IBUKOTA BA(R)U

Oleh

M. Syaom Barliana

seri esai arsitektur: tigabelas

“We shape our buildings and afterwards, our buildings shape us,” (Winston Churchill, 1943).

Ide tentang pemindahan ibu kota, bukan sebuah gagasan baru bagi Indonesia. Sejak jaman Sukarno, sudah ada gagasan untuk pindah ibukota ke Palangkaraya. Sesudah itu, hampir pada setiap era periode presiden, muncul gagasan pemindahan ibu kota, yang tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Presiden Jokowi sendiri, dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, 19 April 2019, menyatakan wacana pemindahan selalu timbul lalu tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang.

Pertanyaannya, apakah sejak diputuskan rencana pemindahan ibukota tanggal 19 April 2019 sampai ditetapkannya UU Ibukota Negara (IKN) Nusantara, pada tanggal 18 Januari 2022, telah dilakukan pengkajian, penelitian, dan perencanaan yang matang, dan dengan partisipasi publik yang tinggi? Jawabannya, tampaknya tidak. Kesan yang mengemuka, adalah ketergesa-gesaan, terburu-buru, dan banal. Karena itu, akhir-akhir ini, di ruang publik banyak perdebatan yang melibatkan para akademisi, politisi, aktivis, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum, yang menolak UU tersebut.

Penolakan itu, umumnya bukan pada gagasan tentang pemindahan ibukotanya, tetapi pada miskinnya argumen, rasional, basis riset, rencana, roadmap, serta urgensinya saat ini. UU yang seharusnya menyangkut pemindahan ibukota yang sangat kompleks, disusun berdasar naskah akademik yang tidak berkualitas, dibahas dalam waktu singkat, dan hanya dirumuskan dalam 39 pasal saja. Artinya, UU itu memberi cek kosong kepada pemerintah dan pihak terkait lainnya (baca: oligarki) untuk mengisi sesuai selera dan kepentingan, yang belum tentu relevan dengan kepentingan masyarakat.

Tentang naskah akademik IKN yang tidak berkualitas itu, Amir (2022) menyatakan bahwa sebagai sosiolog, dirinya merasa tersinggung, karena kajian sosiologis dalam naskah itu hanya terdiri dari empat atau lima paragraf, dengan penjabaran yang sangat dangkal.  Secara umum, argumen yang dibangun lebih utama berdasar alasan ketidaklayakan dan penurunan daya dukung Jakarta serta kepadatan pulau Jawa. Referensi lainnya, berdasarkan studi banding pemindahan ibu kota di beberapa negara yang sukses, tetapi tidak ada analisis yang memadai, konvergen, dan komprehensif, dikaitkan dengan kondisi Indonesia. Artinya, komparasi atas preseden itu tidak lalu menghasilkan analisis dan sintesis yang mendalam dan relevan dengan konteks ekologi, sosiologi, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia. Belum lagi, jika dikaitkan dengan ancaman pola oligarki dalam sistem politik dan ekonomi, sebagai sebuah residu atau bahkan esensi demokrasi liberal saat ini.

Tampaknya, yang dipertontonkan ke publik, lebih banyak komestika keindahan visual gambar arsitektur tentang kota masa depan yang memukau.  Bahkan, lebih tampak sebagai sebuah ambisi dan perwujudan sikap megalomania, untuk dicatat sebagai sebuah legacy pemerintahan Jokowi. Karena itu, yang dibangun pertama juga, adalah Istana Negara yang monumental, yang awalnya lebih bercitra sculptur ketimbang arsitektur. DPR, sebagai wakil rakyat, melalui UU IKN, hanya memberi pembenaran dan legimitasi formal, tanpa basis akademik yang kokoh dan valid.

Pun, yang dipresentasikan, adalah norma-norma dan kriteria ideal tentang sebuah kota berkelanjutan, berbasis teknologi dan smart city, superhub. Mungkin, tidak ada keraguan secara teknik dan teknologi untuk membangun sebuah kota baru seperti itu. Bahkanpun, jika Penajam Paser Utara, ternyata tak luput dari bencana banjir, yang justru menjadi salah satu alasan ibukota meninggalkan Jakarta. Artinya, persoalan banjir, sumber daya energi, pengolahan limbah, transportasi, dan jaringan infrastruktur lainnya, secara teknik dan teknologi dapat ditemukan solusinya secara canggih. Namun demikian, Indonesia belum punya preseden membangun sebuah kota baru yang topdown, kecuali kota yang bertumbuh secara inkremental.

Sebaliknya, yang ada presedennya pada era pemerintahan Presiden Jokowi, adalah pembangunan bandara, jalan tol, kereta cepat, dan pelabuhan yang untuk sebagian mengalami problem konektivitas, useless, dan inefisiensi. Karena itu, untuk sebagian, pembangunan infrastruktur yang menjadi andalan pemerintahan Jokowi terancam mengalami kegagalan fungsi dan investasi. Padahal, berbicara ibukota baru, bukan tentang bangunan infrastruktur tunggal, tetapi sebuah kompleksitas yang berjalin berkelindan.

Jika pada tahun 1943 saja, Winston Churchill sudah mengatakan, bahwa kita membentuk bangunan, dan kemudian bangunan membentuk manusia. Maka, demikian pula dalam skala kota. Manusia membentuk kota, dan kota membentuk perilaku manusia. Membangun kota, bukan saja membangun lingkungan binaan secara fisik, tetapi membangun peradaban. Terlebih jika menyangkut ibukota, yang berarti membentuk citra negara, membangun peradaban dan budaya bangsa, membangun manusia, bangsa Indonesia yang majemuk.

Demikianlah, pemindahan ibu kota, pembangunan kota baru, bukan sebuah ihtiar yang dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Meskipun disebutkan, bahwa pembangunan dan pemindahan secara bertahap sampai tahun 2045, namun dinyatakan pula bahwa Presiden akan pindah ke KIKN sebelum 16 Agustus 2024 dan merayakan Peringatan Hari Kemerdekaan RI di KIKN pada tanggal 17 Agustus 2024.

Di tengah situasi pandemi yang belum tuntas, dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau bahkan menurun, dengan beban utang yang kian menumpuk, maka kembali kepada persoalan urgensi, pemilihan waktu, menjadi sangat krusial. Di samping persoalan pemilihan tempat, apakah betul Penajam Paser Utama merupakan daerah yang tepat berdasarkan riset mendalam, dan bukan karena alasan kepemilikan lahan oligarki bisnis-politik, maka masalah waktu dan momentum saat ini menjadi pertanyaan besar. Apakah UU IKN merupakan sesuatu yang sangat genting, dan apakah pembangunan Istana Negara yang harus selesai sebelum berakhirnya pemerintahan Jokowi merupakan sesuatu sangat mendesak?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu hanya membentur tembok gedung DPR RI, bersipongang, berkesiur, dan kemudian melenyap di udara, karena RUU sudah diketuk palu menjadi Undang-Undang IKN Nusantara.  Meskipun demikian, beberapa pihak, konon akan mengajukan permohonan untuk pembatalan UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu, masih ada harapan untuk dikaji ulang.

Referensi:

Amir, Sulfikar (2022). Wawancara dengan Refly Harun, You Tube: Refly Harun Channel.

Jordan, Ray (2019). Bahas Pemindahan Ibu Kota, Jokowi: Gagasannya Sejak Presiden Sukarno. https://news.detik.com/berita/d-4529171. !9 April 2019