliki Jack Sparrow. Jack benar-benar pemimpin pasukan bajak laut. Jack bukan hanya bagian dari pasukan bajak laut, atau menunjukkan karakter penting seorang bajak laut, tetapi juga paling tangguh dalam mewujudkan misi pasukannya.

Sebagai pemimpin bajak laut, Jack tidak pernah berpura-berpura menjadi orang alim, atau mengomentari kesalehan musuh-musuhnya. Jack hanya fokus membangun kekuatan, dan mewujudkan mimpi pasukannya menjadi nyata. Jack Sparrow adalah definisi utuh karakter bajak laut, sekaligus pemimpin genuine komunitas perompak yang ganas itu.

Jack terpilih sebagai pemimpin bajak laut tidak melalui kampanye, melainkan melalui pembuktian menumpas perompak yang mengancamnya. Julukan sebagai bajak laut ia kukuhkan lewat pemenuhan ciri-ciri seorang bajak laut, sehingga Jack Sparrow menjadi definisi paling utuh karakter bajak laut, sekaligus pemimpin genuine komunitas perompak yang ganas itu.

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) adalah mekanisme demokratis untuk memilih pemimpin beradab. Dari “kepemimpinan” Jack Sparrow kita bisa belajar tentang passion yang mengikat hubungan pemimpin dan pengikut (pemimpin bukan hanya one of us, tetapi juga the most and the best of us), serta korsa dalam menjaga muruah masyarakat.

Sayangnya sulit melahirkan pemimpin politik genuine lewat panggung kampanye. Mengapa? Seperti pernah dikeluhkan Adlai E. Stevenson, calon Presiden Amerika dalam Pemilu 1952 yang diusung Partai Demokrat, salah satu penyakit kampanye politik adalah cara memenangi (jabatan yang dikejar) yang tanpa harus membuktikan mengapa seorang kandidat harus menang.

Penyakit kampanye seperti ini menular ke dalam hubungan pejabat terpilih dan rakyat yang dipimpinnya. Karena tidak tahu apa alasan yang membuat seorang kandidat harus keluar sebagai pemenang, maka hari-hari setelah pemilihan hanya disibukan oleh tindakan menyalahkan seorang pemimpin. Jadi, salah memilih pemimpin adalah biang dari kesalahan beruntun.

Seperti halnya Jack Sparrow, tindakan yang benar bisa saja dipandang sebagai sebuah pengkhiantan bila seseorang hidup di dalam iklim moral yang sudah tercemar. Namun sebagai manusia, seorang pemimpin atau calon pemimpin, bisa saja salah, tetapi tidak boleh berbohong. Prinsip tidak boleh berbohong akan mengamplifikasi kaidah emas “politik tahu diri”, sebab hanya apabila kandidat menghentikan kebohongannya, maka calon pemilih akan berhenti mengatakan hal yang sebenarnya tentang kandidat.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/10/10/jack-sparrow-381898