Endang Rochyadi, Dosen Departemen Pendidikan Khusus FIP UPI Raih Guru Besar

Bandung, UPI

Dr. Drs. Endang Rochyadi, M.Pd., diangkat dalam jabatan akademik atau fungsional dosen sebagai Profesor atau Guru Besar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Ditetapkan melalui SK NOMOR 29570/MPK.A/KP.05.01/2021, sebagai Profesor/Guru Besar dalam bidang Ilmu Pendidikan Khusus Anak dengan Hambatan Intelektual.

Surat Keputusan tersebut diserahkan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A., kepada Prof. Endang Rochyadi, bersamaan dengan penyerahan SK Guru Besar kepada Prof. Dr. Nandang Rusmana, M.Pd., Prof. Dr. Ratnaningsih Eko Sardjono, M.Si., dan Prof. Dr. paed. Wahyu Sopandi, M.A., di Ruang Rapat Partere Kampus UPI Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Jumat (25/6/2021).

Menurutnya, jabatan akademik atau fungsional dosen sebagai Profesor ini diraih usai memaparkan kajiannya tentang Intervensi Anak dengan Hambatan Intelektual (Reposisi: dalam Perspektif Pendidikan Khusus dan Implikasinya dalam Praktek Pembelajaran).

“Kajiannya di bidang pendidikan khusus utamanya dalam bidang masalah anak yang mengalami hambatan kecerdasan. Kajian ini fokus pada masalah intervensi, karena hal ini belum dipahami secara benar. Jadi intervensi dipandang sama dengan mengajar, padahal keduanya merupakan suatu hal yang berbeda,” ungkapnya.

Lebih lanjut dijelaskan, intervensi itu berkaitan dengan ikut terlibat secara langsung atau ikut campur secara langsung. Intervensi itu harus bisa menyelesaikan persoalan-persoalan dibalik apa yang menjadi masalah yang dihadapi anak-anak. Cara membelajarkannya tidak hanya diberikan kepada anak tetapi harus melibatkan orang tua atau orang yang ada disekitarnya, sehingga terjadi kolaborasi dan keselarasan tindakan yg dilakukan orang tua dan tindakan yang dilakukan sekolah. Karena selama ini bertentangan, antara apa yang dilakukan orang tua dan sekolah. Esensi utamanya, guru PLB sekarang harus berkembang, tidak hanya membelajarkan anak, tapi juga membangun kompetensi orang tua, baru bisa berhasil, dan makna intevensi itu ada disitu.

Dalam perspektif pendidikan khusus, ujarnya lagi, intervensi itu jauh lebih luas dan tidak hanya dalam mengajar. Bagi seorang guru PKH memahami itu secara mendalam. Boleh saja menggunakannya dalam pembelajaran tapi harus dalam nuansa pemahaman intervensi, sebab dengan intervensi tidak hanya memberikan apa yang menjadi masalah dalam belajar, tapi faktor yang menyebabkan terjadinya masalah. Dua sisi inilah yang harus di fokuskan.

Lebih jauh dijelaskan,”Sebagai contoh, intinya seorang guru tidak hanya mengajarkan bagaimana jika anak itu mengalami hambatan dalam matematik tapi harus sekaligus menyelesaikan apa yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam matematik. Apa faktornya? Ini seringkali tidak fokus. Dampaknya, kegagalan akhirnya terakumulasi karena tidak menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendasar.”

Dalam pendidikan khusus, tegasnya, terutama interventionis atau para guru, harus memahami betul tindakan-tindakan yang dilakukan. Seorang guru PLB harus berada diantara mengajar dan intervensi itu sendiri. Jadi harus bolak balik, menyelesaikan yang ada dibelakang dan menyelesaikan yang sedang dihadapi. Jika itu tidak terjadi, itu akan menjadi persoalan besar, sehingga proses pembelajaran yang banyak dilakukan itu akhirnya menjadi stagnan.

“Intervensi banyak dikatakan oleh guru-guru, tapi makna intervensinya yang tidak banyak dipahami.

Intervensi itu mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Guru PLB sering kali menyatakan sebagai seorang yang ahli dalam PLB. Dalam PLB yang disebut ahli itu ada dalam tiga periode. Periode pertama adalah orang yang bisa menangani anak, namun konsep itu sudah ditinggalkan. Tidak pada anak yapi pada orang tua, masih bersifat memberikan rekomendasi, ahli karena bisa memberikan rekomendasi, tapi ini tidak menyelesaikan masalah, karena hanya memberikan rekomendasi saja. Harus menjadi apa-apa itu yg menjadi poersoalan. Periode terkahir yang kaitannya intervensi itu bersumber daya keluarga,” ungkapnya lagi.

Hal pertama yang harus dikembangkan itu adalah bagaimana harus mengintervesi orang tua atau keluarga sehingga orang tua itu mempunyai kompetensi untuk bisa menyelesaikan hambatan anaknya, tegasnya lagi. Jadi tidak langsung memberikan pada anaknya tetapi melalui perantara. Ada dua keuntungan disitu. Pertama, orang tua memiliki pemahaman terhadap anaknya, memiliki kemampuan dan keterampilan menangani anaknya. Kedua, keterampilan itu berdampak pada penyelesaian persoalan yang dihadapi oleh anak. Kemudian secara ekonomi hal ini tidak menyebabkan banyak pengeluaran, karena mengintervensi dengan membawa ke pusat-pusat terapi atau klinik itu membutuhkan biaya yang sangat besar.

Dikatakannya,”Menurut pendidikan khusus, sekarang harus mengembangkan prinsip-prinsip dari intervensi itu tidak hanya mengajarkan pada anak, tetapi bagaimana melibatkan orang tua dan membangun kompetensi orang tua, sehingga kolaborasi sekolah denga orang tua itu menjadi tidak bisa ditawarkan lagi untuk masalah sekarang terlebih untuk anak yang menghadapi masalah kecerdasan. Di satu sisi, itu menjadi beban berat tapi di sisi lain itu sesuatu yang menjadi profesi dan prinsip-prinsip dasar yang harus dilakukan oleh siapapun yang merasa sebagai seorang ahli di bidang pemdidikan khsusus.” (dodiangga)