Isola Yang Kesepian

Oleh

R. Kurnia

Villa Isola konon dibangun sebagai representasi kehidupan pemiliknya, D.W. Berretty yang “terisolasi” namun mendominasi. Ide pembangunan Isola tidak muncul begitu saja, Berretty yang pada saat itu terlibat dalam pendirian kegiatan tahunan Jaarbeurs atau Pameran Dagang produk produk usaha industri dan masyarakat Hindia Belanda yang yang di prakarsai salah satunya oleh Walikota Bandung, B.Coops. Selain terlbat dalam pendirian Jaarbeurs, Berretty juga didaulat sebagai anggota komite utama, sehingga tidak mengherankan perkenalannya dengan Bandung semakin akrab. Dia melihat Bandung sebagai tempat ideal untuk membangun sebuah rumah sederhana yang akan digunakannya sebagai tempat menginap apabila dia tengah melakukan kunjungan kerja atau berlibur di Bandung. Selain mempunyai cuaca yang relative dingin dibandingkan dengan tempat tinggal mereka di Batavia juga mungkin pertimbangan lain adalah rencana pemindahan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia menuju Bandung.

Maka dimulailah pencarian sebidang tanah di Bandung Utara, disebuah Desa tepat disamping Jalan Raya Lembang. Ada kemungkinan bahwa sebelum membangun Isola dia telah lebih dulu membangun sebuah rumah sederhana yang letaknya tidak jauh dari sana. Rumah kecil tempat keluarganya tinggal dan beraktifitas, tempat mereka mengantar anak anaknya pergi ke Sekolah selama mereka di Bandung. Rumah tinggal itu saat ini difungsikan sebagai PUSDIKKUM TNI AD yang letaknya berada tepat di seberang kampus UPI Bandung namun tidak diketahui pasti kapan tepatnya mereka membangun rumah sederhana itu. Barulah pada bulan Oktober 1932 rencana pembangunan Isola dimulai dengan biro arsitektur AIA (Algemeen Ingenieurs en Architecten) sebagai pemegang proyek besar itu.

Jika kita perhatikan dari dokumentasi lama Villa Isola maka akan kita lihat bahwa memang benar villa ini dibangun diatas bukit Bandung Utara yang sepi tanpa ada bangunan tinggi besar lainnya bahkan jika pada saat itu ada orang yang berdiri diatas sebuah bangunan dua lantai di Jalan Braga, lalu megarahkan pandangan mata ke utara maka akan tampak jelas Villa Isola berdiri sendirian diantara bukit bukit hijau, diantara Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu yang tinggi menjulang, dia terkesan berdiri sendiri, terisolasi dari riuhnya kota Bandung namun mendominasi diantara sunyi dan sepinya wilayah Bandung Utara saat itu. Pun saat ini, dengan situasi dan kondisi yang berbeda, diantara riuhnya pembangunan, diantara tinggi menjulang gedung perkuliahan dan Hotel, Isola sebagai bangunan bekas peniggalan era Kolonial yang saat ini statusnya adalah sebagai bangunan Cagar Budaya yang dilindungi, sebuah bangunan yang pernah menyandang predikat sebagai “villa paling mewah di dunia” hari ini terkesan terisolasi diantara bangunan bangunan mewah dan modern yang berada di sekelilingya. Pada saat itu bagi D.W. Berretty Villa Isola adalah semacam kendaraan yang dipergunakannya untuk membuat orang lain disekelilinya terkesan dia tidak memedulikan kelas sosial pada saat itu, dia ingin menunjukan bahwa walaupun dia adalah seorang keturunan Indo namun dia mampu melampaui posisi orang orang Eropa murni yang status sosialnya cenderung diutamakan.

Terlepas dari kesan terisolasinya Isola yang dikelilingi bangunan baru, tinggi dan modern saat ini, menurut C.J. van Dullemen dalam bukunya yang berjudul Arsitektur Tropis Modern, Karya dan Biografi C.P Wolff Schoemaker “untungnya, gedung tidak dihancurkan atau diabaikan” walaupun beberapa bagian dari gedung termasuk juga kawasan Isola mengalami kondisi dan keadaan yang cukup mengkhawatirkan bahkan beberapa bagian telah hilang seperti kolam timur dan air mancur di bagian barat yang tidak berfungsi dan ditutup permanen. Semoga kehilangan kehilangan dan kerusakan ini bukanlah pertanda bahwa Villa Isola memang semakin kesepian dikepung modernitas.