Guru, Pejuang dan Penjaga Keutuhan NKRI yang Sebenarnya

 

Nuur Wachid Abdul Majid

 

Judul artikel ini sebenarnya tidak ada maksud untuk mendiskritkan profesi lainnya dan bukan untuk menunjukkan bahwa profesi guru adalah yang paling NKRI. Namun artikel ini sungguh menjadi bagian dari refleksi dan introspeksi perjuangan para guru-guru yang ikhlas mendarmakan diri untuk mewujudkan Negara yang Berdaulat, berdiri sejajar dengan bangsa besar lainnya. Perjuangan yang luar biasa ini sangat kontras dengan apa yang didapatkannya, sebuah hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan yang tidak kunjung disempurnakan. Padahal dari tangan dan pemikiran seorang gurulah, lahir para tokoh-tokoh hebat yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini.

Sejarah membuktikan bahwa sebuah bangsa yang besar dan maju pada dasarnya mereka selalu memikirkan nasib para gurunya, selalu memenuhi hak-haknya atas kewajiban yang telah mereka lakukan. Sebut saja Jepang, sebuah negara yang pernah luluh lantah dihantam bom atom dan akhirnya terpaksa menyerah kepada Sekutu atas peperangan yang sebelumnya dilakukan. Setelah itu Sang Kaisar mengumpulkan semua jendral yang masih hidup lalu menanyakan kepada mereka, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”. Sontak pertanyaan ini sangat mencengangkan dan bahkan salah satu jendral pun berkata bahwa mereka siap dan masih sanggup menyelamatkan serta melindungi Sang Kaisar walaupun tanpa para guru. Lalu apa yang dikatakan oleh Kaisar Hirohito waktu itu? ia berkata, “Kita telah jatuh karena kita tidak belajar. Memang kita kuat dalam senjata dan strategi perang, namun kita tidak tahu caranya membuat bom yang sedasyat ini, kalau tidak belajar bagaimana bisa mengejar ketertinggalan dari mereka? oleh karena itu, kumpulkan semua guru yang tersisa diseluruh pelosok kerajaan ini, karena saat ini kita bertumpu pada mereka, bukan kekuatan pasukan,”. Sungguh betapa berharganya seorang guru bagi Kaisar Hirohito dan terbukti sekarang, bahwa Jepang menjadi negara maju dan bisa bersaing dengan negara-negara besar lainnya.

Selain itu, dalam artikel yang berjudul “What other countries can learn from Singapore’s schools” yang ditulis oleh Dave Simonds dan termuat dalam economist.com mengatakan bahwa ketika Singapura memerdekakan diri, mereka hanya memiliki sedikit teman dan sedikit sumber daya. How did it become one of the world’s great trading and financial centres?. Ternyata strategi yang dilakukan oleh Perdana Menteri Pertama, Lee Kuan Yew, adalah hanya mengembangkan sumber daya manusia atau Masyarakat Singapura saat itu. Pengembangan SDM ini tentunya melibatkan sejumlah guru-guru yang bertanggungjawab secara besar untuk menjadikan Singapura menjadi negara yang maju dan tentunya hak-hak yang luar biasa diberikan kepada para guru oleh Negara Singapura.

Ilmu pengetahuan akan terus berkembang seiring berjalan dengan adanya fasilitas dan ruang-ruang diskusi yang memadai. Hal ini dapat terlihat ketika di era Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Sultan Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid. Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) sebagai akademi ilmu pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, tempat penelitian, dan ribuan buku ilmu pengetahuan (Bastoni, dalam Republika.co.id 24/11/2019). Walaupun dalam sejarah, Khalifah Al-Makmun dianggap memiliki pemikiran yang menyimpang dari ajaran Islam, salah satunya adalah menganggap Al-Qur’an adalah Makhluk. Namun kontribusi Sang Khaifah tersebut sangat besar terhadap tradisi keilmuan dan pengembangan ilmu pengetahuan di masanya.

Para tokoh bangsa pun tidak luput dari upaya pengembangan ilmu pengetahuan melalui tradisi keilmuan yang luar biasa. Sebut saja para tokoh tersebut adalah (1) KH Ahmad Dahlan dengan pemikirannya melalui Muhammadiyah dan konsep Pendidikan Berkemajoean-nya; (2) KH Hasyim Asyarie dengan pemikirannya melalui Nahdhatul Ulama dan tradisi pendidikan melalui pondok pesantren; (3) Ki Hadjar Dewantara dengan pemikirannya melalui Taman Siswa; serta para tokoh-tokoh besar lainnya. Praksis pendidikan yang dibesarkan oleh para falasifah tersebut telah menyebar kepelosok negeri dan masih tumbuh masif secara kuantitatif maupun kualitatif.

Tradisi keilmuan ini hendaknya menjadi refleksi para guru era milenial saat ini. Saat ini para guru masih mengejar pendidikan secara kuantitatif dan memenuhi target kurikulum saja, sehingga mereka lupa akan kualitas yang dimiliki oleh siswa tersebut. Para guru masih sekedar memenuhi kewajiban dan bertindak sebagai pengajar saja. Padahal tugas para guru adalah seorang pendidik, yang berarti pengetahuan meningkat seiring dengan peningkatan sikap yang dimiliki siswa. Para guru juga masih kurang akan tradisi keilmuan untuk menambah kapasitas keilmuannya. Hal ini sangat perlu dilakukan karena perkembangan zaman sangat cepat dan pesat. Tentunya para guru merupakan ujung tombak bangsa untuk memerdekakan para penduduk Indonesia dari kefakiran ilmu pengetahuan menuju berlimpah ruahnya ilmu pengetahuan.

Oleh sebab itu para guru juga harus memiliki bekal yang paripurna untuk menjaga dan merawat keutuhan NKRI melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu sumbangsih pemerintah juga harus terus diupayakan dan terus memikirkan nasib para guru tersebut. Sebagaimana Teori Maslow, bahwa guru akan sulit meningkatkan kualitas metode belajar dan dirinya apabila mereka masih memikirkan urusan “dapur” yang belum terpenuhi. Namun apabila kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam Hirarki Maslow tersebut terpenuhi, maka saya yakin para guru akan meningkat kualitasnya dan kelak Indonesia kan menjadi negara yang maju serta dapat bersaing dengan negara besar lainnya.

Selamat hari guru, dan marilah menjadi guru-guru yang ikhlas dalam berjuang. Tentunya seorang guru selalu berprinsip: “Jadilah orang hebat dikemudian hari, namun apabila tidak bisa menjadi orang hebat, maka jadilah orang yang bisa melahirkan orang-orang hebat dikemudian hari”.

 

Nuur Wachid Abdul Majid, M.Pd.

Dosen Pendidikan Sistem dan Teknologi Informasi, UPI Kampus Purwakarta.