Hegemoni Media terhadap Budaya

m1

Oleh ARIANSYAH HADI

(Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)

KITA memasuki tatanan dunia baru yang seolah-olah pandangan kita terhadap dunia luar menjadi samar, kemajuan teknologi dan informasi mengharuskan kita untuk saling melihat ke dunia luar yang lebih kompleks. Mungkin hal ini telah tergambarkan oleh orang-orang sebelum kita. Inilah masa globalisasi dimana pasar bebas semakin menggeliat, para pemilik modal akan begitu mudah menanamkan modalnya di seluruh bidang yang diinginkannya. Globalisasi tidak akan terlepas dari yang namanya kapitalisme. Sebab munculnya era globalisasi akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran di segala bidang, kapitalisme akan selalu mencari keuntungan secara halus maupun kasar (membabi buta). Kapitalisme lahir karena adanya sesuatu yang ingin dicapai, dikuasai, dan dikontrol. Pada umumnya kapitalisme ingin mendominasi segala aspek bidang ekonomi.

Berbicara mengenai kapitalisme yaitu berbicara tentang hegemoni. Hegemoni tidak hanya menunjukkan kontrol ekonomi dan politik, melainkan juga menunjukkan kemampuan kelas dominan dalam menampilkan cara pandangnya terhadap dunia, sehingga dengan berbagai macam cara kelas subordinat (kelas yang dikuasai Marx) menerimanya sebagai “common sense” atau cara pandang yang benar (Eni Maryani, 2011;53). Antonio Gramsci melihat hegemoni berdasarkan gagasan Karl Marx mengenai “kesadaran yang salah” (false consciousness), yaitu keadaan di mana individu menjadi tidak menyadari adanya dominasi dalam kehidupan mereka.

Gramsci menyatakan bahwa sistem sosial yang mereka dukung justru telah mengeksploitasi diri mereka sendiri, mulai dari budaya popular hingga agama (Morrisan, 2012:542). Pada era modern saat ini sebenarnya proses hegemoni dari kaum kapitalis telah berjalan dengan sempurna yaitu melalui Pembudayaan, Fashion, Film, Media dsb. Di Indonesia sendiri sesungguhnya sudah merasakannya, bahkan sudah menjadi lahan empuk bagi kaum kapitalis untuk menyebarkan ideologinya karena jika dilihat secara kasat mata bahwa masyarakat Indonesia cenderung mengikuti gaya barat dan dengan sengaja menghilangkan budayanya, serta mudah untuk dipengaruhi oleh media.

NET
NET

Media akan senantiasa mempersuasi kita agar mengikuti ideologi kapitalis, media juga akan senantiasa menjaga kelompok yang berkuasa untuk tetap memegang kontrol atas masyarakat, sementara mereka yang tidak mempunyai kuasa akan menerima apa saja yang disisakan oleh kelompok yang berkuasa.

Masalah akan muncul ketika kaum kapitalis dan kontra kapitalis bertarung dalam intruments media, dalam hal ini mengenai ideologi itu sendiri dimana ketika media tidak mampu menyampaikan ideologi kapitalis kepada masyarakat awam karena setiap individu cenderung akan menolak usaha persuasi yang berusaha mengontrol perilaku dan mengancam ideologi dari individu tersebut.

Jadi dalam kemenangan hegemonis sebenarnya tidak pernah terjadi sebuah kesepakatan yang stabil dan siap pakai seperti yang diungkapkan Althusser (1918-1990) bahwa ideologi disampaikan oleh kelas dominan dan kelas subordinat menerima dan mengikutinya secara sukarela (noncoercive). Jadi, media tidak selalu dianggap kuat dalam membentuk opini publik karena disana individu yang mempunyai wewenang sepenuhnya untuk menerima atau menolaknya, inilah yang disebut sebagai teori resistensi atau teori penolakan.

Hegemoni media dalam hal ini mengenai kapitalisme tidak berbicara lagi apa kebutuhan publik tetapi berbicara apa keinginan publik yang telah dimanipulasi sesuai dengan kepentingan dan sasaran kapitalisme. Seperti apa yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hegemoni media selalu mencari keuntungan terkait ekonomi pemiliknya bukan lagi sebagai penyebar informasi kepada publik.

