Jadikan Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 untuk Mencintai Sains

Bandung, UPI

Gerhana Matahari Total (GMT) adalah fenomena alam yang amat langka bila disaksikan dari suatu lokasi tertentu di muka Bumi. Pemandangan alam yang luar biasa indah saat korona Matahari menyeruak di kegelapan langit siang terbukti telah membius setiap individu yang beruntung dapat menyaksikannnya. Oleh karena itu, bangsa Indonesia pantas mempersiapkan diri menyambut fenomena alam ini.

“Kita harus memanfaatkan kesempatan ini untuk memaksimalkan motivasi dan kecintaan generasi muda bangsa terhadap sains. Saya ingin melihat dan mendengar kenyataan bahwa di saat GMT 9 Maret 2016, semua ikut belajar,” kata Mochamad Irfan, peneliti luar angkasa di Bosscha dalam penjelasannya melalui surat elektronik (surel) yang ditujukan kepada para saintis luar angkasa berkaitan dengan terjadinya GMT 9 Maret 2016.

Menurut Mochamad Irfan, anak-anak di seluruh pelosok tanah air, bak yang ada di perbukitan Kefamenanu, di pinggiran Danau Tondano, di bawah jembatan layang Pasupati, di pedalaman rimba Suku Anak Dalam, dan di mana pun mereka berada, berinisiatif melakukan riset sederhana menggunakan kotak lubang jarum untuk mengamati perubahan penampakan piringan Matahari atau mengamati perubahan perilaku hewan di sekitarnya.

NET
NET

“Sementara cuacawan merekam suhu, kelembapan, arah angin dan parameter cuaca lainnya untuk mempelajari perubahan cuaca di sekitar Khatulistiwa akibat tertutupnya piringan Matahari oleh bulan,” kata Mochamad Irfan.

Para biolog di taman nasional, kata dia, mengamati perilaku flora dan fauna seperti orang utan di Taman Nasional Sebangau, Kalteng. Mereka mengamati bagaimana respons orang utan tehadap kegelapan sesaat ini, apakah mereka meresponsnya sebagai ancaman adanya bahaya ataukah memandang hari telah beranjak malam. Ini menarik untuk dipelajari.

“Setiap orang yang memiliki kamera pasti terdorong untuk mengabadikan fenomena GMT. Intinya, saya ingin pada hari Rabu 9 Maret 2016, astronomi dan saintis pada umumnya menjadi perhatian 250 juta lebih penduduk Indonesia,” ujar Mochamad Irfan.

Agar kenyataan di atas dapat terwujud, menurut Mochamad Irfan, bangsa Indonesia perlu melakukan beberapa langkah. Pertama, ilmuwan perlu membuat film pendek durasi 10 menit yang berisi seluk-beluk GMT Indonesia 2016 dan ditayangkan oleh jaringan TV nasional sejak 15 (lima belas) hari sebelum GMT berlangsung.

“Perlu ada penayangan count down (hitung mundur) waktu gerhana sejak tujuh hari sebelum GMT berlangsung di jaringan TV nasional. Ini disertai dengan informasi waktu-waktu kontak proses GMT untuk semua ibukota kabupaten dan kota yang dilalui jalur total GMT serta ibukota provinsi yang tidak dilewati jalur total GMT,” ujar Mochamad Irfan.

Selain itu, penunjuk waktu di semua stasiun televisi harus akurat. Tugas BMKG mengendalikan hal ini. Akurasi waktu diperlukan oleh pengamat, terutama yang berada di lokasi yang dilintasi jalur total gerhana matahari. “Jaringan televisi nasional menyiarkan tayangan gerhana dari berbagai titik lokasi pengamatan GMT agar penduduk di kawasan lain Indonesia bisa menyaksikan fenomena tersebut,” katanya.

“Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan seruan agar masyarakat Muslim melaksanakan shalat kusuf (shalat gerhana matahari) setelah fase total GMT selesai. Minggu lalu saya mendapatkan informasi dari kadisdik di salah satu pemda yang daerahnya dilewati jalur total GMT bahwa umat Islam di daerah tersebut akan melaksanakan shalat kusuf tepat di saat fase total berlangsung. Ini kan salah? Umat harus diberi pengertian,” katanya. (WAS)