KETIKA JARAK DAN WAKTU (SEOLAH) MEMBEKU

M. Syaom Barliana

Hall (1990) pernah menggambarkan jarak relatif interpersonal manusia pada saat berhubungan satu sama lain, pada empat zona ruang berbeda: intim, pribadi, sosial, dan publik. Jarak intim untuk merangkul, mencium, menyentuh, atau berbisik, pada fase dekat adalah nol hingga dua cm, dan pada fase jauh antara 15 sampai 46 cm. Jarak pribadi untuk interaksi di antara teman atau keluarga dekat, pada fase dekat antara 46 hingga 76 cm, dan fase jauh 76 hingga 122 cm. Jarak sosial untuk interaksi di antara kenalan, pada fase dekat adalah 120 hingga 210 cm, dan fase jauh antara 210 hingga 370 cm. Jarak publik digunakan untuk berbicara di depan umum, dengan fase dekat berada pada 370 sampai 760 cm, dan fase jauh lebih dari 760 cm.

Lalu datanglah pandemi coronavirus disease (COVID19). Kita, dipaksa untuk berada pada jarak publik atau minimal fase jauh pada jarak sosial. Kita tak bisa berada pada  ruang intim dan ruang personal. Diam. Demikianlah jarak dan waktu seolah membeku. Jarak berhenti pada angka minimal dua meter. Konon itulah jarak semburan droplet, yang akan mentransmisikan infeksi, yang akan menyebabkan penularan massal. Kita tak bisa lebih dekat dari itu.

Pada mulanya disebut social distancing. Jika mengikuti teori Hall, terma ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang netral, yaitu merujuk pada jarak yang dianggap paling nyaman untuk interaksi diantara teman-teman. Namun demikian, social distancing, jika ditarik ke wilayah idiom politis, dapat ditafsirkan menjadi jarak status sosial. Perbedaan status sosial, menjadi isu sensitif di tengah dampak pandemi yang menggerogoti kehidupan ekonomi, terutama ekonomi masyarakat bawah. Lalu, tanggal 27/3/2020,  Juru Bicara Pemerintah terkait Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, justru membuat pernyataan konroversial:  “Kemudian yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerja sama yang penting,” Pernyataan ini seolah menyudutkan orang miskin, karena orang miskin dianggap sebagai sumber penularan penyakit Covid19.

Jika ditarik ke idiom sosial, terma social distancing dianggap memperlebar jarak sosial, mendorong ketidakpedulian sosial. Dalam situasi pandemik, di tengah banyak warga kelas bawah yang terdampak secara ekonomi, akibat kebijakan pembatasan sosial skala besar, dibutuhkan solidaritas sosial yang luar biasa. Dibutuhkan empati, simpati, dan kepekaan sosial dari kelas menengah atas terutama, untuk berkontribusi, berdonasi, dan gotong royong membantu kehidupan ekonomi masyarakat kelas bawah.

Demikianlah, istilah social distancing diganti dengan physical distancing. Jaga jarak, merujuk pada pembatasan jarak fisik antar individu, bukan jarak (empati, simpati, dan kontribusi) sosial.

Ketika pandemi covid19 mengabarkan aura kesakitan, kepanikan, kengerian, dan bahkan kematian. Ketika, virus itu menawarkan penyebaran cepat dan penularan massal, pembatasan aktivitas dan penjagaan jarak menjadi pilihan eksistensial. Iniliah (seharusnya) saatnya untuk diam. Diam dari penyebaran dan penularan kebencian ujaran, kebengisan wicara, dan hoax laknat di media sosial. Inilah (seharusnya)  buzzer terdiam, dan merenungkan kembali apa yang sudah disuarakan dan disebarkannya di udara.

Inilah (seharusnya) saatnya kembali ke rumah. Saatnya keluarga segera berkumpul kembali, sesudah sebelumnya banyak diceraiberaikan oleh kesibukan dan egoisme masing masing pribadi. Saatnya, berhuni dan berarsitektur kembali.

Inilah (seharusnya) saatnya peduli.  Dibutuhkan lebih dari sekedar simpati, tapi kontribusi dan solidaritas aksi, untuk membantu sesama warga  yang terdampak ekonomi akibat pandemi.  Inilah (seharusnya) saatnya berbagi.

Inilah (seharusnya) saatnya refleksi. Bahwa betapa kecilnya kuasa manusia. Tak ada artinya kecerdasan sains dan teknologi. Tak ada maknanya keberlimpahan materi. Tak ada gunanya kesombongan pribadi. Betapa, Tuhan yang Maha Kuasa, yang mengirim mahluknya yang tak terlihat mata, bukan sekedar memberi petaka, tapi mengirim tanda-tanda. Mengirim tanda-tanda, bagi yang arif memaknai.

Diadaptasi dari dan untuk pendalaman lihat buku puisi: Ketika Jarak dan Waktu (Seolah) Membeku

Referensi:

Hall, Edward T. (1990). The Hidden Dimension. New York: Anchor