Hal utama yang harus diperhatikan bahwa media pada modern ini benar-benar melihat sebuah fungsi media massa secara apa yang diinginkan publik, bukan apa yang dibutuhkan publik. Sebab apabila paradigma ini terjadi secara berkelanjutan maka para ahli sejarah akan menyaksikan bahwa kitalah yang menjadi penyebab kemerosotan bangsa karena di dalam tayangan televisi tidak pernah menayangkan program-program yang mendidik di masa yang akan datang.

Iklan pun saat ini menghadapi kritikan dari berbagai kalangan. Pada era globalisasi ini, iklan sudah mulai akrab dengan konsumen, namun pada saat bersamaan pula iklan itu mulai dikritik. Jika kita lihat pengaruh iklan bagi masyarakat Indonesia sangatlah berdampak, hal itu disebabkan karena adanya pengaruh ideologi kapitalis yang ingin merebut semua pasar. Masyarakat Indonesia sudah bisa disebut sebagai masyarakat konsumtif, istilah tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya perusahaan atau produk asing yang masuk ke Indonesia yang begitu mudah untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia.

Dengan demikian produk asli Indonesia-pun seperti tersisihkan dalam  persaingan pasar, pertanyaan yang muncul adalah mengapa produk asing begitu banyak diminati oleh masyarakat kita dibandingkan dengan produk lokal. Jawabannya adalah terkait dengan iklan, masyarakat Indonesia sendiri dalam hal berjualan hanya menjajakan dagangannya saja tanpa mengikuti perkembangan pasar, yang dimana produk asing selalu memasarkan produknya melalui iklan-iklan di media, tetapi produk lokal belum bisa berkesempatan dalam memasarkan produknya tersebut.

Dalam hal ini terkait atas dominasi media kapitalis yang semakin menjamur di Indonesia sehingga media tersebut dapat mengatur sistem ekonomi mereka dan mengarahkan orientasi konsumsi masyarakat Indonesia ke produk luar sehingga menjatuhkan produk asli Indonesia. Disinilah bagaimana iklan begitu sangat krusial dalam mempengaruhi publik dalam hal mengkonsumsi sebuah produk.

Merujuk pada teori-teori di atas bahwa banyak kasus yang sudah terjadi Indonesia mengenai hegemoni media terhadap kebudayaan, cara pandang, pola pikir, serta sistem ekonomi & politik di Indonesia. Sebagai contoh pada saat pilpres di Indonesia lalu ketika media saling membangga-banggakan tokoh yang didukungnya tujuannya agar masyarakat memilih tokoh tersebut dan disana terdapat sebuah pesan politik yang dibuat secara halus namun didalamnya terdapat paksaan untuk memilih salah satu pasangan calon, serta terdapat dua stasiun TV yang secara “sengaja” menghilangkan fungsi media demi kepentingan politik.

Hubungan media dan politik sangatlah erat sebagaimana kita ketahui bahwa media sudah menjadi tangan kedua politik dan media juga sangat aktif dalam mempengaruhi publik dalam kepentingan politik yang disebut pengkultusan individu. Kemudian seperti yang sudah di paparkan di atas bahwa media cenderung menayangkan sebuah program yang diinginkan publik, bukan apa yang dibutuhkan publik.

Sebagai contoh tayangan di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia yang menayangkan sebuah program tentang sex, wanita, dan gaya hidup. Jika kita telaah lebih jauh bahwa tayangan tersebut sama sekali tidak memberikan edukasi kepada khalayak yang mana peran media seyogyanya adalah memberikan tuntunan agar khalayak dapat hidup bermasyarakat sesuai norma dan nilai yang berlaku, akan tetapi media kapitalis-lah yang merubah ideologi secara kasar bahwa pada abad ini tujuan media adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan fungsi utama dari media tersebut.

Maka dari itu sesungguhnya media memang perlu terus dibenahi, karena jika tidak persoalannya akan semakin besar dan kompleks. Perbaikan bukan melulu diranah pendidikan tetapi kita harus meninjau ulang sistem komunikasi dalam konteks historisnya karena dengan itu maka akan muncul solusi untuk membenahi sistem media agar kembali lagi ke fungsi sebenarnya. Meskipun hidup di era globalisasi kita harus lebih kritis terhadap hal-hal yang mengganggu ideologi kita, jangan sampai ideologi kita dapat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme, meskipun itu tidak dapat ditolak sepenuhnya tetapi kita setidaknya dapat memilih dan memilah apa yang sebenarnya layak kita konsumsi dan apa yang tidak layak konsumsi.